Mia membutuhkan uang. Sementara Petra, tuan CEO Kaya yang disebut dengan pria yang paling sempurna di muka bumi, membutuhkan seorang istri. Ya, begitulah awal kisah hubungan mereka berdua. Bagi mereka, pernikahan ini adalah pernikahan yang saling menguntungkan. Petra tidak butuh wanita yang memiliki mimpi muluk-muluk, dia butuh istri untuk mendapatkan saham pamannya dan Mia adalah wanita yang sangat cocok dengan kebutuhan Petra, karena Mia hanya butuh ‘Uang’. Dari situ, hubungan mereka terus berlanjut. Tuan CEO butuh seorang anak? Tentu, tapi membuat 1 anak sekali pun ada harganya! Jadi, apa ada hal lain lagi yang Anda butuhkan, Tuan CEO?
Malam itu, hujan lebat mengguyur dan membasahi segala sesuatu di dunia; petir yang sesekali menyambar diselingi guntur memekakkan telinga, dan seluruh dunia diselimuti kegelapan.
Tidak ada sedikit pun cahaya di kamar yang remang-remang itu, dan gorden yang tebal menghalau cahaya malam yang muram di luar, sama sekali tidak merambatkan cahaya ke kamar pria itu.
Di atas tempat tidur besar itu, dua orang dengan tengah bergelut mesra dengan napas tersengal….
Malam itu adalah titik balik terbesar dalam hidup Mia... hingga pada akhirnya, dia terlalu banyak digunakan malam itu dan tidak bisa mengingatnya.
Setelah efek obatnya habis dan Mia sudah terbangun, seluruh tubuhnya terasa remuk redam ketika digerakkan. Dia tampak berantakan.
Tangannya perlahan mengepal, dan dia menggigit bibirnya.
Tiba-tiba hidungnya menangkap bau tidak enak, dan ujung hidungnya sudah basah.
Dalam kepanikannya, Mia bahkan tidak menoleh ke arah pria yang sedang tidur memunggunginya. Dia mengertakkan gigi dan turun dari tempat tidur, memungut pakaiannya dari lantai satu per satu, dan memakainya. Kemudian, dia bergegas pergi.
Disertai petir yang menyambar, Mia berjalan keluar di bawah hujan lebat di Jakarta di seperti makhluk tersesat. Namun setelah baru beberapa saat, dia sudah basah kuyup.
Air matanya sudah mengalir deras ketika dirinya berjalan keluar….
Kata orang, menangis paling nyaman dilakukan di bawah hujan. Di tengah hujan, tidak akan ada yang tahu betapa pengecutnya kita.
Mia tersenyum sekaligus menangis…. Dirinya tampak sangat lesu di bawah lampu jalan yang redup.
Wanita itu tidak tahu bagaimana bisa dia berjalan pulang. Ketika melihat cahaya lampu rumahnya, dia sesaat termenung….
Sudah hampir pagi hari ketika dirinya meninggalkan Hotel Sophia. Dia sudah berjalan lama sekali; kenapa lampu di rumah masih menyala?
Mia tidak berani masuk. Dia berdiri di depan pintu dan memandang ke arah rumah itu. Rasa sakit di hatinya seketika membanjiri tubuh yang dihancurkan oleh pria itu.
Pintu tiba-tiba terbuka, dan sekalipun ingin, Mia sudah tidak sempat sembunyi.
"Mbak?" Yang keluar adalah Bu Surti, yang merupakan pembantu di rumah Jian. Ketika melihat Mia, wanita itu terkejut, lalu bergegas menghampirinya di depan rumah. "Mbak, Mbak ke mana saja? Mbak tidak ada semalam, waktu semuanya…" suaranya tercekat, "... terjadi!"
Sesuatu telah terjadi. Mia tercengang, dan matanya bergetar samar. Dia kebingungan.
Bu Surti tidak menyadari rasa malu Mia. Hanya saja, dia sudah menduga Mia tidak membawa payung. "Bapak jatuh di lokasi konstruksi... sekarang sudah di rumah sakit. Telepon ke Mas tidak bisa masuk, telepon ke Mbak tidak bisa masuk…. Ibu sendirian di rumah sakit. Serangan jantungnya kambuh lagi."
Bu Surti mengira Mia tidak mendengarnya dengan jelas. Mia baru mendengar kata "jatuh," dan pikirannya seketika kosong.
Bu Surti melihat Mia panik dan terbengong-bengong. Diraihnya tangan Mia sambil berjalan ke mobil di sisi jalan.... Baru setelah dibawa masuk ke dalam mobil, Mia kembali tersadar.
Setelah tersadar dari lamunannya, Mia menatap Bu Surti dengan mata merah dan tubuh gemetar. "Bu Surti.... tadi… tadi...." Dalam kepanikannya, bicaranya terbata-bata. Setelah menelan air liur, dia tersentak dan bertanya, "Tadi apa katamu?"
Pak Atang, suami Bu Surti, yang mengemudikan mobilnya. Pria itu melirik Mia dari kaca spion dan mengemudikan mobil ke rumah sakit dengan raut wajah bimbang.
Wajah Bu Surti terlihat lebih bimbang. Dia mendesah berat, dan berkata, "Ada sesuatu di lokasi konstruksi. Katanya, Bapak terjatuh. Ketika Ibu mencoba menyelamatkan Bapak, beliau dilarikan ke rumah sakit. Yang saya dengar, keadaannya sekarang kurang baik…" kata Bu Surti, namun tidak dilanjutkan.
Mia memejamkan mata. Ibu mengalami serangan jantung dalam keadaan seperti itu. Pasti rasanya tidak tertahankan.
Ketika mobil mereka tiba di rumah sakit, Didi dan Retno sama-sama sedang dioperasi.
Koridor kosong itu luar biasa menyeramkan di malam berhujan, seolah-olah ada hawa kematian di mana-mana.
Mia berdiri dengan tubuh basah kuyup di depan pintu ruang operasi, menatap lampu bertuliskan "OPERASI" tanpa ekspresi.
Pak Atang menghampirinya dan melepas mantelnya, lalu dan menyampirkannya pada tubuh Mia. "Mbak, ayah dan ibu Mbak orang baik. Pasti akan baik-baik saja."
"Mana Kak Radit?" Mia bertanya dengan dingin tanpa menoleh.
Pak Atang menghela napas pelan. Wajahnya dipenuhi raut putus asa yang berat. "Mas belum pulang.... Saya tidak bisa meneleponnya."
Mulut Mia membentuk cibiran, dan perlahan, kebencian meluap dari matanya.
Dalam sekejap, terasa sesuatu membuncah dingin di dadanya. Matanya memerah, dan dia mengertakkan giginya... menahan air matanya yang kembali mengancam untuk menetes.
Mengapa dia harus percaya kakaknya akan memberinya uang malam ini?
Jelas dia sudah tahu bahwa seorang penjudi tidak mungkin bisa disembuhkan… tapi dia masih percaya pada Radit, dan bahkan kehilangan waktunya yang berharga ketika dijebak olehnya.
Tangan Mia terkepal semakin erat. Sepertinya selama dia menggunakan sedikit kekuatan, dia tidak dapat menahannya….
Waktu tidak pernah berjalan begitu lambat sebelumnya. Mia berdiri begitu saja, menunggu…. Sampai hujan berhenti di luar dan langit berangsur-angsur cerah.
Meski menunggu lama, setidaknya masih ada harapan walau tanpa kabar, bukan?
Namun, pada saat fajar menyingsing, Mia merasa bahwa... dunianya telah sepenuhnya meninggalkannya.
"Maaf, kami sudah mencoba yang terbaik…."
Mia merasa akan pingsan, tapi ketika dokter mengucapkan kata-kata ini secara langsung, dia diam saja. "Dokter, dimana ibuku?"
"Kondisi Bu Retno untuk sementara terkendali, tapi...." Dokter memandang gadis diam di hadapannya.
"Tidak apa-apa, saya bisa menerimanya," kata Mia pelan, namun ketegangan di matanya telah mengkhianatinya.
Dokter menghela napas pelan. "Bu Retno menderita terlalu banyak pada jantungnya, dan jantungnya berhenti berdetak beberapa kali selama proses operasi…. Meskipun sudah bisa dikendalikan, belum dipastikan Bu Retno akan kembali siuman."
Mia hanya merasakan kaki-kakinya melemas. Dia merosot. Tiba-tiba, pandangannya menggelap, dan dia hampir pingsan.
"Mbak… Mbak…." Pak Atang dan Bu Surti bergegas menopang Mia, wajah mereka yang lelah benar-benar tampak khawatir.
Mia memejamkan mata dan menegakkan diri sebelum membuka matanya. Suaranya menjadi semakin parau. "Aku tidak apa-apa…."
Matanya terus gemetar. Mia ingin bersikap lebih tegar….
Dia melihat sebuah ranjang rumah sakit didorong keluar. Tangannya yang gemetar dengan lembut menarik kain putih yang menutupi pasiennya.... Melihat ayahnya yang tidak memiliki tanda-tanda kehidupan, dia tidak sanggup menahan tangisnya lagi.
"Ayah.... Ayah...." Mia memeluk tubuh Didi dan menangis pedih, meneriakkan namanya tanpa tahu harus berkata apa lagi.
Bu Surti diam-diam menyeka air matanya. Pak Atang memandang Mia dengan tatapan sedih.
"Keluarga yang baik, kenapa tiba-tiba…." Bu Surti sudah menangis. "Kenapa ini?"
Sang dokter melihatnya. Sesaat kemudian, dokter tersebut menghela napas, berbalik, dan pergi dengan membawa kembali laporan kematiannya. Dia sudah melihat terlalu banyak kehidupan dan kematian, namun setiap kali dia melihat suasana duka seperti itu, dia merasa kasihan.
Tapi dia belum berjalan jauh. Tiba-tiba, suara cemas datang dari belakangnya.
"Mbak, Mbak…."
Dokter menoleh dan melihat Mia terhuyung ke lantai dan pingsan.