"Jadi? Bagaimana bisa keributan di restoran tadi terjadi?"
Ini adalah kesialan yang tak berujung. Alih-alih ingin menghindar, Inggrid justru berada di jok penumpang mobil mewah Putra.
Inggrid masih menatap keluar jendela, kerikil atau sampah-sampah yang ia lihat dijalanan lebih menarik daripada melihat wajah sang mantan. "Di sana sangat ramai, aku sudah menunggu 15 menit tapi tak ada pelayan yang memberiku buku menu. Jadi aku memutuskan untuk pergi dari sana sampai si buncit menyebalkan itu mengubahku menjadi pencuri di mata semua pengunjung restoran."
Masalah tadi sudah terselesaikan. Entah ini harus disebut keberuntungan atau tidak. Pemilik restoran menyebalkan itu ternyata teman dekat Putra. Tapi Inggrid tidak akan mengatakan terimakasih pada bajingan di sebelahnya tersebut.
Tidak akan!
"Bagaimana kabarmu?"
Pertanyaan klise!
Inggrid mengulum senyum, "Seperti yang kau lihat, beginilah aku." jawab Inggrid seraya mengangkat kedua bahunya tak acuh.
Apa yang sedang pria itu tertawakan? Penampilannya yang semakin aneh atau wajahnya yang seperti mayat hidup?
"Kau harus berubah Inggrid, kalau penampilanmu terus seperti preman, aku yakin tidak akan ada laki-laki yang berani mendekatimu."
Serius? Bajingan itu sedang menasehatinya?
"Kau mendekatiku dulu."
"Aku kira kau bisa berubah."
Inggrid menggeretakkan giginya marah. "Oh, jadi alasanmu meninggalkanku hanya karena aku tidak bisa memakai dress dan memoles lipstik di bibirku, begitu?"
Kalau saja malam itu Inggrid tidak menemukan fakta tentang Putra yang memacarinya karena taruhan, mungkin ia akan percaya saat pria disampingnya menganggukkan kepala.
"Ibuku suka wanita yang feminim. Maaf ..."
Oh, ya Tuhan ... Inggrid menarik napas beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Dia tidak ingin menendang wajah pria bajingan itu dan berakhir dengan kematian mereka berdua di dalam mobil karena menabrak pembatas jalan atau menabrak mobil box di depan.
"Tidak usah dipikirkan. Lagipula aku sudah memiliki pria yang menerimaku apa adanya, begitu juga dengan keluarganya."
Terimakasih pada kebohongan yang terlintas pada situasi genting ini. Setidaknya harga diri Inggrid terselamatkan.
Wajah Putra terlihat terkejut, "Benarkah? Tapi Mika bilang kau tidak sedang dekat dengan siapapun?"
Wow ... buka kartu juga. Inggrid sedang mensugestikan dirinya untuk tetap tenang. "Setahuku bos tidak memiliki hak apapun atas kehidupan pribadi pegawainya, jadi bagaimana dia bisa tahu?"
Kepala Putra mengangguk beberapa kali hingga rambut hitam tanpa jel'nya bergoyang lembut. Dulu, rambut pria itu adalah objek yang sering Inggrid usap manja, tapi saat ini justru ingin Inggrid jambak-jambak hingga botak. "Kau benar, bos tak memiliki hak apapun atau kehidupan pegawainya."
"Jadi, bagaimana kalian bisa saling mengenal?"
"Aku dan Mika?"
Inggrid memutar bola matanya, "Siapa lagi memang?"
Inggrid menatap kaca spion hanya untuk memastikan ekspresi apa yang sedang dibuat Putra. Terkejut, bingung atau gugup? Tapi pria itu terlalu sering berakting, jadi dia sudah pasti bisa menyembunyikan segalanya dari serangan musuh.
"Kami kerabat jauh. Tanteku menikah dengan pamannya, kami bertemu di pesta pernikahan mereka beberapa tahun lalu, sebelum kita berdua putus."
Oh my God, my God, my Goood!
Itu berita yang sangat mengejutkan. Inggrid sampai lupa caranya bernapas. Mulai detik ini ia harus lebih waspada pada Mika karena mendapati pria suci itu tiba-tiba mengajaknya bicara dan sebagainya sangatlah mencurigakan. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu atas dirinya.
"Kalian terlihat akrab."
"Lumayan. Kami sering nongkrong bareng jika ada waktu senggang."
"Itu mengejutkan. Kukira orang seperti Mika tidak suka nongkrong. Kau tahu, dia cukup anti sosial."
Putra menyunggingkan senyumnya, lagi. Inggrid mengepalkan tangannya kuat-kuat agar tangannya tidak bergerak dengan sendirinya menuju mulut Putra kemudian merobeknya dengan sadis.
"Ya, aku juga sudah mendengarnya dari pihak keluarga. Dia juga memiliki insting dan mulut yang tajam."
"Kau sering main ke rumah bosku?"
Mengorek informasi itu penting, apalagi info dari musuhmu sendiri. Setidaknya Inggrid harus menyiapkan senjata yang pas untuk serangan balasan.
"Tidak." jawab Putra cepat. "Aku tidak tahu di mana alamat apartemennya. Dia selalu menolak setiap aku ingin main ke sana. Setahuku, dia menyukai tetangga apartemennya. Mungkin itu juga alasan kenapa dia melarangku main. Mika pasti takut jika wanita yang dia taksir akan menyukaiku kalau aku sering main ke sana." terang Putra dengan sebuah kekehan percaya diri.
Wow!
It's just wow.
Mengetahui fakta bahwa seorang Mika Dewangga sedang jatuh cinta membuat otak Inggrid bekerja lebih keras. Ia tengah membayangkan wajah tripleks bosnya itu bersemu merah, membayangkan bibir karatan miliknya tersenyum dan membayangkan mulut cabainya berubah semanis gula.
Tapi tunggu, ada yang aneh di sini. Kalau Inggrid tidak salah, Mika selalu ada di rumah, selalu di kamarnya setelah pulang dari kantor. Lalu apartemen mana yang sedang Putra bicarakan tadi?
"Kau tidak mau turun?" Putra tersenyum mendapati wajah bingung Inggrid. Pria itu sudah membukakan pintu penumpang.
Inggrid mengerjap beberapa kali kemudian mulai melihat sekitarnya. Mobil yang dikendarai Putra ternyata sudah terparkir manis di pelataran parkir.
"Oh, maaf. Aku sedang melamun tadi." Inggrid melepas seat belt dari tubuhnya kemudian keluar dari dalam mobil. "Terimakasih atas tumpangannya."
"Apa kita bisa bertemu lagi?" Putra bertanya, ada sebuah pengharapan di kedua bola mata itu.
You wish!
"Tidak. Aku sibuk, dan kupikir pacarku tidak akan senang jika aku masih berhubungan dengan mantanku."
Inggrid mendongak ke atas mengikuti tatapan Putra juga lambaian tangan dan senyum yang tersungging di wajah pria itu.
"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kantor. Salam untuk Mika."
"Oke."
Inggrid menghela lega setelah melihat mobil Putra lenyap dari jarak pandangnya. Sebelum melangkah masuk ke dalam gedung, ia kembali mendongak ke atas dan di sana bosnya masih berdiri di dekat jendela dengan kedua tangan yang bersembunyi di masing-masing saku celananya, jangan lupakan ekspresi wajah tegang penuh selidik dan juga tatapan menusuknya.
"Weeeks!" Inggrid menjulurkan lidah pada bos yang masih mengawasinya dari ruangan miliknya itu. Kemudian ia lekas menghambur masuk saat teringat dua temannya yang mungkin sedang sekarat kelaparan.