Ridho seorang pria yang sudah yatim piatu sejak masih duduk di bangku SMP, berkat prestasi belajarnya dia mendapatkan beasiswa sampai mendapatkan gelar sarjana. Namun gelar tersebut tidaklah membuat kehidupannya berubah lebih baik, ceritanya penuh lika liku terutama tentang pernikahannya dengan Rani gadis pujaannya yang diperebutkan oleh banyak pria lantaran kecantikannya yang luar biasa mempesona. Karena dorongan itulah Ridho merantau ke Ibu kota untuk mengadu nasib, dan demi posisinya yang strategis dia nekad menerima tawaran kawin kontrak dari Bosnya yang selisih 10 tahun lebih dewasa dari dia. Akankah kehidupannya Ridho seindah yang dia mimpikan, terutama pernikahannya yang harus memilih jalan poligami? Untuk Para reader kesayangan, mohon maaf ada beberapa bab yang harus direvisi. Authornya lagi ngidam jadi agak lambat sedikit, mohon dimaklum! Baca kisah selengkapnya hanya di Webnovel.
"Sarjana kok nganggur!" Cibir Fadhil kakak ipar Ridho.
"Lihat nih Abang meski lulusan SMA tapi bisa menghidupi keluarga bahkan orang lain juga!"
Beberapa kali Fadhil menghina, mencibir dan menyindir dengan bahasa yang tidak mengenakan hati Ridho.
Tapi Rani sang adik tetap bersikukuh jika suatu saat Ridho sang suami akan menemukan pekerjaan yang sesuai harapan mereka.
"Abang kok ngomongnya begitu sih?
Untung nggak ada orangnya, rejeki itu diatur oleh Allah Bang. Yang penting sebagai manusia jangan penah berhenti berikhtiar,"
Rani berusaha membela suaminya, sekalipun itu teramat sangat menyakitkan tapi baginya suami hak untuk dibela.
"Setelah orang tua kita nggak ada Abanglah yang bertanggung jawab atas dirimu, tapi timbal baliknya kamu membangkang terus sama Abang!" tukas Fadhil.
Ingin sekali Rani menghindar dari omelan sang Kakak tapi apalah daya saat itu dia tengah meminta bantuan materi pada sang Kakak atas rehabilitasi rumah peninggalan orang tuanya.
"Bang bukannya membangkang ...!" sanggahan Rani terjeda.
"Kalau bukan membangkang apa? Buktinya kamu tetap bersikukuh menerima Ridho yang nggak jelas pekerjaannya sampai sekarang, ketimbang mendengar Abang yang mengenalkan kamu pada pedagang sate madura yang memiliki 10 cabang dagangannya!" Fadhil memotong bicara Rani.
Akhirnya Rani memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraannya lagi dan memilih untuk pulang.
"Bang aku pamit pulang dulu! Kalau Abang mau bantu rehab rumah ya Alhamdulillah kalau pun tidak bagi aku tidak masalah!"
Sambil berdiri dan menjulurkan tangan pada Fadhil untuk mencium punggung tangannya, namun Fadhil menolak dan menyuruh Rani untuk duduk kembali.
"Duduk dulu kamu!" seru Fadhil.
Berbeda dengan Maya sang kakak ipar yang lebih lembut dan bijak pada siapapun termasuk Rani, dia ikut duduk dan mengelus punggungnya. Di saat mata Fadhil sedang tidak tertuju padanya tangan dia memasukkan sesuatu pada saku celana panjangnya.
"Kak ...!"
Rani hendak bersuara tapi segera Maya memberi kode mata supaya Rani diam.
"Bang, sore ini kan kita mau ke dokter periksa kandungan aku!"
Maya mencoba mengalihkan perhatian Fadhil supaya berhenti ngomel-ngomel pada adiknya Rani.
"Oh ya Ran, ini kan sudah sore kamu sebaiknya menginap di sini ya! Lagian suamimu sedang tidak ada kan?" tawar Maya.
Rani terdiam tidak menjawab, dia bingung karena yang baik di rumah itu kakak iparnya bukan kakak kandungnya sendiri.
"Sebaiknya kamu pulang saja! Siapa tahu nanti malam suami tersayang kamu pulang, ayo sayang kita nggak usah pedulikan dia sebab dia sendiri tidak mendengar saran kita dari dulu!"
Fadhil dengan tegas menolak jika Rani harus menginap di rumahnya, Maya sendiri tak mampu melawan sikap suaminya itu. Tapi dia merasa tenang karena sudah memasukkan uang sebanyak 500 ribu ke dalam saku celana Rani.
"Kak Maya aku pulang dulu ya! Semoga calon keponakan aku sehat sampai dia dilahirkan nanti!"
Rani pamit pada Maya dan tidak mempedulikan Fadhil kakak kandungnya sendiri. Kakinya pun agak gontai melangkah namun dia paksakan berjalan menuju rumahnya yang sudah hampir roboh itu.
"Kenapa Abang tega begitu sih sama adiknya sendiri? Kasian tahu! Rumah peninggalan Ibu kalian itu sudah hampir roboh dan kamu malah bersikap tidak peduli,"protes Maya.
Fadhil balik melototin Maya karena sudah berani mengkritik dia dalam ruang lingkup keluarganya.
"Kamu tidak usah ikut campur urusan keluarga aku, kamu sendiri nggak bakal bisa makan kalau nggak nikah sama aku. Adik aku itu harus diberi pelajaran karena sudah berani menolak perjodohan yang aku tawarkan dulu!" sarkas Fadhil.
Fadhil memang seorang diktator, dia menyempitkan ruang gerak pada siapapun untuk berpendapat termasuk istri juga adiknya.
Sebelum Ayah dan Ibunya meninggal, Fadhil menawarkan seorang pedagang sate madura yang sukses. Namun Rani menolak lantaran Rani akan dijadikan istri ke duanya.
Alasan yang paling kuat bukan sebatas itu tapi Rani sudah terlanjur sayang pada Ridho seorang sarjana hasil beasiswa dari prestasi belajarnya.
"Ya sudah Bang, kayaknya kita tertinggal antrian cukup banyak deh. Ayo buruan cepat berangkat ke dokter! Aku nggak sabar mau lihat perkembangan darah daging kamu di dalam kandungan aku!"
Lagi-lagi Rani mengalihkan perhatian Fadhil supaya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak nyaman untuk dia dengar, segera dia ajak menuju klinik dokter kandungan karna sudah telat hampir satu jam lebih akibat ngomel-ngomel ke adiknya Rani tadi.
Di tempat yang berbeda Rani sampai juga di rumah bututnya itu, dia duduk lalu meneguk air minum dari teko yang dia masak tadi pagi.
"Segar sekali tenggorokan aku ini, sekaligus tenang karena segera bebas dari omelan Abang," Rani bermonolog.
Setelah beberapa menit dia duduk, Rani kembali sadar jika ada yang mengganjal dari saku celana panjangnya. Dia berdiri dan mengambilnya.
"Masha Allah ini kan uang yang diberikan Kak Maya sama aku, jumlahnya pun lumayan besar, tapi dari mana dia bisa menyisihkan uang sebesar ini?"
Rani bermonolog sambil menghitung uang yang diselipkan Maya ke dalam saku celananya, meski senang karena kebutuhannya akan sedikit tercukupi tapi tetap saja Rani bertanya-tanya. Sebab yang dia tahu Maya tidak bekerja.
Tok Tok Tok
Di tengah kebimbangan Rani, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu. Setelah dibuka mata Rani terbelalak kaget karena yang datang orang yang selama kurang lebih satu bulan dia nantikan kedatangannya.
"Bang Ridho! " panggil Rani.
Ridho suaminya memutuskan untuk merantau ke ibu kota karena ada tawaran kerja dari sebuah perusahaan yang memasang iklan di media sosial.
"Sayang apa kabar? Maafkan Abang karena baru bisa pulang sekarang," sahut Ridho sembari memeluk dan mengelus punggung Rani dengan lembut.
Tidak ada kata-kata lagi yang membuat mulut Rani mengeluarkan suara menyambut kedatangan suaminya. Dia hanya menangis sesenggukan di dada Ridho yang bidang sambil melingkarkan ke dua tangannya ke pinggang Ridho.
"Abang kangen sekali istriku sayang," bisik Ridho.
Rani pun segera melepaskan pelukannya lalu menutup pintu dan menarik tangan Ridho menuju kamar sederhana beralasakan kasur yang berbahan dasar kapuk yang sudah hampir lapuk.
"Wangi abang kok harum sekali, memangnya Abang sudah bisa beli parfum?" tanya Rani sambil mengendus setiap inci dari tubuh Ridho.
Tak ingin banyak pertanyaan Ridho segera membuat mulut Rani terdiam oleh bisikan mesra yang membuat Rani luluh sampai hujan sahutan kata-kata rindu selama hampir satu jam lebih.
"Alhamdulillah Abang diterima kerja, namun selama tiga bulan masa training Abang nggak bisa bebas pulang. Sekarang pun Abang harus segera berangkat lagi karena jika tidak maka posisi yang Abang kejar akan hilang diambil orang," jelas Ridho.
Baru saja Rani menikmati masa-masa indahnya melampiaskan rasa rindu namun dia harus segera melepaskan kembali suaminya itu hanya dalam hitungan jam.
Bersambung
Hai readers bagaimana nih jika hal yang dialami Rani terjadi pada kalian? Aduh nyesek banget ya satu bulan tidak bersua hanya mampu mengobati rindu beberapa jam saja.
Cus langsung ke chapter selanjutnya yang pasti bikin kalian tagih baca!
See you