webnovel

Korban Menyedihkan

Ardha Candra hanya pasrah, tidak ada jalan lain untuk meyakinkan dokter yang satu ini, pikirnya. Tidak pula kedua perawat yang tengah bergosip—entah membicarakan apa—di sudut sana itu.

Toh, semua bagian dari tubuh makhluk tersebut telah menghilang sempurna. Tidak meninggalkan jejak atau bekas apa pun sama sekali. Tidak lendir menjijikkan itu, tidak pula darahnya yang hijau kehitam-hitaman kental, berbau busuk itu.

Jadi, ya… berpasrah diri saja, itu yang bisa dilakukan laki-laki tersebut untuk saat sekarang ini.

Sang dokter menyalakan senter kecil di tangannya, dan satu tangan lainnya membuka kelopak mata sang pasien lebih lebar. Cahaya lampu senter menyoroti bola mata Ardha Candra. Sang dokter coba menemukan tanda-tanda kerusakan di sana. Pada pupilnya, pada iris matanya, juga pada urat-urat darah yang halus di bagian putih mata itu sendiri. Bergantian, kiri dan kanan.

"Yup," seru sang dokter, lagi-lagi tersenyum. Mematikan senter, dan kembali memasukkan senter itu ke saku baju putihnya itu. "Semua tampak normal-normal saja."

"Ada apa?" tanya di perawat laki-laki dengan suara berbisik.

"Kau lihat ini?" tanya si perawat wanita sembari memperlihatkan robekan-robekan yang telah ia kumpulkan ke dalam sebuah kantung plastik transparan.

"Terus?" kerling si pria dengan tatapan miring. "Kau menemukan sesuatu yang aneh?"

"Ini," ujar si wanita dengan penekanan khusus. "Robekan dari pakaian perawat seperti yang kita pakai."

"Mana mungkin?"

"Seratus persen," sahut wanita itu lagi. "Aku yakin banget."

"Dari mana dia mendapatkan pakaian itu, coba?"

"Aku tidak tahu soal itu," ujar si wanita kemudian, ia memijit-mijit keningnya, ada hal pelik yang mengerikan di sini, begitu instingnya memberi tahu.

"Sudahlah," ucap si pria itu kemudian sembari menyentuh bahu sang rekan, demi sedikit bisa menenangkan hal apa pun itu yang tengah dipikirkan wanita tersebut. "Mungkin saja kau benar. Mungkin juga, itu pakaian perawat sebelumnya yang tertinggal, dan yaa," pandangannya beralih pada sosok Ardha Candra. "Dia terbangun, berhalusinasi, lalu menemukan pakaian itu, lalu merobek-robeknya."

"Yaah," pada akhirnya si wanita menyerah memikirkan hal pelik di dalam pikirannya sendiri. Dan memilih menyetujui ucapan sang rekan. "Lebih masuk akal," ujarnya lagi.

"Bagaimana, Dok," tanya si perawat wanita kemudian. "Ada lagi yang Anda butuhkan di sini?"

"Aah," sang dokter menggeleng, membenahi kacamata berbingkai berilium abu-abu tua di wajahnya itu. "Tidak. Tidak ada apa-apa. Hanya tinggal pengujian terakhir saja."

"Pengujian terakhir?" ulang Ardha Candra sedikit bingung.

Untuk sesaat, laki-laki tersebut melupakan soal sosok makhluk aneh sebelumnya itu terlebih dahulu. Entah kenapa, ia merasa sangat capek, dan lemas pada saat sekarang.

"Benar," angguk sang dokter. "Kami ingin memastikan lebih jauh, sebelum kami mengizinkan Bapak untuk pulang."

"Saya merasa sudah sembuh kok," ujar Ardha Candra yang merasa harus cepat-cepat keluar dari ruangan tersebut alih-alih dari lingkungan rumah sakit itu sendiri. "Sungguh."

Lagi-lagi sang dokter tanggapi kecemasan yang kentara di wajah sang pasien dengan senyuman.

"Tidak apa-apa Anda merasa cemas," ujarnya. "Itu lumrah. Tapi jangan khawatir," lanjut sang dokter pula. "Bukan jenis cek yang aneh-aneh kok. Hanya pemeriksaan dengan CT Scan saja untuk mengetahui gelombang aktifitas dari otak. Jangan khawatir, langkah ini aman kok, tidak membahayakan sel-sel di dalam kepala Anda."

"Bisakah dilakukan sekarang saja?"

Sang dokter tersenyum lagi menanggapi, pengalamannya sebagai dokter spesialis saraf selama ini boleh dibilang cukup sering menghadapi pasien yang sering ketakutan bila mendengar istilah CT Scan – Computerized Tomography Scan. Sebab, akan selalu dihubungkan—dan memang seperti itu sesungguhnya—dengan Teknologi Rontgen atau Sinar X, di mana kebanyakan masyarakat awam berpendapat jika menggunakan Sinar X dapat merusak saraf-saraf halus di dalam tubuh.

Akan tetapi, kekhawatiran Ardha Candra bukanlah soal hal tersebut. Ia sudah mengungkapkannya, tapi orang tidak mempercayai. Harus bagaimana lagi, jalan satu-satunya yaa dengan sesegera mungkin menjauh dari rumah sakit ini.

"Tentu saja," sahut sang dokter. Dan ia punya cara lain untuk membuat sang pasien merasa lebih tenang. "Tapi, tetap hasilnya akan bisa dilihat besok pagi," lanjutnya dengan sedikit kebohongan agar kondisi pasien bisa lebih mudah diawasi dengan lebih baik, pikirnya. "Gimana?"

Mau tidak mau, Ardha Candra mengangguk saja, sebab ini yang paling cepat, pikirnya. Kalau menunggu besok baru di-rontgen, bisa-bisa lusa lagi baru ia bisa meninggalkan rumah sakit ini.

"Oke," angguk sang dokter. Lantas memandang pada si perawat laki-laki. "Sekarang, kita pindahkan Anda dulu," sambungnya kepada sang pasien.

Si perawat laki-laki segera mengubah bentuk pembaringan tersebut. Mengangkat reling-reling yang terpasang di keempat sisi pembaringan tersebut. Melepas kunci yang menahan keempat roda kasur khas, menempatkan selimut kembali menutupi setengah badan Ardha Candra.

Barulah setelah itu, si perawat laki-laki membawa Ardha Candra di atas pembaringan keluar dari dalam ruangan tersebut ditemani oleh si dokter setengah baya.

Sedangkan si perawat wanita tinggal di ruangan itu untuk sementara waktu, guna merapikan kembali ruangan yang tidak terlalu berantakan.

*

Di tempat lain di waktu yang bersamaan, di wilayah yang hanya berjarak lima blok saja dari rumah sakit di mana Ardha Candra tengah diperiksa, satu mobil Kepolisian melaju cukup kencang dengan bunyi sirine-nya yang melengking.

Ban mobil berdecit kencang kala melakukan tikungan tajam ke arah kanan, kembali melaju, dan beberapa puluh meter di depan mobil tersebut berhenti. Lagi-lagi ban mobil berdecit kencang kala sang supir menekan pedal rem dengan kuat.

Dua orang anggota Kepolisian segera turun dari mobil tersebut. Di hadapan keduanya, sudah ada satu mobil Kepolisian lainnya yang telah lebih dahulu berada di lokasi tersebut. Juga, dengan dua orang anggota Kepolisian.

Keduanya melangkah saat seorang rekan yang telah berada di sana sebelumnya melambaikan tangan, memberi isyarat agar kedua polisi yang baru tiba itu segera mendekat.

Tepatnya, dua mobil Kepolisian sengaja menghalangi mulut masuk sebuah gang selebar dua meter. Gang itu sendiri terlihat buntu dan hanya sepanjang tiga puluh meter saja. Di ujung gang yang buntu, berdiri seorang petugas Kepolisian lainnya pula—rekan dari polisi yang tadi meminta dua polisi yang baru datang untuk menghampiri.

"Bagaimana?" tanya polisi pertama pada rekan yang memanggilnya tadi.

"Buruk," jawabnya singkat. "Sangat buruk."

"Identifikasi?" tanya polisi kedua pula.

"Masih belum jelas," jawab polisi itu lagi. "Seperti dikuliti. Tapi yang jelas, mungkin korban adalah seorang wanita."

"Begitu?" angguk polisi pertama.

Ketiganya lantas sama mendekati seorang rekan mereka yang masih menyenteri sesosok tubuh di lantai gang.

Suasana gang itu sendiri cukup suram dengan minimnya penerangan yang ada.

"Hei," sapa polisi pertama pada polisi keempat yang menyenteri sosok yang tergeletak itu.

"Hei," balasnya menganggukkan kepala.

Lantas, ketiga yang lain sama keluarkan sebuah senter dari saku mereka, dan sama menyoroti tubuh yang tergeletak itu.

Próximo capítulo