Bos Mafia Playboy

Suara hentakan musik yang keras menggema di setiap sudut ruangan. Seolah akan meledakkan dada seisi ruangan itu. Suasana yang cukup pengap, penuh dengan asap rokok dan bau alkohol yang menusuk indra penciuman. Terlihat lautan manusia berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik yang cukup keras di telinga. Setiap orang hanyut dalam suasana yang semakin memanas, penuh dengan gairah yang menggelora.

Seorang pria sedang duduk sendirian menikmati botol-botol minuman di atas meja. Dari pandangan matanya, ada seorang gadis yang sangat menarik hatinya. Gadis itu sedang menari memamerkan tubuhnya dengan sangat sexy. Merasa terganggu dengan pemandangan yang merusak hatinya, pria itu memutuskan berjalan menerjang kerumunan. Kemudian dia menarik gadis itu dan membawanya ke tempat yang tadi sudah dipesannya.

"Imelda! Hentikan tingkah konyolmu! Bagaimana jika ada seorang pasien yang melihatmu sedang menari seperti perempuan murahan?" teriak pria itu.

Imelda langsung menghempaskan tubuhnya di sofa yang cukup empuk itu. "Bukankah kamu melihatnya? Aku sedang dalam penyamaran, hanya kamu yang selalu mengenaliku di mana pun aku menyamar," jawabnya tidak terlalu jelas. Wanita itu terlihat sedikit mabuk dan setengah tak sadar.

Pria itu pun menutupi paha Imelda dengan jas yang dipakainya. "Bagaimana jika papamu mengetahui kegilaan mu ini?" tanyanya semakin cemas.

"Tutup mulutmu, Brian. Jangan pernah menyebutkan pria tua itu," jawab Imelda kesal lalu meminum sebotol minuman di atas meja.

Imelda langsung meminum habis isi dalam botol itu. Brian terus memandang teman SMA-nya itu. Pria itu cukup kasihan melihat kesedihan yang terpancar dari wajah Imelda. Sebenarnya walaupun kedua orang itu tidak terlalu dekat, Brian cukup tahu siapa keluarga Imelda itu.

"Apa yang sudah meresahkan pikiranmu? Lihatlah! Penampilanmu seperti perempuan bayaran," ledek Brian dengan nada sinis.

"Kamu sendiri, mengapa duduk sendirian di tempat ini? Bukankah kamu sudah terbiasa berganti wanita seperti mengganti celana dalammu? Di mana wanita-wanita yang biasa duduk di pahamu itu?" balas wanita itu tanpa ekspresi apapun.

Brian memaksakan sebuah senyuman pada wanita di depannya. "Lihatlah dirimu! Seorang dokter bedah berkeliaran di diskotik dengan pakaian kurang bahan. Bukankah itu terlihat sangat murahan?" ucapnya sedikit kejam.

Imelda mengulas sedikit senyuman, lalu terlihat sangat muram. "Pria tua itu memaksaku untuk menjadi dokter di badan intelijen. Aku sangat benci profesi itu. Mamaku kehilangan nyawanya karena musuh Papa yang ingin membalaskan dendamnya. Bagiku, pembunuh yang sebenarnya adalah Papaku sendiri. Kamu sangat tahu betapa hancurnya aku," ujarnya dengan suara bergetar. Sekuat hati, Imelda mencoba menahan perasaannya. Namun dia tak sanggup lagi membendung air matanya. Wanita itu meneguk lagi sebotol minuman keras yang sudah dipesan Brian.

Brian sangat tahu, bagaimana hancurnya Imelda di hari dia kehilangan ibunya. Beberapa kali Imelda berteriak histeris dalam tangisnya. Brian melihat dengan sangat jelas, ketika Imelda mendadak pingsan saat jenasah ibunya masuk ke dalam ambulance. Melihat Imelda saat itu, membuat Brian ikut meneteskan air matanya. Pria itu juga merasakan luka yang dialami oleh seorang gadis yang disukainya.

Beberapa tahun menjadi teman sekelas Imelda, membuat Brian jatuh hati pada gadis itu. Namun dia hanya bisa menyimpannya, Brian sangat menyadari statusnya. Imelda hanya menjadi bintang yang tak mungkin dia gapai. Bagaimana tidak? Ayah Imelda adalah seorang anggota Badan Intelijen. Sedangkan ayah Brian seorang bos mafia yang selalu menjadi target operasi. Mereka seperti siang dan malam yang tak mungkin bisa bersatu. Belum mencobanya saja, Brian sudah menyerah duluan.

"Brian! Kamu harus membantuku melarikan diri." Suara Imelda terdengar tidak jelas karena wanita itu terlalu mabuk. Imelda kembali menengguk minuman keras di atas meja. Wanita itu tak peduli dengan dirinya sendiri.

Melihat keadaan Imelda yang sangat memprihatikan, Brian berniat mengantarkan Imelda pulang ke rumahnya. Pria itu membawa Imelda ke dalam mobilnya dan mengantarnya pulang. Sampai di gerbang tinggi di depan rumah Imelda, pria itu menghentikan mobilnya. "Ayo kita turun! Sudah sampai depan rumahmu," ajaknya sambil membantunya berjalan.

Namun Imelda justru mendorong Brian dengan sisa kekuatan yang masih tersisa. "Kamu ingin melihat Papa membunuhku di depan matamu?" teriak wanita itu dengan penuh amarah. Imelda kembali duduk mobil Brian lalu melepaskan sepatu yang sedang dipakainya. "Bawa aku pergi! Bawa aku ke tempat di mana semua orang tak mengenalku," oceh wanita itu antara sadar dan tidak sadar.

Brian terlalu bingung, kemana dia harus membawa Imelda pergi. Setiap sudut kota itu pasti akan mengenali Imelda, karena ayahnya begitu dikenal oleh banyak orang. Pria itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, Brian sedang memikirkan sebuah tempat yang aman untuk Imelda. Pria itu tak mungkin membawa Imelda ke hotel, karena akan sangat berbahaya untuk dirinya dan juga Imelda. Setiap saat nyawa wanita itu selalu diincar oleh musuh ayah Imelda. Oleh karena itu, Brian harus memastikan sebuah tempat yang aman untuk wanita itu.

Setelah sejenak berpikir, Brian memutuskan untuk membawa Imelda ke villa miliknya. Paling tidak ada beberapa bodyguard yang berjaga di sana. Dengan kecepatan penuh, pria itu melajukan mobilnya ke sebuah villa yang dijaga sangat ketat. Ayah Brian ingin melindungi anaknya dengan beberapa bodyguard yang disewanya. Sampai di depan villa, Brian menggendong Imelda ala bridal style. Beberapa bodyguard menawarkan bantuannya. Namun pria itu langsung menolaknya.

Brian membaringkan Imelda dengan sangat pelan dan tanpa suara. Setelah memberikan selimut sambil memandang wajah cantik wanita itu, Brian bermaksud keluar dari kamar itu. Namun wanita itu menarik tangannya, membuat Brian terjatuh di atas tubuh Imelda.

"Brian! Tolong aku ini terlalu panas. Aku sudah tidak tahan lagi," desah Imelda sambil memejamkan matanya.

Entah sadar atau tidak, Imelda melucuti pakaiannya sendiri di depan Brian. Pria itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri, menahan gejolak hasrat yang tiba-tiba saja mengusik kepalanya. Saat hendak melangkahkan kakinya, Imelda kembali menariknya. Lalu menciumi bibir Brian dengan penuh nafsu, pria itu tak bisa menolaknya. Karena jauh di dalam hatinya juga menginginkan hal itu.

Imelda terus saja menyerang Brian tanpa henti, bahkan Imelda telah berhasil membuat pria itu tak memakai selembar kain pun yang menutupi tubuhnya. Tak ingin membuat kesalahan yang akan disesalinya, Brian mendorong Imelda hingga terbaring di atas ranjang.

"Brian! Jangan tinggalkan aku! Aku bisa mati," seru Imelda dalam tubuh polosnya.

Pria itu mendekati wajah Imelda dan berbisik di telinganya. "Jika aku sudah memulai, aku tidak akan bisa berhenti," ucapnya lirih pada wanita itu.

Belum sampai Brian bergerak, Imelda kembali menyerangnya dan membuat Brian tak mampu lagi menahan hasrat untuk bercinta. Dengan sangat lembut, Brian membalas ciuman Imelda, memberikan sentuhan-sentuhan yang sangat menggairahkan. Imelda tenggelam dalam desahan sensualnya, membuat Brian tak bisa menahan dirinya lagi. Tanpa aba-aba, pria itu langsung memasuki tubuh Imelda. Ada rasa bahagia dan penyesalan di dalam hatinya setelah berhasil memasuki tubuh Imelda. Sebuah rasa takut yang sangat besar juga menghantui dirinya. Brian takut jika kisah cinta satu malamnya akan menjadi bencana bagi keluarganya.

Happy Reading