webnovel

Perhatian?

Ditengah hujan yang melanda, keempat sekawan itu hanya sanggup menopang dagu menatap bias air yang mengalir turun tepat di kaca depan mereka. Wajah lesu dengan penatnya tubuh serta halangan hujan yang menunda pembaringan cukup membuat kesal.

Dihadapan mereka kini banyak bungkus sampah yang untuk sekedar mengumpulkannya jadi satu di tempat sampah saja sukar dilakukan. Bahkan beberapa pegawai mini market itu pun hanya sanggup menghela nafas panjang menatap mereka.

Terjebak hujan ditengah kondisi tubuh yang terkuras habis memang hal yang cukup menguji kesabaran. Bertekad keras untuk menerjang serangan air jatuh yang datang dengan pasukannya itu juga tak mungkin dilakukan jika tubuh mereka tak bertameng. Dan yang bisa dilakukan sekarang hanyalah duduk dengan menatap lamunan.

"Bantal manis, kedelai jamuran, air organisasi, dan apalah itu! Semua karena kita nyariin teka-teki nggak bermutu ini!" geram Arka. Duduknya yang berada di samping Brian itu pun tak kuasa menahan berat tubuhnya sendiri hingga memutuskan untuk bersandar di bahu kawannya itu. Meja memanjang dengan posisi duduk dari kiri yaitu Yuda, Zaki, Arka, dan Brian.

"Keliling-keliling dengan modal otak kosong," timpal Zaki.

"Hem... dan kita terlalu bodoh sampe ngelupain mbah google yang tau segalanya," sahut Yuda dengan decikkan lidahnya. Mereka memang menghabiskan waktu untuk berdebat guna memecahkan teka-teki itu. Mega merah yang sudah menjadi awan hitam tak juga mencairkan otak mereka yang terlanjur beku, sampai hujan deras dengan sambaran petir sedikit menyentak otak.

Dan setelah itu mereka terdiam lagi. Hujan seperti tidak bisa diharapkan untuk sedikit mereda. Arka bahkan sudah mulai menutup setengah mata dengan posisi bersandar yang makin di nyamankan.

"Kayaknya kita emang nggak ditakdirin jadi pelajar baik-baik, deh!" ucap Brian membuka pembicaraan lagi.

"Maksudnya?"

"Ya, lo lihat aja! Sekalinya kita keluar buat menuhin tugas malah kejebak hujan kaya gini! Trus waktu kita nonton balap liar nggak ada kendala apa-apa tuh!" jelas Brian.

"Jangan terlalu serius jadi orang Bri! Masalah alam itu jangan dihubung-hubungin sama dua hal yang jelas beda. Tapi gue maklumi sih, orang kayak lo emang kelihatan banget bawa aura hitam pekat yang selalu nggak sinkron sama kepositifan lingkungan sekitar. Jadi gue pikir wajar lo ngerasa gitu," terang Zaki yang membuat Arka dan Yuda tertawa terbahak-bahak. Ekspresi datar saat berbicara seperti menunjukkan kepolosan dalam mengemukakan suatu kenyataan yang tak bisa dielak. Zaki telah mencairkan suasana.

"Hahah... gokil! Siapa orang yang sanggup nerima kejujuran seorang Zaki yang bicara tanpa pake filter!" timpal Yuda semakin membuat bibir Brian mengkerut ke depan.

"Jangan ketawa mulu lo, Ar! Udah senderan tanpa bayar, masih aja nggak belain gue lo!"

Brian pun menggerak-gerakkan bahunya untuk membuat posisi Arka tak nyaman.

"Bri."

Namun dengan suara kecil yang terdengar begitu mendominasi di telinga Brian itu membuatnya tak bisa berkutik, Arka selalu bisa membuatnya diam seribu bahasa dengan menyebut panggilannya saja.

"Hachuu!" suara bersin milik Arka.

Setelah kemarin malam menunggu hujan yang tak juga reda, keempat orang itu pun memutuskan untuk menguji kekebalan tubuh dengan menerjang hujan. Motor yang terpacu tak terlalu tinggi menambah waktu tempuh perjalanan yang biasa dihabiskan.

Saling berboncengan antara Zaki dan Yuda serta Brian dan Arka. Berbelok berlawanan saat menemui perempatan jalan, arah tujuan mereka berbeda. Brian yang memutuskan untuk menginap di kediaman Arka saat hujan malah semakin deras.

"Kenapa fisik lo lemah banget sih, Ar? Baru aja kena air hujan udah langsung bersin-bersin, gimana kalau kena air cintanya!"

Serta merta Brian mendapat pukulan keras di belakang kepalanya. Mulut kotor yang sudah beberapa lama hiatus, kini mulai hadir lagi.

"Aduch! Lo napa mukul gue sih, Ar? Ye... jangan-jangan pikiran lo yang traveling kemana-mana karena ucapan gue! Awas loh, gue bisa melihat bibit-bibit mesum di diri lo."

"Bri, hachu! Kalo lo brisik lagi, gue tonjok nih perut biar semua makanan yang udah lo lahap dari rumah gue pada keluar!" ancam Arka dengan wajah yang memerah. Bagaimana tidak, disaat kata-kata Brian yang terdengar memancing, Arka malah membayangkan hal-hal gila dengan Nino. Sepertinya apa yang diucapkan Brian ada benarnya, Arka mulai mesum. Bahkan sekali pun tahap kedekatannya dengan pria incaran hanya sebatas nama yang di kenal.

"Jangan sensi dong, Ar! Ngeri gue."

Mereka kini kembali berdiri di tempat yang sama dalam beberapa hari terakhir. Cuaca yang sedikit mendung membuat ratusan siswa itu mengucap syukur.

Kali ini Arka di posisi paling belakang menggeser Brian. Kepalanya tak bisa sekalipun menghadap depan saat penampakan Nino jauh lebih menggiurkan.

Sekarang Arka sudah tau dimana Nino sering berdiri dan bertugas mengawasi. Pria tubuh jangkun dengan perawakan yang begitu sempurna itu nampak mendominasi diantara kawan lainnya.

"Hachuu!"

"Adik nggak apa? Kalau kurang enak badan bisa istirahat sementara di uks."

Sebuah suara secara tiba-tiba mengusik pendengaran Arka. Suara yang masuk daftar hitam dalam pendengarannya itu membuatnya berat untuk sekedar menolehkan kepala.

"Saya, kak! Saya kemarin habis kehujanan dan sekarang badan saya meriang," ucap Brian yang seketika menimpali. Tangannya tanpa rasa malu teracung dengan posisi badan yang berbalik membelakangi ketua osis yang sedang mengumpulkan percikan saliva di mikrofon. Senyum lebar Brian itupun membuat Melisa yang hendak mencari gara-gara dengan Arka pun memutar bola mata.

"Yuk deh, kita pergi."

Melisa pun dengan cakap menarik lengan kawan wanitanya itu untuk bergerak menghindar.

"Eh, Mel! Bukannya nyokap lo nyuruh buat Arka biar-"

"Sttst! Diam!" potong Melisa. Pandangannya pun secara otomatis berbalik mengawasi Arka. Sosok adik yang hanya berjarak satu tahun itu nampak tak memperhatikannya. Menghela nafas, untung saja ucapan kawannya Nina itu tak didengar oleh Arka. Jika tidak, pasti ia akan besar kepala.

Sedangkan prasangka aman yang ditetapkan Melisa itu tak benar. Arka masih mendengar jelas dan paham maksud dari kata-kata yang tak selesai diucapkan wanita itu. Menarik bibirnya singkat, perintah dari sang mama seperti tak berpengaruh. Arka dan Melisa masihlah berjarak cukup jauh untuk saling menggenggam tangan.

Kali ini rasa pusing kembali menghantam kepalanya dengan keras. Nino tak terlihat untuk sekedar mengurangi rasa sakitnya seperti beberapa saat lalu.

"Setiap barisan akan secara otomatis menjadi satu regu dalam kegiatan outbound kita besok. Kumpulkan setiap barang yang menggunakan sedikit teka-teki itu di depan barisan."

"Yah... kenapa lo pada di situ sih, kita jadi nggak seregu, kan!" omel Brian pada Yuda dan Zaki.

"Bri, keluarin barang-barang di tas gue dong!" ucap Arka dengan suara yang mulai terdengar tak jelas. Posisi yang saat ini duduk membuat punggung Brian terasa begitu nyaman untuk disandari.

"Lo nggak apa kan, Ar?" tanya Yuda yang duduk tepat di sebelah kanannya. Lengannya terangkat dan menyentuh dahi Arka yang begitu panas.

"Eh Ar, gue panggilin kakak lo ya?" ucap Brian dengan pandangan yang menoleh. Tubuhnya tak bisa bergerak banyak, ia tak ingin Arka merasa tak nyaman.

"Nggak ah, ngapain?"

"Kamu kenapa? kalau nggak enak badan bisa saya bantu buat ke uks."

Tepukan di bahu belakang Arka membuatnya membuka mata sedikit demi sedikit. Tubuhnya yang membungkuk dengan posisi kepala bertumpu di punggung Brian seketika menoleh ke asal suara yang begitu dekat dengannya.

Matahari yang mulai berlari menabrak awan hitam kini seakan menusuk penglihatannya dengan kemenangan telak dari sang pusat tata surya. Sosok yang jelas terlihat walau dengan setengah matanya yang terbuka. Keadaan yang semakin panas berpengaruh pada kondisinya. Panas tubuhnya semakin meningkat dengan denyutan kepala yang merongrongnya. Jantungnya pun seketika bergetar beberapa kali lipat lebih cepat sebelum awan hitam kembali melingkupi pandangannya secara penuh.

Next chapter