webnovel

24. Apa Kabar Pembunuh

Chiraaz menghela napas lega setelah presentasi yang disampaikannya berjalan lancar. Edward sedang mengantar klien nya ke luar ruangan, sementara Chiraaz membereskan berkas. Otaknya terus berpikir apa yang akan Edward lakukan padanya setelah ini.

Surat dari pengadilan itu seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Chiraaz ingin jujur pada Eljovan, tapi hatinya terlalu takut membayangkan perpisahan. Setelah susah payah membangun cinta dan kepercayaan yang sempat hilang. Akhirnya Chiraaz bisa bangkit dari keterpurukan dan mencintai Eljovan sepenuh hati.

"Astaga, lelah sekali hari ini." Chiraaz menyeka keringat yang membasahi keningnya, ia duduk di kursi untuk beristirahat. Tidak lama kemudian Edward kembali ke ruang meeting, pria itu menyunggingkan senyum lebar.

"Happy day Chiraaz?" tanya Edward, pria itu berdiri tepat di samping Chiraaz.

"Hmmmm." Chiraaz memutar bola matanya dengan malas.

"Meeting sudah selesai, silahkan kembali ke ruang kerja kamu," titah Edward.

"Baik, Pak." Chiraaz bersiap meninggalkan ruang meeting.

"Chiraaz, wait," panggil Edward.

"Ada apa lagi, Pak?" tanya Chiraaz.

"Datanglah ke rumah saya pukul delapan malam. Pakailah kunci ini dan cari mobilnya di parkiran." Edward menyodorkan kunci mobil yang diujungnya terikat tali pita.

"Ke rumah anda, untuk apa?" Chiraaz mengernyitkan dahinya.

"Urusan kita belum selesai, sayang. Terima kunci ini dan silahkan kembali bekerja." Edward menyodorkan kunci mobil sambil mengedipkan matanya.

Chiraaz kehabisan kata-kata, ia segera menuruti perintah bosnya dan kembali ke ruangan. Di meja kerjanya Chiraaz meletakkan kunci mobil, ia baru sadar dengan tali pita yang dilihatnya. Chiraaz berpikir mungkin Edward membeli mobil baru dan meminta dirinya untuk test drive.

Sudah menjadi kebiasaan bosnya itu setiap membeli sesuatu, Chiraaz harus mencobanya terlebih dulu. Terkadang Chiraaz merasa dirinya seperti kelinci percobaan saja. Tapi meninggalkan pekerjaan pun bukan suatu pilihan baik, untuk berada di perusahaan Edward merupakan suatu prestasi.

Hasil kerja kerasnya yang terus merangkak dari bawah, sampai bisa menjadi asisten pribadi CEO perusahaan tersebut. Tidak akan mudah bagi Chiraaz melepaskannya, apalagi kondisi kemarin dengan Eljovan sempat membuatnya gila bekerja untuk pelarian pikirannya.

Trinnggg.

"Pesan dari nomor tak dikenal, siapa ya?" Chiraaz bergumam, lalu meraih ponsel dan segera membuka pesan tersebut.

[Minoma kafe jam delapan malam.]

[Ini siapa?] balas Chiraaz.

[Tidak perlu bertanya, temui saja saya di sana meja nomor 10.]

[Ok.]

Tanpa berpikir panjang Chiraaz langsung menyetujui permintaan orang tersebut yang ia pikir adalah Edward. Seutas senyum tersungging dari bibirnya, karena lega tempat pertemuan mereka diubah. Semangat ya sempat hilang kini kembali lagi, Chiraaz tidak sabar membereskan pekerjaannya.

***

Di kantornya Eljovan baru saja selesai makan siang. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Chiraaz dan surat pengadilan yang ia temukan. Siapa wanita yang menuntut Chiraaz dan baagaimana mungkin istrinya itu bisa merusak kehidupan orang.

"Ini tidak mungkin, jelas dulu Chiraaz sangat trauma akan cinta," gumam Eljovan.

Otaknya berpikir keras harus bagaimana memulai hubungannya kembali. Haruskah bertanya pada Chiraaz atau diam dan menunggu istrinya itu bicara jujur dengan sendirinya. Eljovan meraih ponsel lalu menelpon Chiraaz, lama tidak diangkat akhirnya Chiraaz menjawab panggilannya.

"Sayang, darimana saja kamu? Kenapa baru angkat teleponku?" tanya Eljovan.

"Maaf, hari luar biasa sayang Biasalah bos rada kurang waras itu mengerjaiku terus."

"Baiklah, kamu sudah makan?"

"Baru selesai sayang, kamu sendiri?"

"Aku-- juga sudah."

Di seberang telepon Chiraaz terdiam, wanita itu merasa ada yang aneh dengan suara Eljovan dan tidak seperti biasanya.

"El, are you okay?" tanya Chiraaz.

"Ya, emh nanti sore aku jemput ya," balas Eljovan.

"Tidak usah El, aku pulang malam."

"Lembur lagi?"

"Yah begitulah, perusahaan baru dapat tender bagus. Ada yang harus aku urus."

"Oke, jika mau dijemput kamu bilang saja."

"Iya, thanks babe. I love you."

"Love you too."

Eljovan urung menanyakan soal surat pengadilan tersebut. Tiba-tiba hatinya merasa tidak etis jika bertanya lewat telepon. Eljovan kembali fokus pada pekerjaannya dan berniat mengajak Chiraaz bicara di rumah.

***

Sepulang bekerja Chiraaz langsung menuju kafe Minoma menggunakan mobil yang Edward berikan. Karena malas dandan, Chiraaz tampil apa adanya. Wanita itu hanya memoles wajahnya sedikit, supaya tidak terlihat terlalu lelah.

Setibanya di sana, seorang pelayan memberitahu meja yang dipesan. Posisinya pindah ke nomor 15 yang berada di sudut. Tidak mau banyak berpikir, Chiraaz langsung ke sana dan menunggu.

"Aneh, tidak ada orang lain di sini," gumamnya, melihat sekeliling kafe.

"Apa kabar pembunuh?" Suara seorang wanita dari belakang mengejutkan Chiraaz.

"Kamu!" Chiraaz terperangah saat menoleh pada wanita tersebut.

"Santai saja Chiraaz, biar aku bayarkan kopinya. Kamu mau pesan kopi atau sianida?" tanya wanita itu dan melenggang begitu saja duduk di seberang kursi tempat Chiraaz.

"Ma--mau apa kamu ganggu saya lagi, hah!" seru Chiraaz, perasaannya mendadak panik.

"Sudah kubilang santai dulu, kenapa sih buru-buru sekali."

"Aletha, cukup!" bentak Chiraaz kesal, dadanya naik turun seiring amarah yang muncul.

"Santai, Chiraaz, aku sengaja menemui kamu di sini untuk berdiskusi. Jika kepalamu panas, bagaimana kita mau bicara?" Aletha tersenyum simpul.

"Shit!" gerutu Chiraaz, wajahnya nampak sangat gusar.

"Bagaimana dengan tawaranku? Siap memberikan denda ke pengadilan?"

"Ya!"

"Lalu, kenapa belum dibayarkan? Seharusnya kamu segera membayarkan uang itu."

"Apa dengan membayar denda tersebut kamu akan berhenti mengganguku?" Chiraaz memberanikan diri bertanya.

"Tergantung," jawab Aletha menyeringai sinis.

Chiraaz menghela napas dalam-dalam, hatinya semkain kesal. "Apa maksudmu? Katakan saja apa yang mau kamu dengan jelas, Aletha!" serunya.

"Aku mau suamimu!" jawab Aletha berseru keras.

"Kurang ajar! Plaaakk!" Chiraaz menampar Aletha, wanita itu hanya mengusap pipinya.

"Aku sudah menduganya sejak awal. Tapi, jangan pernah kamu bermimpi untuk merusak hidupku dan Eljovan, paham!" seru Chiraaz seraya mengarahkan jari telunjuknya.

"Kita lihat saja siapa yang akan kalah dan menang. Aku menunggu uangmu di pengadilan," balas Aletha.

Chiraaz bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kafe. Dibukanya pintu mobil dengan keras, lalu ia membantingkan tubuhnya ke kursi kemudi mobil. Kepalanya menunduk di setir mobil, hati Chiraaz takut dengan ancaman Aletha.

"Dia sudah berbeda, dia tidak lagi seperti dulu. Tuhan, kenapa engkau tidak memberikanku kesempatan berubah. Aku ingin hidup tenang, tolong aku sekali ini saja," ucap Chiraaz dalam hatinya.

Chiraaz meraih ponsel yang tiba-tiba bergetar di dalam tas, di layar tampak nama Bos Edward memanggilnya. Ia segera menjawab panggilan tersebut. edward langsung mencecarnya tanpa memberi kesemptan untuk bicara.

"Saya tidak mau tahu, malam ini kamu datang atau saya berikan foto surat pengadilan itu pada suamimu," tandas Edward lalu memutuskan telepon.

"Edward gila! Aletha gila, dunia ini semuanya gila!" Ciraaz menggerutu kesal, tanpa membuang waktu lagi ia segera tancap gas menuju rumah bosnya.

Chapitre suivant