10.000 tahun sekali delapan planet yang ada di Tata Surya akan berada segaris lurus ke matahari, mereka menyebutnya: Harmonic Convergence. Yang tidak mereka tahu, pada saat itu terjadi maka para iblis dan pasukannya akan bisa menyerang Bumi sebab akan tercipta portal antar dimensi. Ardha Candra adalah pria yang terpilih untuk menerima Divine Sword yang merupakan salah satu pedang milik Malaikat Maut. Ia ditugaskan untuk menghancurkan pasukan iblis yang berusaha menguasai Bumi menggantikan manusia.
Ardha Candra menyesap habis minuman yang tersisa di dalam gelas di tangan. Sedikit kencang meletakkan lagi gelas ke atas meja. Saat bartender di balik meja menyodorkan sebuah botol minuman beralkohol, pria tiga puluh tahun mengangkat tangan, menolak tuangan untuk kesekian kalinya dari laki-laki yang bertelanjang dada di hadapan.
Laki-laki dalam balutan kemeja biru muda tertawa pendek, tidak bisa begitu fokus memandang dasi kupu-kupu di leher bartender tersebut. Hiasan macam apa pula itu? Tanpa pakaian… konyol! Hentakan musik sedikit membuat pendengarannya terganggu, memperparah rasa pusing di kepala.
Dan ada dua orang lagi yang sama di samping yang satu itu.
Ia merogoh saku belakang celana dasar yang berwarna abu-abu tua. Mengeluarkan dompet. Sedikit kesulitan, Ardha Candra mengeluarkan sejumlah lembaran uang. Tanpa menghitung lagi jumlah pastinya, ia menyerahkan uang pada sang bartender.
Belum lagi tangan si bartender menyentuh lembaran uang, tangan yang tidak fokus itu justru terempas pelan ke atas meja. Entah tertawa pada hal apa gerangan sembari kembali memasukkan dompetnya, Ardha Candra lambaikan tangan pada sang bartender dan mundur. Berbalik badan, sedikit tertatih menjauh dari meja bartender.
Sang bartender mendengus, menertawakan langkah berserak laki-laki tersebut yang sepertinya kesulitan melewati tubuh-tubuh lain yang sedang melonjak-lonjak mengikuti irama musik. Ia masih memandang punggung Ardha Candra, tak ubah sebuah bola pin yang membentur satu tubuh dan memantulkan tubuhnya ke tubuh lain.
Sang bartender geleng-geleng kepala, meraih lembaran uang di atas meja. Kembali menyibukkan diri dengan melayani pelanggan-pelanggan lain di hadapannya, pelanggan yang lebih didominasi sosok wanita dalam balutan pakaian gemerlap nan mengundang hasrat. Ia kembangkan senyum manis, tubuh maskulin itu cukup ampuh memancing kerlingan manja dan menjadi magnet bagi kaum wanita untuk betah berlama-lama di meja tersebut.
Tentu saja, demi mengucurnya lembaran-lembaran berharga dari dompet, atau mungkin rekening para penikmat dunia malam. Jika beruntung, mungkin janji kencan yang seratus persen berakhir di atas ranjang dengan tubuh sama bermandikan keringat. Tidak wanita, laki-laki pun jadi.
Langkah kaki Ardha Candra terhalang tumit sepatu seseorang, limbung, tubuh itu huyung ke kiri. Jatuh begitu saja dalam pelukan seorang wanita berambut pendek dengan gaun supermini yang melekat di badan.
Ardha Candra mendengus, terkekeh, menggapai-gapai, namun hanya terlihat seperti seorang yang tengah menggerayangi buah dada tanpa lapisan bra dari wanita itu sendiri. Embusan napas tak beraturan dari lubang hidung laki-laki tersebut sedikit menggelitik kulit dada sang wanita.
"Hei…" wanita itu tersenyum, membantu Ardha Candra untuk bisa kembali berdiri. "Kau ingin bersenang-senang, Tuan Muda?"
Sebentar Ardha Candra tersenyum lebar, menyeringai. Namun, sebentar kemudian senyum itu hilang dari wajahnya sehingga membuat senyum manis di wajah sang wanita juga ikut menghilang dengan tanya besar di dalam kepala. Ia mendengus kencang, menggapai-gapai lagi meninggalkan wanita itu begitu saja.
"Whatever!" dengus si wanita mengendikkan bahu, dan kembali membenamkan diri dalam dentuman musik yang dikendalikan seorang disc jockey wanita.
Sang wanita berseru lantang saat suara-suara dari yang lain menggema seiring pertukaran ritme musik.
DJ wanita itu cukup piawai, bukan saja memainkan musik, namun juga memainkan gairah para laki-laki yang terbius bersama alunan musik dan atraktifnya liukan tubuh. DJ itu berambut pendek—sangat pendek, dengan pakaian yang melekat di badan lebih pantas untuk digunakan saat berada di tepian pantai berwarna kuning terang.
Dua orang laki-laki menemani setiap aksi dan liukan tubuh DJ wanita tersebut. Satu di kanan, lainnya di kiri. Tidak ada untungnya kedua laki-laki itu di sana, selain pandangan yang sama dimanja dengan dada sang DJ yang besar memantul ke sana kemari.
Langkah terseok di antara keremangan cahaya ruangan dan cahaya bulat berwarna-warni yang sesekali bergerak memutar, sungguh menyulitkan Ardha Candra, gerakan cahaya warna-warni yang mengisi setiap sudut pandangannya semakin membuat kepalanya seakan diputar-putar dengan kencang.
"Hati-hati," ujar seseorang.
Ardha Candra kembali limbung, kali ini menubruk sosok seorang dari dua penjaga pintu di bagian dalam. Pria bertubuh besar menahan tubuh yang jatuh ke arahnya. Ardha Candra menyeringai lalu terkekeh, berusaha memantapkan posisi kaki. Menepuk-nepuk pundak penjaga pintu.
"Anda baik-baik saja, Bos?"
Lagi-lagi pria dengan potongan rambut pendek itu menanggapi orang dengan lambaian tangannya saja. Ia meneruskan langkah, tujuannya secepat mungkin keluar dari ruangan yang sangat bising dan dipenuhi berbagai aroma menusuk hidung yang sanggup mengaduk-aduk isi di dalam perut.
Penjaga itu tersenyum tipis, lantas membantu Ardha Candra mendorong pintu tersebut.
Ardha Candra melangkah sempoyongan di sepanjang lorong yang tak lebih dari tiga meter itu, sesiur angin menyapa tubuh kala berada di sisi luar—yang hanya berjarak dua-tiga langkah saja dari jalan raya. Ia terus melangkah tanpa menghiraukan pandangan dua orang penjaga bar lainnya di bagian depan.
Tapi langkah kedua kakinya seakan berat dan berserabutan. Lalu sedikit tergesa-gesa seakan hendak jatuh, masih untung laki-laki tersebut sempat bertumpu pada sebuah tiang telepon. Saat berusaha untuk kembali memantapkan posisi berdirinya, Ardha Candra tersedak. Sesuatu di dalam perut harus segera dikeluarkan.
Hoeck!
Dua penjaga tetap berdiam diri di posisi mereka, sama gelengkan kepala memandang laki-laki tiga langkah di depan mereka itu.
Lagi, dan lagi. Isi perut serasa dikuras habis, Ardha Candra memuntahkan segala yang telah masuk ke dalam perutnya sedari siang tadi bersama cairan-cairan lainnya. Liur kental meleleh begitu saja, beruntaian di bibir, juga dari kedua lubang hidung. Rasa perih yang seharusnya hadir di sana tiada dirasakan sama sekali.
Satu-dua orang pejalan kaki yang kebetulan lewat di samping laki-laki tersebut menyisi jauh. Jijik, bahkan sebagian dengan menutupi rongga penciuman mereka.
Ardha Candra terkekeh lagi, menyeringai lagi, ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang itu. Lagian, siapa suruh kalian masih berkeliaran di tengah malam buta begini? Tawanya menghibur diri.
Laki-laki itu meraba-raba saku depan celananya, lalu mengeluarkan secarik kain segi empat yang terlipat rapi dari dalam saku celana sebelah kiri. Ia mengelap mulut dan hidung yang belepotan, lalu membuang begitu saja sapu tangan tersebut ke lantai—tepat di bawah tiang telepon.
Ia melangkah lagi, memandang ke kiri dan ke kanan. Merasa aman sebab tidak melihat kendaraan yang melaju cepat, Ardha Candra melangkah tertatih menyeberangi garis putih-putih di badan jalan. Tujuannya, parkiran khusus yang ada di seberang.
Jarak yang pendek dan seharusnya bisa ditempuh dengan waktu hanya satu menit saja, menjadi berlipat ganda. Terima kasih pada tubuh yang sempoyongan tersebut.
Ardha Candra hentikan langkah tepat di antara dua kendaraan yang terpakir di bahu jalan. Ia menggaruk kepala, mobil yang di kanan dan yang di kiri tiada bedanya dalam pandangan. Lebih-lebih, kedua bola mata itu bagian putihnya memerah sebab urat-urat darah yang menegang.