webnovel
#ROMANCE

Aku Adalah Hujan

[Romance dengan sedikit magical realism. Dikemas unik, bertabur quote, manis dan agak prosais. Hati-hati baper, ya. Hehe] Kamu percaya tentang malaikat di bawah hujan? Malaikat itu menjelma perempuan bermata teduh, membawa payung dan suka menulis sesuatu di bukunya. Lalu, ini istimewanya. Ia membawa payung bukan untuk menjemput seseorang. Namun, akan memberikan payung itu sebagai tanda rahmat. Terutama untuk mereka yang tulus hati. Siapa yang mendapatkan naungan dari payung itu, ia akan mendapatkan keteduhan cinta sejati. Kamu percaya? Mari membaca. Selamat hujan-hujanan. Eh, kamu masih penasaran siapa dia? "Aku adalah Hujan. Yang percaya dibalik hujan memiliki beribu keajaiban. Aku akan lebih menagih diri berbuat baik untuk orang lain. Pun, mendamaikan setiap pasangan yang bertengkar di bumi ini. Demikian keindahan cinta bekerja, bukan?" Gumam Ayya, perempuan berbaju navy yang membawa payung hitam itu. Ayya tak lagi mempercayai keajaiban cinta. Tepat ketika dikecewakan berkali-kali oleh Aksa. Ia memutuskan lebih berbuat baik pada orang lain. Impiannya adalah bisa seperti malaikat di bawah hujan. Yang sibuk memberi keteduhan, meskipun mendapat celaan. Sejak itu, ia menjuluki dirinya sebagai "Hujan" Sebuah bacaan tentang perjalanan cinta, pergulakan batin, pencarian jati diri, dan apa-apa yang disebut muara cinta sejati. Tidak hanya romansa sepasang kekasih. Baca aja dulu, komentar belakangan. Selamat membaca.

Ana_Oshibana · Teen
Not enough ratings
194 Chs
#ROMANCE

Part 144 - Cermin Kebebasan 2 (Kisah Sepasang Remaja SMA)

Cermin Kebebasan 2

POV Aksa, Nia, Oki, dan Ayya

Sebuah film kembali berputar di cermin itu. Membuat keempat sahabat itu kembali menyimaknya.

***

"Dika, lo dimana?"

"Heh! Dika! Temen-temen di sini pada nungguin!"

"Dik, lo dimana? Acara PLS tinggal beberapa hari lagi nih. Kita mesti rapat pemantapan."

Berbagai pesan whatsapp tak dibaca Dika. Wajahnya mematung. Ia masih duduk di ruang tengah. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Segelas kopi yang dibuatkan Ibunya pun mendingin. Bukan hanya karena cuaca, waktu, tapi barangkali juga jemu. Bosan menanti Dika meminumnya.

"Dika, kok masih di rumah, Nak? Gak ke sekolah?"

"Eh, Iya, Bu. Nanti aja. Dika pengin di rumah dulu."

"Kamu kenapa, Nak?"

"Kopinya udah dingin? Gaenak?"

"Enggak, Bu. Nanti Dika juga minum."

"Bu, Dika boleh minta sesuatu?"

"Apa, Nak?"

"Mulai sekarang jangan panggil Dika lagi, ya. Panggil Raka aja. Aku lebih suka panggilan itu." Pintaku kelu.

"Kenapa sayang?" Ibunya terheran.