webnovel

Aku Adalah Hujan

Author: Ana_Oshibana
Teen
Ongoing · 106.7K Views
  • 194 Chs
    Content
  • 5.0
    10 ratings
  • NO.200+
    SUPPORT
Synopsis

[Romance dengan sedikit magical realism. Dikemas unik, bertabur quote, manis dan agak prosais. Hati-hati baper, ya. Hehe] Kamu percaya tentang malaikat di bawah hujan? Malaikat itu menjelma perempuan bermata teduh, membawa payung dan suka menulis sesuatu di bukunya. Lalu, ini istimewanya. Ia membawa payung bukan untuk menjemput seseorang. Namun, akan memberikan payung itu sebagai tanda rahmat. Terutama untuk mereka yang tulus hati. Siapa yang mendapatkan naungan dari payung itu, ia akan mendapatkan keteduhan cinta sejati. Kamu percaya? Mari membaca. Selamat hujan-hujanan. Eh, kamu masih penasaran siapa dia? "Aku adalah Hujan. Yang percaya dibalik hujan memiliki beribu keajaiban. Aku akan lebih menagih diri berbuat baik untuk orang lain. Pun, mendamaikan setiap pasangan yang bertengkar di bumi ini. Demikian keindahan cinta bekerja, bukan?" Gumam Ayya, perempuan berbaju navy yang membawa payung hitam itu. Ayya tak lagi mempercayai keajaiban cinta. Tepat ketika dikecewakan berkali-kali oleh Aksa. Ia memutuskan lebih berbuat baik pada orang lain. Impiannya adalah bisa seperti malaikat di bawah hujan. Yang sibuk memberi keteduhan, meskipun mendapat celaan. Sejak itu, ia menjuluki dirinya sebagai "Hujan" Sebuah bacaan tentang perjalanan cinta, pergulakan batin, pencarian jati diri, dan apa-apa yang disebut muara cinta sejati. Tidak hanya romansa sepasang kekasih. Baca aja dulu, komentar belakangan. Selamat membaca.

Tags
1 tags
Chapter 1Part 1 - Malaikat di Bawah Hujan

Apakah kalian percaya keajaiban cinta?

Entah percaya atau tidak, kemari. Akan kubisikan satu rahasia.

Lebih tepatnya bukan tentang aku. Tapi dia. Perempuan berbaju navy yang datang dan pergi bersama hujan. Mungkin kalian tidak tahu. Atau, barangkali kalian tau, tapi tidak percaya. Kala langit menitikkan bulir-bulir bening nan dingin, dia ada diantara kalian.

Dia tak bisa tidak menengadahkan tangannya saat hujan. Tersenyum gembira sembari sesekali memejamkan mata. Barangkali karena dinginnya hujan, kilau bulir-bulirnya, ditambah angin yang menerpa, membuat mata kalian tak melihatnya.

Di salah satu sisi jalan yang basah, dia berdiri mamanggul ransel navynya. Dia si gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban. Payung selalu dibawanya. Bukan berarti ia tak suka hujan. Justru kebalikannya. Ia kerap kali menantinya. Dialah Nurul Hayya. Akrab dipanggil Ayya.

Hujan memerangkap gadis itu di teras mushola. Di sisinya, berdampingan dengan jalan raya. Dia mengawasi langit kelabu sambil menggigiti bibir. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk kaki. Di kedua pipinya, hujan meninggalkan jejak. Butir-butir kecil yang hampir tidak tampak. Tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang ngilu—seakan tak menyatu.

"Kak Ayya...," salah seorang anak berpayung motif kartun kucing memanggilnya.

Ayya tersenyum. Sembari tetap memegangi lengan kirinya. Sesaat, dilepaskannya. Untuk leluasa melambaikan tangan pada anak berpayung kartun kucing yang memanggilnya.

"Kak Ayya belum pulang?" salah seorang anak lain mendekatinya di teras Mushola.

"Belum, sayang. Adek kenapa belum pulang?" 

"Mau sholat dulu, Kak."

Ia tersenyum. Sesekali memeriksa jalanan. Seperti sepasang kekasih di tengah hujan, lalu menunggu seseorang menjemput dengan payungnya. Namun, tunggu dulu. Apakah dia menanti seorang kekasih? Atau dirinya yang lain?

Ia malah memeriksa buku di ransel navynya. Matanya lekat memastikan halamannya aman. Tak basah karena hujan. Tak rusak karena terlipat jarak.

Dia tidak punya waktu. Satu jam lagi, ia harus sampaikan sesuatu. Tak ada musim yang menunggu kotanya siap sedia. Kota itulah yang harus siap sedia selalu. Siapapun tak bisa mengutuk hujan, hanya karena waktu. Apalagi hanya karena gerutu.

Kalau saja di ranselnya tak ada buku dan sesuatu itu, mungkin ia akan menerobos hujan. Lebih dari satu jam ia menunggu di sana, hujan tak kunjung reda. Aroma petrichor yang dinantikannya, pun belum muncul sempurna.

Gadis itu kembali membuka ranselnya. Mencari pena dan menuliskan rahasia di bukunya. Percik-percik kembang api keluar darinya.

Bersama rintik jatuhnya bulir bening dari langit, dahinya mengernyit. Diperiksanya ponsel kembali. 

"Kamu sudah sampai mana?" Sebuah pesan kembali dilayangkannya.

Namun, sampai lima menit tak ada balasan. Perempuan yang mengeluarkan percik kembang api dari penanya itu tetap membuat garis senyum penuh kesabaran. Kembali, ia mengirim pesan. 

"Kamu masih dalam perjalanan? Disana hujan deras kah? Kamu bawa jas hujan 'kan?" Pesannya mulai berbeda. Ya. Kekawatiran mulai menyelimuti matanya.

Anak kecil yang tadi menyapanya keluar dari mushola. "Kak Ayya belum pulang?" "Belum, sayang. Masih nunggu jemputan."

"Ouh gitu. Aku duluan ya, Kak. Kawatir ditungguin Bu Nana. Assalamualaikum, Kak Ayya... ." Ia memakai sandal ungunya. Segera berlari menerobos hujan dalam cerianya.

Kawatir. Apakah kekawatiran hanya usaha sia-sia menebak takdir yang tak perlu ditebak? Namun, lihatlah. Perempuan gila buku yang mengeluarkan percik kembang api di penanya tetap tersenyum. Tangannya mengulur pelan menerima bulir-bulir bening dari langit malam itu. Memejamkan mata. Meninabobokan cemas dan kawatir di matanya.

Sebuah kotak pesan masuk di ponselnya.

"Maaf, aku sepertinya terlambat. Kamu masih di sana 'kan?"

Tanpa membuat pengirim pesan itu menunggu, perempuan itu langsung membalasnya.

"Gapapa. Iya, aku masih di sini. Hati-hati, ya. Jangan ngebut." Segaris senyum kembali dibuat di bibirnya yang kian dingin.

Perempuan itu kembali melanjutkan yang ditulisnya di halaman buku. Percik kembang api keluar dari penanya. Letupan-letupan kecil nan lucu itu selalu saja disukainya. Aneh, memang. Kenapa perempuan ini menyukai hal-hal kecil yang bahkan orang lain akan menganggapnya sebuah kesia-siaan? Ah, tunggu dulu. Apa pula makna sia-sia?

Tak ada sia-sia dalam kamus hidupnya. Denting waktu di jam tangan bermotif buku itu menunjuk angka sembilan lewat sepuluh menit. Sudah satu setengah jam ia menunggunya. Namun, tak ada raut wajah sedih, kesal, apalagi marah darinya.

Kata orang, wajah perempuan sepertinya tak cocok kalau marah. Jadi, ia sudah belajar tak menampakkan marah sedari kecil di wajahnya. Ia pindahkan dalam pena. Ke dalam halaman-halaman buku yang penuh mata dan telinga.

"Kamu masih terjebak hujan? Atau sudah jalan?" Perempuan itu kembali mengirim pesan pada seseorang yang ditunggu.

"Sebentar lagi aku kesana. Sabar, ya."

"Sabar?" Ehm, sebut saja perempuan itu belum memenuhi kriteria sabar. Saat hujan mulai kembali ke tanah sepenuhnya, aroma petrichor menyerbak indahnya. Mata perempuan itu terpejam. Dibiarkannya hidungnya mencium aroma khas itu.

"Indah... sejuk. Aku suka aromanya."

Sebuah motor berwarna biru melintas tak jauh dari Mushola tempat perempuan itu menunggu. 

"Dia? Kok? Ko gak kesini? Siapa perempuan yang diboncengnya?"

"Ah, aku salah melihat saja paling." Ia menutup halaman buku yang berisi sesuatu. Memasukkannya ke dalam tas, dan mempersiapkan diri dijemput entah oleh siapa.

Perempuan itu memegang secarik kertas. Ternyata, ia sudah mengambilnya terlebih dahulu. Dimasukkannya ke dalam sebuah amplop lucu. Sebuah amplop bermotifkan buku dan hujan. Hujan dan buku. 

"Semoga kamu suka." Lirihnya pada amplop lucu itu.

Namun, seseorang yang ditunggu tetap tak kunjung di depan matanya.

"Kamu gapapa 'kan? Ada halangan di jalan? Motormu macet? Atau... bajumu basah kena hujan?"

Anehnya, tak ada mata curiga apapun pada yang ditunggunya. Perempuan itu tetap menumbuhkan kasihnya. Semata, berharap seseorang yang akan diberinya kertas di amplop lucu itu baik-baik saja. Tak ada balasan. Namun, waktu terus berjalan. Angka di jam tangannya kian menghantarkan pada gelapnya malam. Pukul sepuluh lebih sepuluh.

"Ya Tuhan, sebenernya dia dimana? Dia baik-baik saja 'kan?" Matanya mulai berkaca, tapi ditahannya bulir mata segera.

"Kak Ayya gak pulang? Mampir ke panti aja, yuk, Kak. Gapapa kan, Bu?" seorang anak kecil bersandal ungu itu merengek. Meminta Bu Nana untuk memberi atap panti untuk Ayya.

"Iya, Nak. Daripada di mushola. Sudah malam, kawatir. Ayuk, mampir ke panti aja. Anak-anak pasti suka."

"Terimakasih, Bu. Tapi saya sedang menunggu seseorang." Jawabnya ramah.

Seseorang dengan motor biru itu tiba-tiba datang di depan matanya.

"Naah, dia sudah datang, Bu. Sebelumnya terimakasih ya, Bu. Maaf, kalau sudah membuat kawatir Ibu." 

"Ouh, iya Nak. Gapapa. Syukur, kalau yang jemput sudah datang. Kalau ada apa-apa, mampir ke panti lagi aja, Nak. Nginep di sini gapapa." Jawabnya ramah.

Anak kecil bersandal ungu dan Ibu Nana pun segera berlalu. Meninggalkan perempuan berbaju navy yang datang dan pergi bersama hujan. Pun, meninggalkan seseorang yang menjemput perempuan itu. Seorang laki-laki berwajah hujan dengan motor biru.

"Maaf, sudah membuatmu lama nunggu." Ucap laki-laki berwajah hujan itu. Tak lain tak bukan adalah Aksa.

"Gapapa. Kamu baik-baik aja 'kan?" Perempuan itu masih saja mengkawatirkannya. Padahal, dirinya agaknya lebih perlu dikawatirkan. Saat perempuan itu hendak memakai helm, aroma lain tercium. 

"Oh ya, kamu tadi pake jaket apa? Kok gak basah kena hujan?"

"Ouh, tadi dari rumah emang pakai jaket coklat. Tapi kehujanan, dan tadi mampir lewat temen, dikasih pinjam ini."

"Pantesan. Jarang sekali kamu pakai jaket merah muda. Aneh aja."

"Hehe iya. Gapapa 'kan?"

Perempuan itu hanya tersenyum. 

"Oh ya, kamu bawa apa?" Laki-laki berwajah hujan itu tak jadi mengenakan helm padanya. "Kayanya itu buat aku yah?" 

Perempuan itu mengangguk. Laki-laki berwajah hujan itu kian mendekatinya. Bersiap menerima amplop lucu itu. Amplop lucu yang berisi sesuatu—dibuat dari tinta yang dikeluarkan pena dengan percik kembang api di dalamnya. Mata mereka semakin bertemu. Namun, hal lain terjadi. Perempuan itu melihat bunga lain tumbuh subur dari mata laki-laki berwajah hujan itu. Selama ini, hanya satu bunga yang selalu dilihatnya. Namun, malam itu bunga lain tumbuh juga. Refleks, perempuan berbaju navy itu menjatuhkan amplopnya.

"Kenapa?"

"Gak papa. Aku baru ingat ada perlu lagi sama anak di panti. Sepertinya, aku akan menginap di sana malam ini. Kamu pulang saja. Maaf." Perempuan itu menunduk. Memaksa diri berbohong, untuk tak memerlihatkan amarahnya. Berlari kecil menyusul seorang Ibu dan anak bersandal ungu. "Bu, Maaf, boleh saya menginap di panti untuk malam ini?" Sapanya.

"Boleh sekali, Nak Hayya. Mari." Mereka berlalu. Meninggalkan laki-laki berwajah hujan yang menumbuhkan dua bunga di mata perempuan itu. 

"Tunggu! Kamu kenapa?" Sia-sia. Laki-laki itu memungut amplop lucu. Sebuah amplop yang berisi kertas dengan tinta percik kembang api di dalamnya. Seakan terbakar beberapa detik saat bertemu dengannya.

Dibukanya amplo berisi sesuatu itu.

Selamat Ulang Tahun, Hujanku.

Semoga kau tetap merawat satu bunga di halaman matamu.

Bulir bening mengalir begitu saja darinya.

***

Namun, di jalan yang lain, perempuan itu terus menebar kasih. Ia tetap membaca buku. Menulis sesuatu. Mengeluarkan percik kembang api dari pena. Meluapkan amarah pada halaman buku yang penuh mata dan telinga. Menebar senyum dan tawa pada anak-anak.

Pun, menawarkan teduh puisi pada mereka. Ia terus saja begitu. Seakan melupa, hujan tak lagi datang dan pergi bersamanya. Hujan tak lagi turun dari langit. Tapi dari matanya yang terus menebar kesejukan. Tanpa terhalang siapapun yang mengecewakannya.

Ia percaya apapun yang menimpanya, ia ingin menjadi seperti malaikat di bawah hujan. Hanya menaburkan kasih, tanpa peduli apa yang didapatnya. "Mulai hari ini, biarlah aku seperti malaikat di bawah hujan. Datang dan perginya membawa rahmat. Apapun yang kudapat. Maafkan aku, Aksa. Aku hanya kecewa." Lirihnya.

"Keajaiban. Apakah sekarang aku perlu memercayainya?" "Aksa, kenapa percaya dan melupa jadi sedemikian dekat jaraknya? Baru saja aku memercayakan telingamu, tapi hari ini?" Lirih Ayya.

You May Also Like

"Ku Tunggu Kau di Surga"

Nirmala, gadis berusia 20 tahun, dia pengidap penyakit leukimia. Dan divonis dokter umurnya tidak akan lama lagi. Dia adalah anak pengusaha kaya. Nirmala tinggal bersama ibu tirinya. Suatu hari Nirmala dijebak Lea sedang minum-minuman keras di sebuah bar, dan berfoto-foto mesra dengan seorang pria dalam satu ranjang. Hingga dia diusir dari rumahnya sendiri oleh Sony(papanya). Nirmala tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena kejahatan Lea. Dengan bantuan Bi Ijah asisten rumah tangga Nirmala, Nirmala bisa tinggal bersama Bibinya di kampung. Suatu hari dia bekerja terlalu keras membantu sang Bibi di persawahan. Hingga dia lemas, mimisan dan akhirnya pingsan. Sang Bibi membawanya ke dokter, kata dokter itu hanya faktor kelelahan. Seminggu kemudian, itu sering terjadi. Hingga kejadian itu terjadi beberapa hari kemudian. Dari pemeriksaan dokter dirumah sakit, Nirmala pengidap penyakit Leukimia akut. Disebuah pasar Nirmala bertemu dengan Kevin. Dari sanalah awal mereka kenal. Yang tiap harinya mereka selalu bertengkar, namun lama-lama kebencian itu berubah jadi cinta. Karena biaya pengobatan Nirmala yang mahal, dia memutuskan untuk bekerja sebagai penyanyi disebuah King Club terbesar di Asia Tenggara. Dengan memakai topeng Nirmala menutupi identitasnya. Nirmala bertemu dengan pemilik Club, Jack Wilson. Dia juga Pemilik perusahaan besar di beberapa kota. Jack jatuh cinta pada wanita yang berinisial Issabella itu? bagaimana kelanjutan kisahnya?

Iin_Romita · Teen
5.0
400 Chs

Was My Sweet Badboy

WARNING !! [cerita ini hanyalah fiktif belaka, semua setting tempat adalah fiktif! kesamaan nama tokoh, tempat, sekolah maupun scene dalam novel ini adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan!] ------------------------------------------------- Bimo namanya, anak baru pindahan dari Bandung yang tiba-tiba memberiku surat, isinya dia minta izin untuk menyukaiku. hah?! 'kenapa suka aku?' kuputuskan untuk tanya hal ini. lalu dia jawab begini ; 'aku tidak punya alasan, tidak paham juga kenapa bisa suka, hanya mataku tidak bisa berhenti melihat kemanapun kamu pergi, aku tidak bisa menahan senyumku dan rasa senangku kalau sedang dekat denganmu, aku suka lihat kamu ketawa dan tidak senang lihat kamu nangis, aku benci orang-orang yang bikin kamu sedih sampai-sampai ingin ku tendang pantat mereka biar sampai ke pluto, aku mau pegang tanganmu dan bilang pada cowok-cowok yang suka padamu untuk tidak lagi mengganggumu.' ku baca tulisannya yang panjang itu. aku deg-degan, sumpah kalau dia bisa dengar jantungku, itu seperti ada drum band di dalamnya. Dia orang yang unik, dan punya pendekatan berbeda padaku, orang yang percaya diri dengan bagaimana kepribadiannya, tidak kasar, berusaha dengar perkataanku, tapi sebenarnya dia juga adalah orang yang keras pada idealisnya, suka naik gunung bahkan bikin jantungku sering ingin lompat karena khawatir setiap kali dia melakukan hobinya itu. Bimoku... Elangku yang selalu terbang bebas tanpa peduli apapun.. Elangku yang selalu terbang menerjang badai... ini, adalah kisahku saat itu, saat dia bersamaku.. -------------------------------------------- VOLUME 2 : Menggapai kembali Ketika masa lalu menyesak masuk saat kau telah mulai lari darinya. Seseorang yang tetap berdiri di persimpangan hidup mereka. Yang tetap tegak di persimpangan waktumu dengannya. Kini persimpangan itu mempertemukan mereka kembali. Dengan segala keajaiban-keajaiban yang kau kira telah tiada. Dia berusaha menggapaimu sekali lagi. Berlari dari masa lalu, mengejarmu yang telah lama tertatih untuk bisa berdiri di titik ini. Mencoba meraihmu dengan senyumnya lagi. "Kamu masih punya hutang jawaban sama aku." "Apa?" "Yang mau kamu jawab 10 tahun lagi sejak waktu itu." "Hahah, kamu pikir itu masih akan berlaku?" "Tentu! Ray, marry me please ..." POV 3 ---------------------------------- Volume 3 : Langit dan Rindu Kisah si kembar buah hati Bimo dan Raya, akankan kisah mereka semanis kisah remaja kedua orang tuanya? Bagaimana jika Langit Khatulistiwa punya kecenderungan sister complex dan juga tsundere akut terhadap adik kembarnya? Intip yuk ... ---------------------------------------------- [karya ini bergenre romance-komedi, harap bijak dalam membaca, jika sekiranya tidak sesuai selera, silahkan close, gak usah masukin koleksi] [mengandung kata kasar, dan diksi tidak serius dalam penceritaan!] Credit cover : Pinterst cover bukan milik pribadi

MORAN94 · Teen
4.9
425 Chs
Table of Contents
Volume 1

ratings

  • Overall Rate
  • Writing Quality
  • Updating Stability
  • Story Development
  • Character Design
  • world background
Reviews
Liked
Newest

SUPPORT