Di awali dari rumah tua yang kumuh tetapi masih terlihat kokoh di pinggiran kota. Reyna yang saat itu ingin berteduh karena hujan lebat terpaksa melangkah menuju rumah tua tersebut. Tidak ada yang menyangka, ternyata rumah kumuh itu masih mempunyai sang pemilik dimana disana ada seorang pemuda yang memiliki wajah tampan hingga Reyna sendiri bingung untuk percaya apakah dia manusia atau ... hantu? Reyna bingung dan tidak bisa lagi berpikir atau takut dia salah menilai, setelah beberapa kali bertemu dengan si pemiliknya, saat itu juga dia tidak menyadari jika dirinya mulai sampai dekat dengan pemuda tersebut. Haruskah Reyna percaya jika pemuda itu memang bukan hantu yang menyamar? ........ “Loh. Bukan kah kamu anak laki-laki yang hampir saya tabrak, ya?” Dia hanya tersenyum menampilkan deretan giginya. Tidak ada niat atau hanya ingin berbasa-basi dengan pria di hadapannya saat ini. “Nama kamu siapa? Dari mana kenal puteri saya, Reyna?” Bas menjeda sejenak, “sepertinya kamu bukan asli dari perkotaan sini. Di mana tempat tinggal kamu?” >>>> @carrellandeous
Jalanan kota masih terlihat padat dan macet, klakson yang di bunyikan memekakan telinga setiap orang yang berada di pinggiran trotoar.
Gadis berambut panjang yang di kuncir tinggi itu menyeka keringatnya, masih bersabar menunggu angkot yang akan mengantarkannya pulang setelah lelah bekerja di salah satu toko roti terkenal disana.
Bibir tipis 'nya menyungging saat ada mobil yang berhenti di depannya, gadis itu langsung naik duduk dengan nyaman dan berdoa semoga selamat sampai rumah. Jarak dari rumah ke tempat kerjanya memang lumayan jauh, cukup memakan waktu lama.
"Reyna, kau sudah pulang." Dini menyapa saat membukakan pintu rumahnya.
Reyna tersenyum menyahut,"Iya, Ma."
Ibu yang masih berusia 30 tahunan itu mengelus rambut Reyna pelan.
"Kamu langsung mandi, ya. Biar, Mama, yang masak untuk makan malam ini." Reyna hanya mengangguk melangkah pergi ke kamarnya.
Baru hari pertama kerja Reyna sungguh merasakan sakit di sekujur tubuhnya, maklum Reyna adalah gadis pemalas yang hanya bisa tidur dan makan.
"Rasanya aku mau berhenti kerja aja." tubuhnya ambruk sedikit menggoyangkan kasur empuknya. Reyna memejamkan matanya sejenak merehatkan otot-otot yang terasa ngilu.
"Reyna, ayo kita makan." Dini—Mama 'nya Reyna sudah memanggil menyuruh Reyna untuk segera ke dapur.
Dengan langkah gontai–malas, Reyna keluar menghampiri Dini yang sudah menata rapi makanannya di meja makan.
Dini tersenyum menuntun Reyna untuk duduk di sebelahnya.
"Bagaimana hari pertama kamu kerja?"
Bibir Reyna menyunggging, "Lancar kok, Ma. Pegawai senior nya juga pada baik sama aku."
Dini mengulas senyum hangat, "Mama, sama, Papa, lagian gapernah menyuruh kamu lamar kerja, sayang. Kami berdua masih bisa memenuhi kebutuhan kamu."
Reyna berhenti mengunyah, "Mama 'kan tau tetangga kita mulut nya minta di jahit. Mereka terus bilang Reyna anak manja, anak yang gabisa apa-apa, ya Reyna gamau kalo mereka terus bilang gitu, malesin. Jadi mulai saat ini Reyna mau jadi anak yang bisa berguna buat Mama sama Papa."
Dini mengelus rambut Reyna sayang, "Mama lebih senang kalo kamu terus di rumah, itu buat Mama gaterlalu kuatir." Dini menatap sendu Reyna, anak semata wayang 'nya.
Anak itu memang pemalas, tapi Dini sangat menyayanginya. Tidak perlu bekerja seperti sekarang, walaupun dari keluarga yang terbilang mampu tapi kegigihan Reyna membuat Dini sangat merasa kagum.
Reyna menghela napas, ini yang buat dirinya sedih melihat Mama 'nya yang terus khawatir berlebihan.
"Ya ampun, Ma. Reyna ga pa-pa kok, serius. Besok aku harus lebih semangat lagi. Kayaknya hari ini badan rasanya remuk semua, aku mau istirahat aja ya, Ma." Reyna pamit setelah meneguk air putih sebelumnya mencium pipi Dini dan melangkah untuk ke kamarnya.
Pagi-pagi sekali Reyna semangat untuk bekerja kembali,kaki panjangnya melangkah menelusuri jalanan yang mulai ramai oleh kendaraan.
"Pokoknya aku harus semangat! Ga boleh ada yang remehin aku lagi, huh! Emangnya mereka siapa!" Reyna mengurutu kesal, pasalnya sebelum berangkat ada tetangganya yang biasa membeli sayur dorong tengah membicarakan dirinya.
"Sumpah, ya! Ibu-ibu bisanya rumpi terus kesel jadinya." tangannya bertolak pinggang.
"Hey." tangan seseorang menepuk pundak Reyna membuat cewek tinggi 166cm itu terkejut.
"Ih, Kak Cipto ngagetin aja."
Cowok itu tertawa, "Lagian kamu ngapain gerutu terus? Kayak ga ada kerjaan aja." Kakak senior tempat kerjanya itu terkekeh, sedangkan Reyna memanyunkan bibirnya tampak sebal dengan senior nya yang jahil.
"Kakak, masih nunggu angkot? Bukanya senior datangnya lebih awal?" Reyna bertanya heran.
"Hehe, kesiangan."
"Masa senior gitu." Reyna berucap pelan sambil melihat angkot yang berjalan ke arah 'nya dan Cipto.
Reyna baru saja lulus sekolah menengah atas. Sebenarnya Reyna sudah mendaftar di Universitas favorit 'nya tetapi ada kendala yang mengharuskannya untuk bekerja sampingan terlebih dahulu, ya hitung-hitung mencari uang jajan tambahan untuknya sendiri.
Reyna dan Cipto sampai, mereka segera memasuki toko yang lumayan besar disana.
"Selamat pagi, Kak." Reyna menyapa Citra, senior perempuan yang sangat baik sejak awal bertemu dengan Reyna.
Citra menoleh, "Eh, iya pagi juga cantik baru sampai, ya." tangannya masih sibuk membereskan roti-roti beragam rasa.
"Iya, Kak. Reyna bantuin, ya."
Citra mengulas senyum sambil mengangguk menyetujui.
"Eh, Citra...lo di suruh nganterin pesenan orang tuh." teriak Reno yang membawa keranjang roti.
Reyna sedikit berbisik, "Kak Reno galak banget ga si, Kak?" bertanya pada Citra.
"Iya, Ren...Thanks, ya." Citra menyahut sopan kemudian melirik junior 'nya, "Dia memang dari awal kerja gitu, aku gatau juga si soalnya dulu kita ga masuk bareng." bibir Reyna membulat dengan anggukan mengerti.
"Yaudah kamu ga pa-pa 'kan kerjain sendiri? aku mau antar pesanan dulu."
Reyna mengangguk satu kali dan tersenyum, "Beres Kak."
"Eh, lo anak baru. Itu udah rapi kali gausah sok sibuk rapihin, mending bantu yang di depan tuh banyak pengunjung." cetus Reno yang kembali membawa keranjang kosong.
"Iya, Kak." Reyna menyahut sambil tersenyum kikuk.
Reno pergi tanpa bicara lagi.
"Ish... ngeselin banget tu senior! pingin banget gue bejek-bejek. Huh… sabar, bisa-bisa gue pms besok dari pagi marah terus." Reyna akhirnya pergi dimana dia di perintahkan untuk membantu pelanggan.
Hari ini toko roti itu memang lebih banyak pengunjung, berbeda dengan kemarin saat hari pertama Reyna memulai kerjanya.
"Loh, Reyna!"
Cewek itu menoleh melihat siapa yang menyapanya, "Kak Mario." Gumamnya.
Cowok manis itu tersenyum hangat, "Kamu, kerja disini? bukannya kamu udah daftar kuliah, ya?" cowok itu bertanya bingung.
"Iyasi. Tapi ada kendala dikit, Kak. Jadi, aku nunggu dulu."
Kakak kelas itu mengangguk mengerti.
"Kakak mau beli roti? udah ada? atau Reyna bantu?"
Cowok itu terkekeh pelan, "Udah, kok. Aku tinggal bayar aja."
Reyna mengangguk, "Kalau gitu, Reyna pamit ke belakang, ya, Kak..Masih ada kerjaan lain."
"Oh..oke, semangat, ya."
Reyna mengangguk tersenyum malu, dia melangkah pergi sebelum wajahnya semakin pucat.
"Lo kenapa?"
Reyna melirik, ternyata senior 'nya yang bertanya.
"Ga apa-apa, Kak."
Reno mengedik, "Ga peduli juga, si."
Reyna mengepalkan tangannya, Reno itu memang menyebalkan. Reyna baru pertama kali melihat orang macam seniornya itu. Membuat darah tinggi saja.
>>>>
Pulang dari kerja Reyna terjebak hujan yang lumayan lebat, dia tidak tahu harus berlindung dimana. Semua halte penuh dengan orang-orang yang juga berteduh, kakinya di paksakan untuk terus berlari menerobos air hujan, sampai saatnya dia menemukan tempat untuk berlindung di sebuah rumah tua yang ada di pinggiran jalan.
Reyna bernapas lega, setidaknya dia aman dari hujan deras yang mengguyur tubuhnya.
Cewek itu menatap keseluruhan tempat tersebut, lumayan seram. Sepertinya rumah itu sudah sangat lama tidak di huni oleh orang. Tangan kanannya mengusap leher belakang dengan air liur yang susah di telan, Reyna merasa parno sendiri.
Tubuh Reyna mendadak tremor saat di rasakan bahunya ada yang memegang. Napasnya memburu, dengan lemas dia berlari sekuat tenaga hingga menjauh dari rumah tua tersebut.