Inggrid menghindarinya. Itu sudah jelas. Dia marah tapi Mika tidak tahu dimana letak kesalahannya. Oke, pagi tadi dia berbicara cukup kasar. Tapi- demi Tuhan, Mika melakukan itu tanpa disengaja. Ia merasa kesal dan kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia hanya ingin menyadarkan Inggrid, agar wanita itu tidak sakit hati, that's it.
"Ada apa dengannya?" tanya Agatha pada sang Ibu saat mendapati adik lelakinya tengah mengubur wajahnya di bantalan sofa.
"Paling juga habis bertengkar dengan Inggrid." jawab Maya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam, seolah kelakuan absurd anak lelakinya itu bukanlah hal yang aneh lagi.
Memang ini bukan pertama kalinya Maya mendapati si bungsu bertingkah seperti itu. Menekuk wajahnya, kadang menggerutu sendiri, lebih parah lagi anak lelakinya itu sampai tidak tidur selama berhari-hari setiap kali habis bermasalah dengan anak tetangga sebelah.
"Fine! Masa bodo! Lagipula yang sakit hati adalah dia. Dan kalau nanti dia menangis, dengan senang hati aku akan tertawa di depan wajahnya!"
Agatha dan sang Ibu menghela napas seraya menggelengkan kepala. "Sepertinya Mama harus bersiap-siap memesan kamar di rumah sakit jiwa untuk anak laki-laki kesayangan Mama itu." ejek Agatha sebelum pergi menuju kamarnya.
....
Kalau kau masih punya harga diri, berhentilah berhubungan dengan Putra.
Inggrid kembali merutuk saat otaknya teringat ucapan Mika. Orang suci itu berpikir kalau dia akan kembali pada Putra, begitu? Yang benar saja!
Inggrid bermanis-manis mulut pada Putra selama ini hanya untuk memuluskan rencana shit listnya. Dan mengenai tadi pagi, ia berencana menerima tawaran Putra untuk join dalam proyek desain mereka lalu mengacaukannya. Tapi sial, Mika sudah membuatnya mati sebelum terjun ke medan perang.
"Hai, Nak. Kau sudah datang?" Inggrid mendongak dan mendapati Ando sudah berdiri di depannya. "Sepertinya kau butuh refreshing." sambung pria itu lagi sebelum membawa Inggrid ke dalam pelukannya.
"Bagaimana perkembangan kesehatan Ibuku?" tanya Inggrid sembari mengekor Ando menuju ruang kamar rawat Ibunya.
"Mulai membaik, dua hari lagi mungkin bisa pulang."
Mendengar hal itu sudut bibir Inggrid melengkung indah. "Syukurlah, aku sangat lega mendengarnya." Mereka sudah sampai di depan pintu kamar rawat, Ando membukakan pintu itu untuk Inggrid. "Kau tidak ikut masuk?"
Ando tersenyum sembari menggelengkan kepala, rambut hitamnya yang sudah berantakan semakin berantakan sekarang. Inggrid merasa kasihan pada para perawat dan juga dokter muda yang menaruh perasaan pada sahabatnya itu. Ando adalah bajingan yang tidak pernah mau terikat dalam suatu hubungan yang serius. "Maaf Nak, malam ini Papa ada jadwal kencan." sebelum pergi dari sana Ando kembali menyempatkan diri untuk mencium kening Inggrid.
"Babay Papa. Jangan lupa beli karet kalau kau tidak berniat membuatkan adik untukku!" canda Inggrid yang dihadiahi jari tengah oleh sahabatnya itu.
Inggrid masuk ke dalam kamar rawat Ibunya masih dengan sisa gelak tawa.
"Jaga bicaramu, Inggrid!"
"Oh, kak Ghina belum pulang?" ia berjalan masuk, meletakkan tas di atas meja kemudian bergabung dengan sang kakak, duduk manis di sofa seraya menopang sepiring buah-buahan yang sudah dikupas.
"Kau ini perempuan, ubah sedikit tingkah serampanganmu atau kau akan menjadi perawan tua karena tidak akan ada pria yang mau menikahi wanita semacam itu."
"Akan aku ingat." jawab Inggrid seraya memutar bola mata. Kakaknya itu jauh lebih cerewet dari sang Ibu kalau kalian mau tahu. "Mas Zio belum datang?"
Ghina menghela lelah, "Belum." seberapa sering ia mengomeli Inggrid tetang etika, adiknya itu tetap tidak bisa berubah. Ghina merasa gagal menjadi seorang kakak. "Kau bertengkar lagi dengan Mika?" tanyanya kemudian.
"Bagaimana kakak bisa tahu?" Inggrid balik bertanya.
"Atha bercerita kalau adiknya bertingkah aneh setelah pulang dari kantor."
Inggrid merengut. "Kami memang bertengkar tadi pagi karena aku kesal dengan mulutnya yang super pedas dan tajam itu. Tapi bukan berarti itu salahku kalau dia bersikap aneh, kan? Siapa tahu dia sedang pusing karena memikirkan pekerjaan."
Kami? Inggrid bergidik ngeri saat menyadari ucapannya. Sejak kapan dia memakai ungkapan kami untuk dirinya dan Mika? Biasanya aku dan dia, atau aku dan orang suci itu, lebih sering lagi aku dan si chihuahua itu. Ungkapan kami sangatlah taboo untuk mereka berdua.
Inggrid berjengit kaget karena getaran ponsel di saku jins-nya. Ada sebuah pesan masuk dari ... orang suci?
Aku tidak akan meminta maaf. —Mika
Huh? Inggrid mengernyit bingung kemudian ia menarikan jemarinya pada layar ponselnya.
Sekedar info, Tuan Mika. Tidak ada yang menyuruhmu meminta maaf dan aku pun sama sekali tidak mengharapkan kata itu keluar dari mulutmu! —Inggrid