Hari ini suasana kantor lebih seperti kuburan. Semua orang sedang sibuk dengan deadline mereka.
Inggrid menghela napas, ia tidak tahu harus melakukan apa lagi karena tugasnya sudah selesai sejak 2 jam lalu.
Hellen dan Anggi terlihat sangat depresi karena tumpukan naskah di meja mereka belum juga surut. Hari ini Inggrid tidak akan bisa makan siang dengan mereka berdua, atau bahkan sampai beberapa hari kedepan. Pekerjaan sebagai editor memang mengerikan.
"Aku akan mencari makan siang. Kalian ingin kubawakan apa?"
Wajah masam Anggi langsung berubah cerah saat mendengar tawaran Inggrid barusan. "Aku perlu omega 3 untuk nutrisi otakku. Boleh aku titip seafood?"
Inggrid memutar matanya, "Oke." sekarang ia beralih menatap Hellen. "Dan kau mau kubawakan apa?"
Hellen melemparkan naskah yang telah dibacanya ke bawah, setelah itu barulah ia menatap Inggrid. "Aku hanya perlu kopi dan sesuatu yang bisa mengganjal perutku. Apa saja, terserah."
"Oke. Kalau begitu aku akan ke luar untuk berburu makanan sebentar."
"Hati-hati di jalan, Sayang!" seru Anggi dari kubikelnya.
Mendengar teriakan itu Inggrid memutar bola matanya sebal. Teman-teman lain yang ada di sana tengah menatapnya penuh ingin tahu.
Oh, Tuhan ... Inggrid ingin sekali berteriak pada mereka bahwa dirinya normal, ia sangat menyukai ABS yang tercetak seksi di perut para pria. Inggrid meyakini bahwa semua ini hanya masalah waktu saja. Jika ia sudah dipertemukan dengan pangeran berbaju besinya, maka gosip miring tentang dirinya itu akan lenyap tak tersisa.
"Hei, kau mau makan siang?"
Menoleh ke samping, Inggrid mendapati Mika berdiri di ambang pintu ruangannya. Kenapa selalu ada perusak mood?! geram Inggrid saat melihat ketua redaksi mulai berjalan ke arahnya.
Mengingat kejadian semalam moodnya jadi semakin rusak parah.
Apanya yang polos!
Mereka hanya tidak tahu saja kadar omongan jorok Mika. Lain kali ingatkan Inggrid untuk menyalakan record pada ponselnya saat berdebat dengan ketua redaksi muka tripleks dan bertanduk merah itu.
"Kau sedang membuat rencana menakjubkan untuk menyusup ke kamarku nanti malam?" tanya Mika saat orang yang ia ajak bicara diam saja, mengabaikannya.
Kalian dengar?
Inggrid menggigit bagian dalam mulutnya hanya untuk menahan emosi agar tidak meledak. Ini di kantor, oke? Dia tidak mau mendengar gosip baru tentang dirinya yang menyeruduk ketua redaksi dengan brutal.
"Kali ini apa lagi yang akan kau bawa? Borgol? Cambuk? Aku punya banyak dasi jika kau membutuhkannya juga."
Saat pintu lift di depannya terbuka, Inggrid lekas masuk ke dalam, begitu pula dengan Mika.
"Ada apa dengan otakmu? Kenapa kau jadi suka menggangguku?!" desis Inggrid, sudut matanya mengawasi Mika dengan tingkat kewaspadaan nomor satu. Tidak seorangpun dapat menebak apa yang akan orang suci itu lakukan padanya, terlebih lagi mereka hanya berdua di dalam lift.
Mika terlihat salah tingkah, tangannya secara refleks memegang tengkuknya sendiri. Inggrid tahu gestur itu, Mika selalu melakukan itu ketika merasa malu atau gugup.
"Aku sudah menghapus videonya jadi kau tidak perlu khawatir Putra akan melihatnya nanti." ucapnya sebelum menekan tombol 4 dan kemudian keluar dari dalam lift, meninggalkan Inggrid yang lagi-lagi mendapat tanda tanya besar akan kelakuan tetangga yang merangkap menjadi bosnya itu.
"Tch, mood swing yang sangat menyeramkan." komentar Inggrid seraya berdecak, "Haruskah aku berterimakasih padanya karena sudah menghapus aibku?" Inggrid menggelengkan kepalanya sejurus kemudian. Itu ide paling gila yang pernah terlintas di otaknya. Berterimakasih pada orang seperti Mika sama saja seperti mengaku kalah sebelum turun ke medan perang. "Sial, tadi aku lupa menyalakan recordnya!"
....
Pada jam-jam seperti ini matahari sedang berada di atas kepala. Sudah kesekian kalinya wanita dengan kemeja kotak-kotak merah itu menghembuskan napas kesal.
Udara yang seperti pemanggang kue, peluh yang bercucuran dan rasa lapar yang menendang-nendang perut membuatnya ingin memukul sesuatu. Salahkan Anggi yang meminta seafood di jam istirahat begini. Bahkan sejak 15 menit lalu belum ada pelayan yang datang ke mejanya untuk membawakan buku menu.
Kling!
Suara lonceng dari pintu masuk membuat kepala Inggrid menoleh dan saat itulah paru-parunya terasa mengering. Ia menyesal telah menoleh ke sana. Satu hal yang ia pikirkan saat ini adalah kabur, masa bodo dengan pesanan Anggi.
Harga dirinya lebih penting, lagipula Inggrid sudah membeli banyak cake, setidaknya—cake tidak akan membuat Anggi mati kelaparan.
Inggrid bangkit dari duduknya. Selagi menyelinap menuju pintu keluar, kedua matanya sibuk mengawasi bahwa pria bajingan itu tidak akan melihatnya. Walau sebenarnya Inggrid sedikit ragu jika pria itu masih mengenalinya setelah sekian lama tak bertemu.
Dug!
"Sial!" umpatnya kemudian mendongak ke atas untuk melihat objek yang ditabrak kepalanya. "Perut buncit," ia mendesis pelan.
"Apa yang sedang kau lakukan Nona?" tanya pria berbaju hitam-hitam dengan tampang cukup garang.
"Hehe maaf, Pak. Saya tidak melihat kalau bapak—"
"Kau mau kabur setelah makan kenyang?"
Kedua bola mata Inggrid melebar sempurna, "Bukan. Aku bahkan belum memesan apapun di sini."
"Ya, aku juga sering mendengar alasan yang sama dari orang-orang sepertimu Nona. Ingin makan enak tanpa mengeluarkan uang."
Oh, Inggrid merasa sangat tersinggung!
"Dengar, anda sudah salah paham Pak Satpam!" desis Inggrid marah. Ia tak terima dituduh makan enak tak mau membayar seperti yang dikatakan satpam buncit itu.
Usaha kabur dengan nyaman sudah gagal karena semua orang sedang menatapnya sekarang, tak terkecuali mantan bajingannya itu.
"Inggrid?"
Apa tidak ada yang lebih sial lagi dari ini?