Sinopsis Chiraaz Almeera seorang wanita muda yang tengah mengecap indahnya madu pernikahan, harus dihadapkan pada keadaan yang tidak diinginkan. Perubahan sikap Eljovan, suaminya, sangat membuatnya tersiksa. Pria itu menyiksanya dengan berbagai tuduhan yang sangat menyakitkan dan mencurigainya memiliki hubungan dengan pria lain. Hari demi hari Chiraaz jalani, layaknya dalam penjara emas yang membelenggu. Teror dari orang asing terus datang padanya dan membuatnya semakin gila. Tidak ada ketenangan maupun kedamaian yang ia rasakan. Terlebih lagi sejak kehadiran Aletha, orang dari masa lalu, yang menjadi tetangga barunya. Semakin membuat hubungan Chiraaz dan Eljovan kian saling menjauh. Ditambah lagi Aletha mengetahui masa lalu Chiraaz, yang bisa menjadi ancaman kapan saja. Akankah Chiraaz bertahan dalam pernikahannya dan berhasil menyingkirkan Aletha? Masa lalu apa yang Alteha ketahui? Benarkah kecemburuan Eljovan hanya alasan untuk menutupi kebobrokanya?
Empat orang pria berpakaian hitam, tengah mengejar seorang wanita cantik di jalanan. Sejak sore tadi, mereka sudah mengintai keberadaan wanita tersebut, yang menjadi target incaran tuannya. Saat ada kesempatan, mereka tidak menyia-nyiakan waktu dan terus mengejar si wanita.
"Cepat! Kejar dia! Jangan sampai lolos. Nyonya bisa marah pada kita!" ujar seorang pria berbadan kekar.
"Sial! Tubuhnya kecil, tapi bisa lari secepat tupai!" sahut lainnya.
"Sudah! Jangan banyak bicara, saya tahu dia akan menuju ke mana. Saya kejar dia, kamu cegah dia lewat jalan pintas!"
"Baik, ketua!"
Mereka langsung berpisah, dua orang terus mengejar ke depan. Sementara dua lainnya mengikuti perintah ketua Genk.
Di depan, wanita itu terus berlari dengan perasaan takut. Sesekali ia terus menengok ke belakang, memastikan berandalan itu tidak mengejarnya. Jalanan yang sepi, membuatnya semakin terpojok dan tidak bisa berteriak meminta tolong. Sejak tadi, ia hanya melihat jalan yang lengang dan tiang listrik berdiri membisu.
Chiraaz Almeera, entah apa yang diperbuatnya, ia sendiri tidak mengerti. Sepulang bekerja ia terus diikuti oleh keempat orang yang tidak dikenalnya. Sekarang, hatinya menyesal karena tidak mau menelpon sang suami untuk menjemput.
"Ya Tuhan, siapa mereka? Kenapa mereka mengejar saya? Apa mereka mau memperkosa saya?" Hati Chiraaz terus menimbulkan tanya, tapi tidak ada waktu untuk berpikir, selain terus berlari menyelamatkan diri.
"El, kamu di mana? Aku takut El," ratapnya dalam hati.
Setelah berlari cukup jauh, Chiraaz mulai kehilangan tenaganya. Ia menoleh ke belakang dan melihat para berandalan itu sudah tidak ada. Chiraaz menghentikan langkahnya seketika, matanya berpendar ke sekitar untuk memastikan. Setelah beberapa saat, ia yakin mereka sudah tidak mengejarnya.
"Ahhh, berandalan sial! Mau apa mereka, aku harus berlari sejauh ini, karena ketakutan!" gerutunya seraya menghela napas panjang, mengatur dadanya yang tersengal.
Chiraaz mengeluarkan ponsel, hendak mencari tahu di mana lokasinya berada. Karena terus berlari, ia tidak memikirkan sudah pergi sejauh apa. Dibukanya tas berwarna hitam, lalu mrngeluarkan ponselnya dan langsung membuka maps. Baru saja menyentuh layar, tiba-tiba tangan seorang pria mencengkram erat pergelangan tangan kanannya.
"Aaaaaaaaaaaa." Chiraaz menjerit ketakutan, ponsel jatuh dari tangannya dan berserakan.
"Diam!" Ketua Genk langsung membungkam mulutnya, tanpa ampun pria berbadan kekar itu memukul tengkuk Chiraaz hingga wanita itu tak sadarkan diri.
"Menyusahkan!" gerutu ketua Genk. "Cepat gendong dia dan bawa pada Nyonya, dia sudah tidak sabar, menunggu mangsanya," titahnya.
Ketiga anak buahnya mengangguk paham, salah satu dari mereka menggendong tubuh Chiraaz. Dibalik sebuah terowongan, mereka pun lenyap tanpa jejak.
***
Di dalam sebuah gudang, Chiraaz diikat pada sebuah tiang. Saat ia sadar dan perlahan membuka matanya, samar-samar ia melihat empat orang pria yang mengejarnya berdiri di belakang seorang wanita yang tengah duduk di kursi. Belum sempat kesadarannya pulih, wanita itu bangkit dan mengangkat ember.
"Hai Chiraaz sayang, baru bangun yah?" Seorang wanita menyapa Chiraaz dengan ramah.
"Nyo-- Nyonya Hwan--," ucap Chiraaz terbata-bata memanggil nama wanita itu. Ia menggerakkan lehernya yang terasa pegal.
"Bagaimana? Masih mau bermain dengan saya?" Wanita yang dipanggil Nyonya Hwan itu tersenyum sinis. Tatapannya tajam melihat pada Chiraaz.
"Apa maksudmu Nyonya! Aku tidak mengerti!"
"Diam jalang! Jangan berpura-pura lagi. Kau, sudah merusak otak suamiku!" seru Nyonya Hwan sengit.
Chiraaz tersenyum sinis dan berkata, "Seharusnya anda berkaca, anda tidak lagi muda dan tidak menarik. Itu sebabnya Tuan Xi-Hwan melirik gadis lain, tentunya yang cantik seperti saya," ejeknya.
Byyuurrrrr!
Nyonya Hwan menyiramkan air kotor dari ember yang sedari tadi ia pegang. Chiraaz langsung mual dan ingin muntah, mencium bau yang sangat busuk ditubuhnya.
"Cepat! Bungkam mulut dia dengan lakban! Jangan sampai gudang ini semakin kotor karena kotoran dari mulutnya," titah Nyonya Hwan.
"Baik, Nyonya." Pria berbadan kekar langsung menyumpal mulut Chiraaz dengan kain. Lalu menempelkan lakban sebanyak mungkin di sekitar mulut Chiraaz.
Chiraaz menggelengkan kepalanya, perutnya meronta ingin muntah. Tapi mulutnya yang tersumpal kain ditambah lakban yang memperkuat. Membuatnya sangat kesakitan merasakan perutnya yang tidak karuan.
"Jauhi suami saya, jangan pernah ganggu atau dekati dia lagi. Jika tidak kau turuti keinginanku, maka kematian akan datang menjemputmu," ujar Nyonya Hwan. Ia berbalik dan bersiap merapikan tas nya.
"Emmhhh, emmmmhh." Chiraaz menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia terus bergerak meminta sumpalan di mulutnya segera dibuka.
"Nyonya, berapa lama kami harus menyekap wanita ini?" tanya orang suruhannya.
Nyonya Hwan kembali berbalik, lalu melihat penampilan Chiraaz yang mengenakan rok pendek warna hitam. Dipadukan dengan blazer abu-abu, yang ia yakini dalamnya hanya ada tangtop sebagai pelapis.
"Apa kalian tidak bernafsu melihat penampilannya yang sexy?" tanya Nyonya Hwan, seutas senyum simpul tersungging di bibirnya.
"Bolehkah, Nyonya?" Seorang anak buah lain menimpali, lidahnya terjulur penuh nafsu.
"Tentu saja, kasihan sekali dia ini. Wanita kesepian yang jarang disentuh oleh suaminya," jawab Nyonya Hwan. Matanya nyalang menatap tajam Chiraaz yang mulai menangis, dari raut wajahnya wanita itu nampak semakin ketakutan.
"Kalian puaskan saja dia. Mungkin, karena tidak pernah disentuh suaminya, jadi dia gatal pada suami orang. Tengah malam nanti, lepaskan dijalanan, hilangkan jejak, dan siksa dia sebelum pergi," perintah Nyonya Hwan, wanita itu mengenakan kacamatanya lalu pergi meninggalkan gudang.
Tubuh Chiraaz semakin lemas mendengar perkataan wanita itu. Ia tidak menduga jika ejekannya akan berakibat fatal. Padahal, ia sama sekali tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan padanya. Xi-Hwan, suami Nyonya Hwan, selalu berusaha mendekatinya di setiap kesempatan. Tapi Chiraaz hanya membalas sebisanya, seperti pada seorang teman.
Setelah kepergian Nyonya Hwan, keempat orang suruhannya langsung merudapaksa Chiraaz bergiliran. Usai menuntaskan birahinya, para berandalan itu memukuli Chiraaz hingga tak sadarkan diri. Lalu, mereka pun membuang Chiraaz ke tempat sampah.
***
Keesokan harinya Chiraaz terbangun, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Saat membuka mata, ia sudah berada di rumah sakit. Ia melihat Nyonya Merry, mertuanya, tengah duduk di sofa bersama dengan Eljovan Hiberson suaminya.
"Chiraaz, kamu sudah sadar, Nak." Nyonya Merry beranjak menghampiri Chiraaz dan duduk di tepi ranjang.
"Mam, saya--."
"Sudah, jangan banyak bicara. Kamu istirahat dulu ya, lukamu masih parah. Syukurlah, kamu sudah sadar," cegah Nyonya Merry. Tangan lembutnya mengusap-usap kepala Chiraaz.
"Mam, saya pergi ke kantor dulu. Ada konseling penting yang tidak bisa ditinggalkan," kata Eljovan. Sedikitpun ia tidak menoleh pada istrinya.
"El, Chiraaz masih sakit. Sebentar lagi Mama akan pulang. Siapa yang menjaga dia di sini?" Nyonya Merry heran dengan sikap putranya.
"Ada perawat, nanti saya yang sewa," jawab Eljovan datar. Pria itu mengambil tas, lalu keluar dari ruang rawat inap.
Dari ranjangnya Chiraaz hanya bisa menangis di dalam hatinya. Sikap Eljovan yang sangat berubah belakangan ini. Membuatnya merasakan kesedihan yang mendalam. Sosok yang selalu menyayanginya sepenuh hati, seakan lenyap ditelan bumi.