Bagaimana jika pria incaran yang diidamkan selama tiga tahun malah jadi pacar sang kakak? Perjuangannya yang tak tahu malu, akankah berakhir begitu saja? Dipaksa dalam satu lingkup bahagia yang diciptakan dua sejoli membuat Arka tak berhenti membuat wajah palsu. Pura-pura mengabaikan saat Melisa menceritakan keromantisan Nino yang semakin memupuk kecemburuan Arka. Yuda, Brian, dan Zaki pun merencanakan sesuatu untuk bisa membuat sahabatnya itu kembali ke wajah cerianya. Sempat mendekatkan Arka dengan wanita tercantik di sma sama sekali tak mempengaruhi orientasi Arka. Hingga datanglah sosok lama yang menjadi akar dari hubungan buruk Arka dan sang kakak. Tiba-tiba saja mengulang momen kedekatan dengan Arka yang dahulu menjadi pangkal permasalahan. Melisa kalang kabut, sementara Arka yang merasa bisa membalas sang kakak malah masuk ke dalam hubungan sulit. Namun kenapa saat hati Arka ingin memantapkan pilihannya pada Dani, Nino malah bersikap beda dan terkesan posesif padanya? Arka harus terus mendekat pada Dani tanpa mempedulikan Nino yang mulai meresponnya, atau bersikap tak peduli pada perasaan sang kakak dan merebut perhatian Nino sepenuhnya?
Malam itu Arka, Zaki, dan Brian sedang diantara para gerombolan remaja lain yang sedang asik bersorak. Melompat penuh semangat sembari mendengungkan nama yang mereka dukung. Begitu juga dengan ketiga remaja yang sudah dibilang rutin untuk menyaksikan balap liar yang diikuti oleh salah satu karib mereka, Yuda.
Pukul sebelas empat lima malam, para remaja yang kebanyakan dari mereka masih dibawah umur itu juga tak melepaskan pandangan dari jalanan depan yang masih belum satupun menampakkan lampu motor. Tenggorokan mereka pun sampai kering karena sibuk bersorak dengan waktu yang lama, tak biasanya pembalap amatiran seperti mereka memakan waktu lama.
"Woi! Mana nih mereka?"
"Jangan-jangan ada yang kecelakaan, nih!"
"Mulut lo! Jangan ngomong aneh-aneh deh!"
Banyak dari obrolan yang saling bersautan itupun membuat pria dengan kaos biru mudanya itu menjadi semakin cemas. Pandangannya pun menatap dua kawan lainnya itu yang masih sibuk dengan tingkah kekanak- kanakannya seolah tak mengerti situasi.
Menyulut rokok dan menghisap sedalam- dalamnya, menikmati asap beraroma yang memasuki bagian terdalam tubuh dan menghembuskannya perlahan. Asap putih dengan bentuk tak jelas itupun segera dihalau Arka. Pria kuning langsat itu sangat tak menyukai aroma yang sangat membuatnya sesak.
"Kalau ngerokok bisa tidak sih, asapnya dikondisikan?" omel Arka sembari mendorong Brian menjauh. Sudah ratusan kali Arka memperingatkan Brian untuk tak merokok disampingnya, tapi pria itu masih saja berusaha menggodanya dengan meniup asap tepat didepan wajahnya.
"Apaan, sih Ar... cowok tuh kerennya emang pas lagi ngerokok. Kalau lo sih jangan, ya..!"
"Nggak usah dilarang, gue kan emang nggak ngerokok. Lagian keren pas lagi ngerokok itu yang gimana? Yang ada malah bibir hitam dan gigi yang bakalan menguning, iuhh!"
"Maksud gue itu, lo jangan sampai keren... lo jadi cowok manis aja!"
"Emang minta dihajar nih!"
Arka siap melayangkan bogem mentah untuk kawannya yang masih sibuk menertawainya. Ia selalu saja bisa membuatnya kesal bahkan hanya dengan berpandangan dengan wajah menyebalkan itu. Arka siap-siap menitik bagian wajah yang akan dibuat memar jika saja sebuah lengan tak menahannya.
"Kalian bisa nggak sih, nggak berantem sehari... aja! Pusing nih dengernya. Nggak khawatir apa, Yuda dan yang lain belum kelihatan dari tadi, loh!"
Arka pun menarik tangannya kasar dari Zaki, pria yang selalu menjadi penengah antara Arka dan Brian. Wajah Arka masih saja memasam, apalagi dengan Brian yang menjulurkan lidah untuk mengejeknya.
"Eh, Lang! Lo bikin rutenya sampe mana, sih? Mereka kok nggak nyampe-nyampe?"
Meninggalkan pertengkaran antara dua sahabatnya, Zaki pun menarik lengan pria yang nampak sama bingung dihadapannya.
"Itu dia! Gue jadi khawatir banget, soalnya kita pake rute biasanya."
Mendengar itu, membuat Zaki menepuk dahinya keras. Perasaannya yang sudah tak karuan itu semakin parah, bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan?
"Oke, denger! Gue kayaknya harus ngecek ke depan, deh! Kalian tunggu sini!"
Mendengar nada perintah itu, Arka dan Brian mengangguk-angguk kompak. Pandangan yang berubah polos seperti anak yang mendapat peringatan keras dari orangtuanya.
Melihat raut panik Zaki yang berlari ke arah mobil dengan seorang kenalannya membuat Arka ikut panik. Mobil hitam yang dikendarai pria yang dipastikan tanpa punya Surat Izin Mengemudi itupun meninggalkan kerumunan.
"Kenapa, sih Ar? Tenangin diri aja, mereka pasti balik, kok!"
Brian pun seketika menjelma menjadi kawan yang baik. Lengannya merangkul bahu sempit Arka dan mengelusnya pelan, berusaha menenangkan.
"Semoga aja ya, Bri! Gue nggak bisa bayangin kalau terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Uhuk-uhuk... Sialan! Jauh-jauh dari gue sana!"
Arka mendorong pria itu untuk kesekian kalinya. Wajah khawatirnya memasam lagi. Brian memang selalu bisa merusak suasana hatinya. Lagi-lagi mengerecoki nya dengan asap rokok yang mengganggu.
"Lebih baik lo marah-marah nggak jelas dari pada khawatir dengan sesuatu yang nggak pasti. Lebih baik positif thinking aja!"
"Mana bisa positif thinking kalau yang ngasih saran aja orang yang negatif!" sungut Arka dengan delikan tajamnya.
"Yaelah... Gitu banget sih, Ar! Gini-gini gue-"
Tin tin tin
Ucapan Brian terpotong oleh suara klakson yang di tekan berulang. Sebuah motor datang, namun tidak untuk membelah kerumunan, malah putar balik tanpa mengurangi kecepatan. "Cabut! Di depan ada pak polisi!"
Tak ada yang mendengar ucapan peringatan itu, suara terlampau riuh, terlebih dengan gaungan mesin motor yang seperti menutup habis sumber suara. Namun untungnya mereka yang sudah hapal medan, mengerti juga kode morse dari lengan terangkat yang di putar-putar oleh sang pengendara yang menyita perhatian. Kecepatan seseorang yang datang dengan secepat kilat itu juga hilang di titik jauh, membuat merek yang tersisa merasakan kepanikan serupa.
Seketika saja kumpulan orang yang menjadi penonton melarikan diri, seolah kumpulan senyum yang di ganggu sarangnya. Berpencar tanpa sepakat menuju satu arah. Semua orang berubah panik, saling bertabrakan hingga Arka yang masih sibuk dengan kebingunangannya jatuh dengan tak elegannya. Sisi tubuhnya terdorong, adu fisik yang tak siap membuatnya terjerembab. Kedua telapak tangannya menapak aspal jalanan yang kasar hingga membuatnya terluka.
"Brian! Itu tadi, Yuda!"
"Iya, dia baik-baik aja, kan! Tapi kita yang bakalan dapet masalah, anj*ng!"
Arka dan Brian pun hanya sanggup bertatapan dengan wajah datar. Banyaknya orang yang tadi mengelilingi mereka, kini seketika senyap. Bunyi sirine mobil polisi pun semakin terdengar jelas. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Berlari akan membuat tubuh mereka pegal dan hanya berakhir percuma jika kemungkinan besarnya mereka akan tertangkap. Berdiri mematung seolah pasrah apa yang akan terjadi. Tengok kanan kiri, seolah anak ayam yang hilang induknya.
Tin tin tin
"Woi, masuk!"
Untuk kedua kalinya mereka tersentak karena bunyi klakson. Arka yang masih tak paham dengan datangnya mobil putih yang tiba-tiba di sampingnya. Brian yang tanpa aba-aba, hampir membuat Arka terjerembab untuk kedua kalinya. Remaja yang sontak langsung membuang sisa putung rokok miliknya, menarik Arka, yang kemudian mendorong cepat memasuki bagian kursi belakang mobil.
Arka yang masih bingung dengan apa yang terjadi itu pun seketika terhempas ke samping dan membuat wajahnya membentur kaca. Mobil yang putar balik dengan sembarangan sempat membuatnya ingin mengumpat.
Kalau saja Brian yang duduk terlalu tegang di samping Arka tak mendahului. "Makasih, bang! Abang emang kakak yang baik."
"Diam! Jangan sekalipun lo ngeluarin suara. Andai aja mama nggak maksa gue buat nyari lo, mana mungkin gue ngorbanin waktu tidur gue buat adik yang bisanya bikin susah gue, aja!"
"Ma-maaf bang."
"Nggak guna juga lo minta maaf."
Dan Arka yang ingin memprotes tingkah ugal-ugalan sang pengemudi itu pun menjadi diam seribu bahasa. Tatapannya tak sekalipun beralih dari pantulan spion yang menampilkan wajah yang selama ini menjadi incarannya.
Mulutnya menganga lebar, bagai kaset yang menekan tombol pemutaran video di beberapa detik permulaan. Tiba-tiba saja, ia merasakan suasana sekolah dengan kekaguman serupa pada seorang pria yang tengah bermain basket bersama dengan gerombolan yang lain.
Ia yang terduduk di pinggiran batas tanaman yang jelas terlarang. Dengan fokus incarannya hanya pada satu pergerakan seseorang, kedua telapak tangannya yang menyangga dagu seolah tengah mengamankan gerak perputaran lehernya yang mengikuti objek sasaran.
"Gila banget sih ini," bisik Arka berbincang dengan dirinya sendiri. Sembari terus berdecak penuh kekaguman pada kakak kelasnya itu.
"Woi, Kenapa lo?"
Dan Arka yang mendapat sikutan kode panggilan itu pun memandang Brian dengan pandangan marah. Kawannya itu datang dan hanya bisa membuat fokusnya terganggu saja. Lain halnya dengan Zaki dan Yuda yang berdiri di sisinya dengan lengan terlipat di depan dada, begitu tenang.
"Sumpah! Itu kakak kelas ganteng banget! Lo pada, ada yang tau nggak dia siapa?" tunjuk Arka pada pria yang menyibak surai berkeringatnya.
"Enggak...?" sahut Zaki dan Yuda yang seperti masih tengah menerka.
Sementara Brian yang ada di sisi Arka, langsung merangkul kawannya itu dan langsung memberikan peringatan. "Nggak usah deket sama cowok kayak gitu, Ar! Dia ketinggian level buat lo."
"Lo kok jadi ngerendahin gue sih, Bri? Dicoba dulu nggak ada salahnya, kan!" protes Arka sembari menghempaskan rangkulan Brian untuk menjauh.
Bangkit dari duduk setengah berjongkoknya, kemudian menghentakkan kaki dengan lirikan mata tajam pada Brian yang jelas tak memberikannya dukungan.
Jelas Arka tengah marah, namun rupanya Brian yang di sasar masih saja berniat menariknya untuk mundur. "Mau genapin dua tahun buat ngejar kakak kelas ya, Ar? Jangan deh, tuh lihat dia gandeng cewek!"
Dan bunyi percakapan silam yang masih diingat Arka dengan jelas itu membuatnya ingin meremukkan tubuh Brian.
Pria yang sudah menghambat proses pendekatan serta orang yang mematahkan semangatnya. Pria yang menepuk bahunya dengan tawa gembira saat Arka menangis tersedu karena kabar status pria incarannya yang ternyata sudah berpacaran.
Dan kabar yang baru saja diketahuinya setelah ia menjalin hubungan pertemanan selama hampir tiga tahun. Brian adalah orang yang dekat dengan pria incaran Arka. Bahkan mereka adalah saudara kandung!
Brian yang nampaknya turut mereka ulang nostalgia, merasakan pula awan hitam yang turut menariknya pada situasi menyeramkan. Tamat riwayatnya!
"Ehmm... bang! Jalan Kusuma, anterin temen gue dulu ya, bang!"
Dan Brian yang dilirik tajam oleh orang disamping dan di depannya itupun hanya sanggup menundukkan kepala. Pertemanan dan hubungan persaudaraannya diambang batas kehancuran.
Kakaknya yang tak akan lagi membelanya di depan orangtua, juga Arka yang mungkin saja sudah merencanakan sesuatu yang kejam karena ia yang sudah menutupi hubungannya dengan sang pria incaran. Apa yang harus di lakukannya?!