Pulang diantarkan oleh Mika? Oke, itu masih bisa diterima oleh akal sehat Inggrid. Tapi sarapan bersama? Hell, siapapun tolong tampar atau pukul kepala Mika sekarang juga. Siapa tahu orang suci di depannya itu masih tidur atau ada saraf otak yang terjepit.
"Kau mau pesan apa?" tanyanya seraya menyodorkan buku menu.
Inggrid berkedip beberapa kali sebelum memutuskan untuk menerima buku menu itu dan mulai memesan. "Lemonade cheesecake dan frappuccino, plis."
Pelayan itu mengangguk, sekarang dia tengah beralih menatap Mika yang masih sibuk memilih sesuatu. "Shockolate cake dan juga americano."
"Wow, kau tidak suka manis?"
"Tidak terlalu."
Sangat dimengerti, karena jika orang seperti Mika suka manis, itu malah terlihat aneh. Tapi tidak Inggrid pungkiri kalau beberapa hari terakhir ini Mika sering tersenyum walau senyumnya cukup angker. Setidaknya ada sedikit kemajuan, wajah serata tripleks itu juga beberapa kali menunjukkan ekspresi dan emosi lain dari biasanya.
Pelayan kembali datang membawa pesanan mereka. Inggrid tersenyum manis pada sepotong lemonade kesukaannya. "Errrmmn ... selalu sukses memanjakan lidahku." erang Inggrid seperti biasanya ketika cake itu melumer dengan lembut di dalam mulutnya. Ia kemudian melirik Mika dari balik bulu matanya, rupanya orang suci itu juga sedang menikmati lelehan dark cokelat.
"Kau baru sadar bahwa aku lebih tampan dari mantanmu?"
Inggrid mengedip kaget, ternyata Mika sudah membuka mata dan dirinya tanpa sadar masih mengamati orang suci itu. "Mika, serius. Kau masih demam? Tadi pagi kau tidak habis jatuh di kamar mandi kan? Aku rasa ada yang salah dengan saraf otakmu sejak kemarin." karena bagaimanapun tingkah Mika akhir-akhir ini benar-benar sudah menyalahi jalur.
Dia mencemaskanku? "Aku baik-baik saja, Inggid. Kau tidak perlu khawatir." jawab Mika bersamaan dengan senyum di bibirnya.
"Kau serius? Mungkin terantuk kusen pintu? Atau kau jatuh dari ranjang dan kepalamu membentur lantai?" tanya Inggrid lagi.
Dia benar-benar mencemaskanku rupanya. "Aku-"
"Hey, tak kusangka bertemu kalian di sini."
Mika melotot tak percaya saat melihat sosok Putra tengah berjalan ke arah mejanya. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Putra meletakkan nampan berisi pancake dan juga kopi hitamnya di meja mereka, kemudian ia mengambil tempat di samping Inggrid. "Tadinya aku ingin ke kantormu, berhubung aku belum sarapan jadi mampir ke sini."
Mika menaikkan satu alisnya. "Mau apa lagi? Bukankah perkara kemarin sudah selesai?"
Sebelum menjawab pertanyaan tak bersahabat Mika, Putra menyesap kopi paginya sejenak. "Penerbitanku sedang kekurangan desainer grafis, aku ingin menawarkan freelance pada Inggrid."
"Dan kau pikir penerbitan kami tidak ada kerjaan sampai bisa meninjamkan pegawai kami ke percetakan lain?" sanggah Mika, sikap dan ucapannya jelas menunjukkan penolakan. "Ayo pergi, sudah hampir jam 8." ucapnya lagi seraya mengambil tangan Inggrid agar wanita itu mengikutinya.
"Mika, tunggu. Biarkan aku bicara pada Putra sebentar."
Mika berhenti, tatapan tajamnya seakan merobek iris cokelat Inggrid tanpa ampun. "Terserah." kemudian ia melepaskan tangan Inggrid dan kembali melangkah pergi.
Inggrid menghela napas, baru dua langkah ia berjalan namun tiba-tiba saja kakinya melayang tak menyentuh tanah. "Aku tidak akan pernah meminjamkan desainer grafis kami padamu sialan!" sungut Mika kemudian membawa Inggrid keluar dari kafe itu secepat yang ia bisa.
Ini gila!
Mika benar-benar gila, sinting!
Inggrid sangat malu karena banyak orang yang melihat mereka, bahkan ada yang memberikan siulan menggoda.
"Mika! Turunkan aku!" teriak Inggrid.
"Dan membiarkanmu diambil oleh Putra? Jangan harap!" balas Mika masih memanggul Inggrid di bahunya.
Setelah merasa keadaan aman dan memastikan bahwa Putra tidak sedang mengejarnya, barulah Mika menurunkan Inggrid dari bahunya.
"Kau kira aku ini apa? Karung beras?" semprot Inggrid setelah keseimbangan tubuhnya kembali. Ia tak lupa memberikan sebuah tendangan pada tulang kering bos suci gilanya itu. "Rasakan itu, brengsek!"
Tendangan super keras tadi tak pelak membuat Mika meruduk sambil meringis kesakitan. Ia berjalan tertatih mengekor Inggrid dari belakang. "Jika kau masih memiliki harga diri maka berhentilah berhubungan dengan Putra. Dia sudah memiliki tunangan dan awal bulan depan mereka akan menikah."
Inggrid menghentikan langkahnya kemudian ia mulai berbalik dan berjalan mendekati Mika lagi. Dugh! Satu tendangan kembali ia layangkan pada kaki Mika yang satunya. "Harga diriku masih ada walau tidak sebesar harga diri orang suci sepertimu. Aku beri tahu, sebaiknya kau urusi sendiri urusanmu dan bertingkahlah seperti dulu, menjauh dari orang bermasalah sepertiku."
....
Inggrid membanting tasnya cukup kencang. Ia bahkan tidak peduli pada beberapa orang yang saat ini sedang memandangnya kesal karena sudah membuat keributan pagi-pagi begini.
Mika Dewangga. Inggrid kira pria itu bisa berubah, tapi nyatanya itu adalah sesuatu yang teramat sangat mustahil untuk terjadi. Orang suci itu tidak akan pernah menurunkan tingkat kesombongan dirinya. "Sebenarnya Tante Maya ngidam apa saat mengandung Mika? Mulutnya lebih pedas dari cabai dan lidahnya lebih berbisa dari ular kobra." dumel Inggrid, nafasnya masih naik turun tak beraturan.
"Wow, wow, wooow... ini masih pagi dan wajahmu sudah mirip orang yang menahan sembelit." ejek Anggi, dia baru saja datang dengan Hellen. Tumben sekali gadis itu tidak terlambat.
"Tutup mulut, Anggi. Aku sedang tidak mood meladeni candaan payahmu itu." balas Inggrid.
Anggi mengangkat bahunya tak acuh. Ia hendak duduk sampai matanya melihat sosok bosnya yang baru saja keluar dari lift, "Selamat pagi, Pak Mika." sapanya ceria yang ditanggapi anggukan malas oleh bosnya itu. "Hey, ada apa dengan bos kita? Kenapa dia berjalan tertatih begitu?"
Inggrid langsung membekap mulutnya sendiri karena takut bicara tanpa komando. Maklum saja, Anggi selalu bisa membuat seseorang membongkar rahasia walau tanpa menggunakan paksaan.