Seorang gadis penjual bunga keliling bernama Metha dipertemukan dengan seorang pria dari keluarga konglomerat, Peter. Metha yang dibenci banyak orang tidak membuat Peter membencinya, padahal semua orang tahu jika Peter tidak suka berdekatan dengan wanita mana pun. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka kian merekat sampai akhirnya Peter memutuskan untuk melamar Metha. Namun, di hari pernikahan mereka, sebuah kejutan besar terungkap. Ternyata Metha merupakan seorang putri dari musuh besar keluarga Peter yang sengaja diasingkan dan dibiarkan lupa ingatan. Lalu, bagaimana dengan Metha dan Peter selanjutnya? Apa penyebab Metha diasingkan oleh keluarganya?
"Terima kasih, Bu. Semoga suka sama bunganya," ucap Metha dengan penuh ceria. Ya, meski ucapan tanda terima kasihnya tidak pernah dibalas oleh para pembeli. Namun, itu semua tidak membuat semangatnya runtuh, ia sudah terbiasa seperti ini.
Ibu yang disebut sebagai pembeli tadi sudah melenggang pergi dari hadapan Metha dengan raut wajah yang seperti tidak puas dengan barangnya. Bukannya apa, ia membeli bunga pada Metha karena toko langganannya sedang tutup. Sehingga ia terpaksa beralih pada si anak lusuh penjual bunga keliling.
Senyuman tipis masih terukir di bibir pucat Metha, ia membereskan barang dagangannya yang sempat berantakan akibat pembeli tadi mengacaknya untuk memilih bunga yang diinginkan. Setelah selesai, kaki kanannya mulai merangkak naik pada kayuhan sepeda yang separuh penginjakannya sudah patah.
"Hiks … hiks, ibu!"
Metha langsung menghentikan pergerakan kakinya. Ia terdiam, menajamkan kedua telinganya untuk memastikan bahwa ia benar-benar mendengar suara tangisan anak kecil.
"Ibu … hiks!"
Kaki kanannya langsung ditarik kembali dan kini berpijak pada aspal seperti semula. Kala kedua telinganya kembali menangkap suara tangisan yang kali ini terdengar lebih jelas.
Metha berlari ke arah barat untuk menghampiri asal suara tangisan itu. Ia Membiarkan sepeda yang berisi dagangan berdiri di sisi jalan dengan standar yang masih bertahan kuat di aspal.
Untuk sekarang, ia lebih mementingkan anak kecil dibanding sepedanya. Ia merasa takut ada sesuatu yang tidak beres pada anak kecil itu hingga membuat dia menangis histeris.
Langkahnya mulai lambat ketika ia sudah menemukan sosok anak kecil yang sedang duduk di atas jalan dengan kedua tangan yang bertumpu di atas lutut, dia menatap sendu ke depan dengan deraian air mata yang terus mengalir.
"Adik, kau kenapa?" tanya Metha lembut, mengulurkan tangan kanannya bermaksud untuk mengusap lembut kepala bagian belakang adik kecil itu. Tampaknya gadis kecil itu masih berumur sekitar 7 tahunan.
Anak kecil tersebut tersentak dalam tangisannya, ia mengalihkan pandangannya menatap Metha dengan parau.
Tatapannya begitu terlihat menyakitkan seperti ada deretan luka yang terpampang dengan jelas di kedua mata sayu nan polos itu. Rasanya Metha ingin ikut menangis sekarang juga, rasa empatinya terlalu tinggi membuat ia tidak tega melihat anak kecil yang seperti ini.
"Bunga, bunga untuk ibuku sudah hancur di sana." Telunjuk mungil milik gadis kecil itu terangkat menunjuk ke tengah jalan yang menampilkan seikat bunga lily yang sudah hancur lebur seperti terlindas oleh kendaraan.
Metha tersenyum miris,"Kasihan sekali adik ini," ucapnya iba dalam hati.
"Kenapa bunga lilymu bisa terlindas seperti itu?" tanya Metha ingin tahu apa yang terjadi pada bunga lily tersebut.
Sebelum berucap, gadis kecil itu mengusap kedua pipinya yang basah akibat air mata kesedihan yang turun dari kedua mata indah tak berdosa.
"Tadi aku sedang menyeberang jalan, bunga lily itu aku simpan di tas pemberian ibuku. Aku tidak sadar jika robekan tasku membesar dan membuat bunga lily itu terjatuh di sana. Saat aku sadar dan ingin mengambil bunga lily itu, tiba-tiba ada sebuah mobil yang datang dan melindas bungaku tanpa sengaja," jelas anak kecil itu seraya memperlihatkan robekan pada tas kecilnya yang terbuat dari kain katun.
"Jahat sekali pengendara mobil itu. Ya, meski tidak sengaja, namun tetap saja dia terlihat tidak mempunyai hati nurani." Lagi-lagi Metha menggerutu dalam hati.
"Aku ingin menemui ibuku yang sudah berada di atas sana, ibuku sangat suka dengan bunga lily. Tetapi, sangat tidak mungkin jika sekarang aku menemui ibuku dengan tangan kosong tanpa membawa apa pun, ibuku pasti akan sangat sedih," lanjut gadis kecil itu menjelaskan.
Air matanya kembali turun merembasi kedua pipi gembul yang sudah memerah. Meski ia masih kecil, tetapi ia sudah tahu betul betapa hancurnya hati hanya perkara bunga lily. Mungkin, bagi mereka itu merupakan hal yang biasa dan tidak pantas untuk disedihkan. Namun, bagi dirinya itu sangat berharga dan sangat pantas untuk dijaga dengan baik agar tidak berakhir dengan kesialan yang menyakitkan. Ya, seperti ini.
Metha menghembuskan napasnya. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk senyuman hangat. "Tidak apa-apa, dik. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, nanti ibumu akan ikut merasa sedih melihatmu seperti ini. Untuk bunga itu biar aku yang akan menggantinya," jelasnya menenangkan.
Sangat beruntung di dalam dagangannya masih ada seikat bunga lily yang belum terjual.
"Apakah kakak yakin?" tanya anak itu memastikan. Ia kembali menatap Metha dengan binaran mata yang mulai hadir semenjak Metha berucap seperti itu.
Metha menganggukkan kepalanya. "Ya, kau tunggu di sini! Aku akan mengambilnya hanya dalam hitungan detik." Tanpa menunggu jawaban ia langsung berdiri dan berlari cepat menuju sepedanya berada. Jaraknya hanya sekitar dua puluh meteran saja.
Metha mengambil bunga lily dalam keranjang sepedanya, memasukkan bunga tersebut pada kantung plastik agar memudahkan untuk membawanya. Metha terlihat tersenyum kecil, kemudian kembali berlari menuju gadis kecil yang sedang menunggu.
"Ad-" Langkah sekaligus ucapan Metha harus terpaksa terhenti kala netranya menangkap empat sosok perawakan tinggi yang sedang berada di sekitar gadis kecil itu. Apakah mereka penculik?
Kakinya kembali melangkah cepat. Kedua bahunya sengaja ia tabrakan pada bahu dua pria yang memakai pakaian sama, hal itu membuat mereka mengalihkan pandangannya pada Metha.
Metha langsung menyimpan kantung plastik yang berisi bunga lily itu pada sembarang tempat, kemudian ia merengkuh tubuh mungil yang terasa bergetar ketakutan.
"Kenapa kalian ada di sini? Apa kalian akan menculik anak yang tidak berdosa ini, hah?" tanya Metha sarkas menatap tajam pada keempat pria yang berdiri tegap nan angkuh.
Satu pria memakai setelan jas berwarna dongker dengan kedua tangan yang menyatu di belakang pinggangnya, dia terlihat sangat gagah. Namun, dia memakai masker yang menutupi sebagian wajahnya. Yang terlihat hanyalah kening yang putih bersih, kedua alis tebal, bulu mata yang lentik serta kedua iris mata yang berwarna hazel.
Sedangkan ketiga pria yang lain memakai setelan jas berwarna hitam yang dilengkapi dengan sebuah kacamata hitam menutupi kedua matanya. Metha sangat yakin, jika mereka berprofesi sebagai pengawal.
"Mohon maaf, Nona. Jangan berprasangka buruk terlebih dahulu kepada kami," ucap salah satu pengawal yang diketahui bernama Philip.
"Lalu, untuk apa kalian datang ke sini?" serobot Metha kembali bertanya.
"Kami hanya ingin ber-"
"Cukup!" sanggah Metha menunjukkan telapak tangannya ke arah mereka sebagai kode agar Philip berhenti berbicara. Ia membisikkan sesuatu pada anak kecil itu seraya memberikan bunga lily tadi yang sempat ia simpan di sembarang tempat.
Anak kecil itu tampak menganggukkan kepalanya. Kemudian berdiri dan berlari menjauhi mereka berlima.
Metha tersenyum kecil melihat kepergian anak itu. Namun, hanya beberapa detik saja ia kembali mendatarkan wajahnya. Ia berdiri dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, terlihat ia menantang keempat pria yang berada di hadapannya.
"Kalian ingin ber apa?" tanya Metha kembali mengulang ucapan Philip tadi yang telah ia potong.
"Kami hanya ingin bertanggung jawab atas bunga lily anak kecil itu yang tidak sengaja kam-"
"Ouh, jadi kalian pelakunya!?" Lagi-lagi Metha memotong ucapan Philip.
Peter—pria dengan jas warna. dongker— tampak menggeram marah. "Dasar tidak tahu diri, seharusnya kau bersikap santun kepada kami!"
"Memangnya kalian siapa?" Metha kembali menantang, mengangkat dagunya tinggi-tinggi pertanda sebuah keberanian sudah menguasai seluruh tubuhnya.
"Saya merupakan put-"
"Cukup!"