Citra melihat gerak gerik dari Reno yang mencurigakan, cowok itu berdiri tidak jauh dari salah satu karyawannya juga di sana.
"Lo ngapain tadi?" suara Reno mulai di lontarkan, terlihat sosok perempuan yang terkejut bukan main bahkan hingga terlonjak.
"Reno." lirihnya.
"Jawab."
Cewek itu menelan ludah dengan susah, Reno mulai terlihat mengerikan lebih dari setan. "I--itu."
Reno menunggu, membiarkan cewek di depannya menyaring kata yang pas dan jelas untuk menjelaskan padanya.
"Napa lo diem? Ga ada alesan logis, kan? Atau...,"
"Maafin gue, No!" dia memotong sebelum Reno melanjutkan ucapannya.
Cowok itu menatap lurus, "Apa? Jelasin."
Cewek itu mengulum bibirnya sambil menundukan kepala. Merasa bersalah di akhir, seharusnya memang dia tidak melakukan apa yang melanggar aturan di tempat kerjanya, dia sungguh menyesali. Apa lagi harus berurusan dengan Reno yang tidak akan lengah dari mata tajamnya, walaupun tidak memantau satu persatu karyawan di sana, mereka percaya jika cowok itu memiliki indera yang mampu membuat para pekerja tidak bisa melakukan kecuarangan.
"Suruhan siapa? Di jebak? Atau niat?"
Dia menggigit bibir bawahnya dengan kuat, Reno tidak bisa di bohongi, dia akan ketahuan jika sudah berkata demikian. "Gue."
"Satu..."
"Reno, please jangan hukum gue."
"Dua,"
Cewek itu menghela napas dalam, hampir saja menangis saat Reno mengatakan, "Tiga."
"Oke." kedua tangannya melipat di depan perut. "apa, ya. Hukuman yang pas buat cewek macem elo."
Citra yang masih setia mendengarkan mulai merasa tidak ada yang beres. Maksud Reno apa? Memangnya cewek di depan Reno sudah berbuat apa sampai harus di hukum? Citra belum mengerti dengan argumen mereka berdua, bagaimana bisa Reno menebaknya setelah seharian penuh dia hanya memantau Reyna?
"Reno, gue janji ga akan ulangin lagi. Please jangan apa-apain gue, gue takut."
"Takut?" Reno memandang rendah, bibir kanannya terangkat ke atas. Padahal dia baru saja melakukan pemanasan awal. Sering kali membuat orang ketakutan sebelum akhirnya Reno sama saja menghukum walau sudah berkata jujur sekali pun.
"Siapa yang buat lo takut?" Reno mulai menajamkan kembali, paras cowok itu tidak bisa luntur secuil pun, bahkan sampai cewek di depannya kalut.
Citra ingin menghampiri mereka berdua, tetapi kakinya tidak bisa memaksakan untuk pergi ke tempatnya. Bagaimana bisa dia menolong cewek yang sedang terpojokkan oleh Reno? Apa yang sudah di perbuatnya? Reno akan segera memberi peringatan? Citra melihat matanya yang berubah sekejap.
"Aku pasti salah lihat." Citra merasakan punggungnya yang tiba-tiba berkeringat dingin, "Reno?" gumaman dari Citra bisa membuat cowok itu segera menoleh cepat.
"Citra! Kenapa lo nguping tanpa izin?!"
******
Reyna tersenyum manis di tambah bahagia saat melihat kedua orang tuanya sedang berpelukan. Rasanya dia kembali mulai melihat kehangatan dari keluarganya, dia merasa sangat lega dan bersyukur.
Reyna baru saja pulang dari tempat roti, dia masih di ambang pintu dan melihat bagaimana pemandangan di depannya membuat Reyna sedikit terkejut, namun akhirnya dia tersenyum senang dan mulai menghampiri dengan langkan pelan.
"Ciee.... Papa, Mama. Kalian udah baikan lagi? Reyna, seneng banget tauu.." dia berhambur ke pelukan kedua orang tuanya, namun dia tiba-tiba saja terpental ke belakang.
Reyna jelas terkejut sekaligus merasa aneh, kenapa dia tidak bisa menyentuh orang tuanya? Kenapa dia terpental satu meter saat baru saja berniat menyentuh tangan sang Mama.
"Mama, Papa! Kalian denger suara, Reyna? Kenapa kalian masih saling tersenyum tanpa menyambut kedatangan aku?!" dia mulai berteriak histeris, Dini atau pun Bas tidak memperdulikan, Papa nya masih memeluk Dini dengan sangat mesra.
"Papa, Mama!!! Kaki, Reyna, sakit. Tolongin, Reyna!!!!" Masih sama saja. Sebenarnya apa yang terjadi?
Reyna menahan tangis saat merasa kurang mengerti. Apa mereka tidak melihat puterinya ada di sana juga? Apa mereka tidak mendengar teriakan Reyna? Kenapa Reyna tidak bisa menyentuh salah satu orang tuanya? Seakan terhalang oleh magnet yang sudah di batasi. Reyna tidak paham. Ada apa dengan dirinya? Atau kedua orang tuanya memang benar tidak menyadari kehadiran Reyna?
"Papa, Mama!"
______
"Sayang. Bangun, nak."
"Ma. Mama, kenapa nangis?" Reyna mengucek kedua matanya dan mengumpulkan nyawa. Dia beringsut duduk.
"Jangan banyak bergerak dulu, sayang." Kali ini sang Papa yang terdengar risau.
Apa yang sebenarnya terjadi? Reyna tiba-tiba saja ada di dalam kamarnya, padahal saat dia terpental masih menangis dan berada di ruang tengah.
"Papa, Mama. Kalian sudah akur, kan? Reyna, ga mau lihat kalian terus berseteru." suaranya parau, Reyna melihat siluet yang sedikit buram di belakang kedua orang tuanya, dia menatap lamat ingin memastikan.
"Kamu jangan pikirkan hal itu dulu, nak. Beruntung sekali ada, Reno."
Kakak seniornya yang menyebalkan itu? Kenapa Dini berucap seperti itu? Jelas sekali Reyna pulang dengan angkot terakhir, tidak mungkin juga senior nya sampai berada di rumahnya sekarang kalau bukan ada hal yang penting. Tetapi.., kenapa?
"Iya." ucap Bas, "nak Reno, yang membawa kamu pulang. Dia bilang kalau kamu jatuh pingsan di depan toko. Coba bayangkan kalau tidak ada dia di sana? Papa, ataupun Mama, pasti khawatir banget karena kamu belum pulang sampai larut. Papa, tidak ingin kejadian yang pernah sekali di buat itu terulang lagi."
Apa tadi itu Reyna hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya seperti nyata?
"Makasih banyak, Kak Reno. Maaf kalau aku terus repotin, Kakak."
Cowok itu masih diam bungkam, hanya anggukan kepalanya yang terlihat oleh Reyna. Apa cowok itu sulit bicara? Reyna tahu kalau Reno memang judes, tapi apa tidak bisa membalas ucapannya yang merasa tertolong? Jika boleh mengulang waktu, Reyna mana mungkin mau dan sudi di bantu oleh Reno, dia akan memilih pingsan di tempat sampai bangun sendiri tanpa harus di hiraukan.
Reyna ingin sekali memaki.
"Makannya makan teratur."
Apa katanya?
"Iya. Reyna, sejak dulu susah sekali di bujuk. Padahal dia sudah merasakan sakit mag bagaimana, tetapi masih tetap mengabaikan pentingnya menjaga pola makan." Dini membuat Reyna malu. Walau di depan Reno, rasanya dia seperti anak kecil yang begitu susah di atur sebagaimana untuk tubuhnya sendiri.
Reyna masih berusaha untuk tetap membagi waktu, tetapi kebiasaan buruk itu terus saja berkelanjutan hingga sekarang. Pantas juga Dini sering kali mengomel dan memeringatinya dengan lontaran pedas, puterinya saja selalu mengabaikan kepentingan itu.
"Kenapa, Kak Reno, belum pulang? Ini udah larut, lho. Apa nanti pulangnya ga takut? Sekali lagi terima kasih banyak, Kak." Reyna mengalihkan.
Dini dan Bas melihat Reno yang sama sekali tidak ada ekspresi apapun bahkan sekali pun pergerakan dari tempatnya. Hanya wajah sempurna walau terlihat dingin, namun hatinya baik dan lembut.
"Sama-sama, Reyna."