Menceritakan sebuah kisah dari berbagai aspek dalam sebuah Universe. Dimulai dari reinkarnasi, sihir pemanggilan hingga petualangan yang dinantikan.
Langkah kaki berjalan mendaki jalan curam tanpa semangat. Melihat kendaraan mobil melintas dengan cepat. Suara mesin berdengung kencang. Mengagetkan seorang laki-laki dipenuhi banyak keringat di sekujur wajahnya. Kedua kakinya mulai letih karena jalannya menanjak. Mendingan aku nonton anime saja, gumamnya dalam hati.
Perkataan itulah yang terbesit dalam pikiran Hiro Sakaki. Seorang laki-laki berumur 16 tahun yang masih bangku SMA. Tinggal sendiri di rumah tanpa ada yang merawatnya. Menyesali mengikuti wasiat almarhum kakeknya waktu itu. Alasannya, dia tidak suka peraturan yang mengikat dan menginginkan kebebasan. Berasa hidupnya diatur sana-sini. Hiro hanya ingin menonton anime, tokusatsu dan hal-hal berbau otaku. Bahkan kerabatnya sendiri sudah angkat tangan karena tidak kunjung berubah.
Rambut coklat disisir rapi. Seolah-olah dia menunjukkan bahwa pemuda itu menyandang statsus sebagai siswa kelas 2. Wajah terlihat pucat dan kedua bola mata menampakkan garis hitam di sekujurnya, karena dia keseringan nonton anime. Meja makan yang berisikan mie ramen instan, telah dibuang ke tempat sampah. Sampah yang berserakan di lantai, mulai menggunung pada setiap sudut ruangan. Bau menyengat di mana-mana. Sisa plastik tidak dibersihkan dengan rapi. Tas sekolah menyatu dengan tumpukan sampah.
Hiro berjalan menyeret kedua kakinya. Mengambil gelas di atas meja. Menuangkan air putih ke dalam gelas. Kemudian, dia menenggaknya sampai gelas itu sudah habis. Suara mendesah sehabis mengonsumsi air putih. Kedua kakinya berjalan kembali. Menutup pintu ruang makan beserta keluar dari rumah. Sepatu hitam telah dipakai. Mengucapkan tiga buah kata. "aku berangkat dulu."
Di Jepang, orang yang sering menonton anime, tokusatsu, film atau musik disebut Otaku (dalam bahasa Jepang artinya maniak). Kebanyakan mereka mengikuti digandrungi orang-orang sampah tidak bernilai. Hanya berdiam diri, tidak melakukan aktivitas apapun memuja fandom seperti anime secara berlebihan di dalam kamar atau rumah, sehingga muncul sebuah istilah yang dinamakan Hikkikomori. Bagi orang-orang Jepang, Hikkikomori merupakan virus yang sulit dibasmi karena tidak mau bekerja untuk masyarakat, hanya bermalas-malasan dan berdiam diri di dalam ruang maupun rumah. Termasuk Hiro sendiri merupakan bagian dari Hikikomori.
Oleh sebab itulah, teman-teman dan para guru memilih menjauh dari Hiro atau tidak mau berbicara dengannya. Akibatnya, Dia dicueki satu sekolah dan tidak pernah mendengarkan perkataan dari guru saking muaknya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa dia hidup dalam kesendirian. Di dalam pikiran Hiro sendiri, otaknya dipenuhi dengan tokoh anime 2D. Baik husbando maupun waifu. Ke mana-mana, dia menenteng tas berisikan poster atau franchise yang dibeli dari online. Melihat tingkah lakunya, kaum perempuan juga tidak mau mendekati pemuda berambut coklat. Semua orang menatap Hiro penuh sinis. Tetapi, dia tidak memedulikan hal itu. Mereka hanya ikut-ikutan dikarenakan tidak memiliki sesuatu yang digosipkan. Akibatnya, dirinya menjadi bahan cemooh. Dia diperlakukan secara buruk setiap harinya. Sampai dibully habis-habisan. Karena itulah Hiro ogah masuk ke sekolah. Kalaupun melakukannya, itu berdasarkan janji yang tertulis dari tuangan surat kertas tidak berguna. Hiro sampai meremas isi tersebut ke dalam sampah.
Bagi Hiro, dirinya tidak mempermasalahkan dijauhi banyak orang. Rumor yang beredar, keluarga dia menelantarkan dirinya. Mereka menganggap Hiro merupakan anak kutukan atau pembawa sial bagi masyarakat sekitar. Pasalnya, orang tuanya dibunuh saat dia berusia 14 tahun. Menyisakan kakek Hiro yang sudah renta untuk merawat kebutuhannya. Beliau tulus merawat Hiro sampai beliau dipanggil oleh Tuhan. Memberi makanan, mengajaknya mincing, bermain bersama, hingga bekerja sampingan meski di usia tua sekalipun. Tetapi, Hiro tidak pernah menunjukkan senyuman kepadanya. Sampai pada akhirnya, beliau menghembuskan napas terakhir setahun berselang. Saat meninggal, Hiro meneteskan air matanya. Tidak kuasa menahan kesedihan disertai penyesalan mendalam. Meski dia tidak pernah memberikan apapun untuk kakeknya, Hiro merasa keberadaan beliau selalu membekas di hati. Semenjak itulah, Hiro sering menghabiskan waktunya untuk menonton anime atau tokusatsu. Tidak peduli bercengkrama dengan orang-orang yang pada akhirnya menjatuhkan namanya maupun keluarganya.
Pintu gerbang ditutup oleh guru olahraga. Disertai bel sekolah berbunyi sekitar jam 8 pagi. Hiro berjalan cepat ke dalam kelas dan duduk paling belakang dekat dengan jendela. Mengabaikan para siswa yang duduk. Muncul Pak Guru mata pelajaran Ekonomi. Mengenakan jas abu-abu dan celana panjang kain warna hitam, sedang menaruh buku pelajaran beserta buku absen di atas meja samping kanan. Semua siswa duduk terdiam. Tidak ingin bermacam-macam dengan beliau. Salah satu ketua kelas menyuruh semua orang untuk berdiri. Terlihat tatapan Hiro kosong, mengikuti perintah dari ketua kelas.
"Semuanya berdiri!" ajak salah satu ketua kelas kepada para murid untuk hormat pada guru.
"Ohayou Gozaimasu, sensei!"
"Ohayou," balasnya menaruh buku ke samping meja.
Para siswa dipersilakan untuk duduk kembali. Tanpa terkecuali Hiro yang masih kosong kedua bola matanya. Helaan napas kasar keluar dari rongga mulut pemuda berambut coklat. Ketika beliau sedang membacakan nama tiap siswa di dalam kelas, Hiro mengangkat tangan kiri. Menempel pada pipi kirinya. Sial! Kalau bukan karena pesan kakek, sudah pasti aku menonton lanjutan anime yang tertinggal tadi malam, gumam Hiro dalam hati.
Mata Hiro tidak pernah lepas menatap jendela sekolah. Cuaca pagi hari disertai sinar terik matahari. Menyengat Burung-burung berkicau, menghinggapi pepohonan. Kedua mulut dua ekor burung terbuka, memberikan makanan pada bayinya. Cicitan burung terdengar pelan di telinga Hiro walau kaca dalam kondisi tertutup rapat.
Di dalam pikiran Hiro, terbayang sebuah pemandangan yang begitu indah dan menyejukkan. Daun-daunan bergoyang mengikuti irama secara vertikal. Bunga dan rumput-rumputan melakukan hal serupa. Hewan-hewan seperti kupu-kupu menghinggap di bunga, mengambil serbuk sari.
Sebelum masuk ke dalam kelas, Hiro sempat mencium aroma bunga ketika kupu-kupu sudah mulai pergi terbang. Kelopak dari pohon sakura berjatuhan di tanah. Menandakan musim semi telah dimulai. Seekor Rusa maupun hewan lainnya mengerubungi pohon sakura. Hiro masih melirik ke gedung sekolah. Memasng tersenyum kecut. Memejamkan kedua matanya. merasakan dirinya berada di halaman sekolah. Hembusan angin meniup permukaan rambutnya beserta bulu kuduknya.
Tiba-tiba, seekor rusa menghampiri pemuda berambut coklat. Kepalanya mengelus lengan kanan Hiro, menandakan meminta makanan. Dia memberikan makanan dengan senang hati. Kemudian, dia merebahkan tubuhnya di taman yang wangi dan indah. Hawa begitu tenang dan nyaman. Sehingga dirinya bisa istirahat dengan tenang.
Di saat berbaring, sosok bayangan hitam sedang berdiri di depannya. Karena penasaran, Hiro mencoba mengulurkan tangan kanan. Tetapi, aksinya berbuah celaka. Sebuah cengkraman kuat dari bayangan tersebut. Hiro berusaha melepaskan diri. Tetapi tidak bisa. Tubuh Hiro tidak mau menuruti perkataannya. Langit yang semula cerah, seketika berubah menjadi gelap. Tubuh Hiro mulai terhisap ke sebuah pusaran. Sebuah pusaran angin gelap mencoba menghisap pemuda berambut coklat. Kedua tangan Hiro berusaha menggapai sesuatu di sekitarnya. Melihat para binatang satu persatu terkena hisapan.
"Selamatkan aku!" jerit Hiro.
Di saat sebagian tubuhnya terhisap dan menyisakan salah satu tangan saja, Hiro tidak mau menyerah. Menadahkan tangan kanan sekaligus mengerahkan seluruh tenaga untuk keluar dari pusaran angin tersebut. Kedua bola mata mulai mengabur. Indera penglihatan perlahan-lahan mengabur. Muncullah suara menggema dari alam bawah sadar.
"Sakaki Hiro-san … Sakaki Hiro-san!" teriak seorang pria menggema di telinganya.
Kedua mata Hiro terbuka lebar. Sadar bahwa dirinya sedang melamun. Melirik saat Pak Guru mata pelajaran Ekonomi menyebutkan namanya. Hiro membuka mulut separuh. Tidak suka dirinya diganggu oleh beliau, pemuda berambut coklat menatap tajam. Seakan-akan, yang bersalah adalah Pak Guru Ekonomi itu sendiri. Beliau berkeringat dingin, memancarkan aura ketakutan dari tatapan Hiro. Termasuk teman sekelasnya. Beberapa dari mereka menelan ludah.
"A-a-apa lihat-lihat?" ucap Pak Guru Ekonomi gugup.
"Jangan mengganggu lamunanku, sensei! Aku tidak suka itu," balas Hiro bernada dingin dan memancarkan aura intimidasi.
Ucapan Hiro barusan mempertegas bahwa sosok Hiro merupakan orang yang ditakuti. Persis seperti rumor beredar. Teman-teman sekelasnya mulai ketakutan bertatap muka dengannya. Pak Guru Ekonomi memegang buku erat-erat, tidak sengaja menjatuhkan buku yang digenggam. Tetapi Hiro dapat menangkapnya dengan mudah. Sadar tindakan dia telah melampaui batas antara guru dan murid, Hiro berdiri. Memohon maaf membungkukkan badan.
"Sensei, maaf. Saya … saya tidak bermaksud membuat anda ketakutan."
Hiro membungkukkan badan. Takut beliau ketakutan saat mengajar. Sayangnya, perkataan Hiro tidak berjalan dengan realita yang ada. Teman sekelas dia menarik napas tidak percaya. Pak guru Ekonomi yang semula gugup dan takut, kini tidak mampu menahan emosi ucapan pemuda itu. Jari telunjuk beliau diacungkan pada wajah Hiro. mengarahkan ke pintu ruang kelas.
"Sakaki-san … berdiri di pintu luar kelas sekarang juga!" teriak Pak Guru.
Suara beliau melengking membuat para suasana berubah mencekam. Ada juga siswi menutup telinga. Hiro membuka mulutnya. Siap menerima konsekuensi akibat ucapan yang terlontarkan dari mulutnya. Dengan langkah gontai, Hiro berjalan pelan menuju pintu ruangan kelas. Berdiri dekat pintu sambil membawa dua buah ember. Tidak lupa juga ember besi berada di kepala, suapaya tidak menetes dengan mudah.
"Hari ini benar-benar apes," gerutunya.
Dia bertanya-tanya mengenai hari ini. Kejadian yang menimpa dirinya berujung apes. Semenjak teman masa kecil Hiro meninggal dunia akibat penyakit yang diderita, dia susah interaksi dengan orang-orang sekitar. Kondisinya diperparah saat kepergian kedua orang tua dia. Sejak itulah, hari-hari Hiro dipenuhi kehampaan dan kesedihan secara terus menerus. Sudah saatnya dia butuh penyegaran dalam pikirannya. Menikmati jalan-jalan keliling kota atau pergi ke desa. Tempat dulu almarhum kakek tinggal. Dalam lubuk hatinya, Hiro merasa tidak ada gunanya membahas kejadian dulu. Dalam benaknya, mau sampai kapan pemuda itu berhenti menonton anime.
Pelajaran selanjutnya yaitu sejarah Jepang. Hiro masuk ke dalam kelas. Pria kepala botak berdasi panjang berwarna biru tua. Membawa buku sejarah dan berkacamata. Perutnya buncit dan memancarkan wajah menjijikkan. Saat diterangkan oleh beliau, Hiro memalingkan wajahnya. Menatap jendela kelas. Hingga sebuah teriakan dari Pria kepala botak sangat keras.
"Sakaki-san! Apa kau mendengarkan penjelasanku?"
"Dengar, sensei!" ucap Hiro tanpa berpikir panjang.
"Kalau begitu, jawab pertanyaan di papan tulis!"
Tulisan milik Pak Guru sangat kecil. Sulit dibaca oleh Hiro. Dia menyipitkan kedua mata bola matanya. Kemudian, dia merasa pertanyaan yang ada di papan tulis itu cukup mudah.
"Pertarungan Okehazama dimenangkan oleh kubu Oda di bulan Juni tahun 1560. Pertarungan itu dimenangkan melalui serangan dadakan. Saat pasukan Imagawa berkemah di sana. pasukan Oda yang berjumlah sekitar 2.000 sampai 3.000 pasukan menyerang pasukan Imagawa melalui Dengaku-hazama dari utara."
Entah kenapa, Hiro bisa menjawab pertanyaan secara cepat dan akurat secara langsung. Sampai sekarang, dia tidak mengerti. Pak Guru Sejarah Jepang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"B-benar sekali."
Teman sekelasnya melongo mendengar jawaban dari Hir. Bagi mereka, Hiro merupakan orang pertama yang bisa menjawab pertanyaan dari Pak Guru yang terkenal killer serta tulisan papan tulis yang sangat kecil dan susah dibaca oleh para siswa. Pemuda berambut coklat kembali duduk sembari menatap jendela kelas. Tetapi kepalanya menoleh pada beliau sekali lagi. Menaikkan kedua alisnya. Tersenyum tipis dan menaikkan dagunya.
"Ada lagi pertanyaan buat saya, sensei?" ucap Hiro bernada angkuh.
Reaksi itu membuat Pak Guru berkepala botak menggeram. Memalingkan wajah, melanjutkan kembali pelajaran yang tertinggal. Hiro mendengus lega karena memberikan pelajaran pada beliau.