Matanya dan mata hangat itu beradu sama-sama terkejut menyadari keberadaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pernikahan sahabatnya sekaligus pernikahan laki-laki yang sangat dia cintai. Arsen. Dia bisa merasakan ada kabut yang menggelayut di matanya, ada gumpalan air yang memaksa keluar dari sana dan dia butuh menghindar dari tempat itu untuk menumpahkannya. Namun, entah kenapa kakinya tiba-tiba sulit untuk di gerakkan, kepalanya tiba-tiba pusing dan dia hanya bisa berdiri terpaku di tempat. Menyaksikan pemandangan yang sangat menyiksa hatinya, berdiri menyaksikan kenyataan yang tidak pernah di pikirkan sebelumnya. Dia harus mendengarkan janji-janji suci pernikahan yang di ucapkan dia harus melihat laki-laki itu menyematkan cincin pernikahan di jari manis sahabatnya. Dan dia harus melihat laki-laki itu memberikan ciuman pertamanya pada sahabatnya. Dia tidak tahan dengan semua itu. Tidak tahan dengan semua rasa sakit yang mulai menyerang hatinya, tidak tahan untuk segera menumpahkan air matanya. Namun itu pun tidak bisa di lakukannya, air matanya tidak bisa menetes seolah membeku seperti kebekuan hatinya yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa.
Elise begitu panggilannya, gadis itu duduk termenung di kursi ruang tunggu sebuah rumah sakit swasta kota X.
Menatap hampa pada setiap orang yang berlalu lalang. Bau obat yang menyengat, suara troli yang didorong menambah suasana menjadi sedikit berisik. Elise menatap Pintu putih yang tertempel nama seorang dokter. Dokter psikiater yang ia temui hampir satu tahun ini. Beberapa kali ia mencoba bunuh diri, entah itu karena tekanan atau karena dia memang ingin mati yang jelas saat dia melukai dirinya sendiri itu terasa sangat membahagiakan. Terakhir kalinya ia mencoba bunuh diri dengan meminum obat tidur ia ditemukan oleh Taalea Ozora didalam kamar hampir mati over dosis. Karena kejadian itu pula Taalea memintanya untuk pergi konsultasi ke psikiater dan akhirnya disinilah ia, beberapa kali konsultasi dan tidak ada perkembangan.
Dia tidak mengerti kenapa harus terlahir dari keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah tapi tanpa kebahagiaan, jika boleh meminta dia ingin menjadi orang biasa saja. Tapi tuhan maha adil, jika kita bisa memilih untuk hidup seperti keinginan sendiri itu bukan hidup namanya. Siapa yang akan menjalani hidup tanpa ada tantangan. Sudah pasti tidak akan ada yang mau hidup membosankan seperti itu.
Elise merasa tekanan dari ibu tirinya membuatnya tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Setiap hari mereka selalu ingin melakukan hal yang mereka inginkan tanpa memikirkan perasaannya. Hingga akhirnya Elise melarikan diri dari rumah dan tinggal di sebuah rumah kontrakan yang ukurannya sangat kecil.
Elise masih duduk disana di kursi dingin bagi seorang pasien, meskipun ia telah selesai melakukan konsultasi tapi ia masih enggan untuk pergi. Setidaknya suasana rumah sakit mampu membuat hatinya damai dan sadar kalau dia masih bernafas dan hidup.
"Elise kenapa kau masih disini?".
Elise menoleh keasal suara seorang dokter muda dan tampan spesialis jantung menyapanya. Elise tersenyum tipis lalu menunjukkan pada pintu dihadapannya.
"Menunggu atau sudah selesai?".
"Selesai!" Jawab Elise singkat.
Dokter tampan itu mengangguk lalu melihat jam dipergelangan tangannya "Jam kerja ku juga baru selesai! Bagaimana kalau kita pulang bersama!".
Elise mengangguk setidaknya dokter tampan itu selalu ada saat ia membutuhkan sandaran.
"Baiklah! Ayo kita pergi!". Elise berdiri dan memberikan resep obat pada dokter tampan itu dengan wajah bosan. "Kau belum mengambilnya?" Elise menggeleng. Dokter tampan itu tersenyum lembut dan mengusap kepala Elise. Sungguh tindakan kecil itu membuat mata Elise berkaca-kaca "Baiklah! Aku akan pergi mengambilnya kau bisa menungguku di mobil?". Kata dokter muda itu sambil menyerahkan kunci mobilnya.
Karena sudah terbiasa Elise langsung pergi ke parkiran mobil, tempat biasa mobil sidokter tampan terparkir. Elise membuka pintunya menggunakan kunci yang di berikan oleh si dokter, dan masuk kedalam mobil tidak lupa dia juga menyetel lagu kesukaannya, ia duduk bersandar di kursi penumpang di samping pengemudi, hatinya terasa tenang membuatnya sedikit mengantuk akhirnya tertidur.
Di lain tempat.
Rafael Bratajaya Nama sidokter tampan itu menatap beberapa obat yang telah ia ambil keningnya berkerut dan melihatnya satu persatu "Ini tidak baik! Sepertinya kondisi Elise ssemakin memburuk". Rafael terdiam menatap lurus pada mobil yang sedang terparkir dibawah pohon "Apa yang harus aku lakukan, anak itu selalu memendamnya seorang diri, haruskah aku mengirimnya keluar kota untuk berlibur menenangkan pikirannya. Jika dibiarkan seperti ini terus kondisinya.." dokter muda itu tidak mampu menyelesaikan kata-katanya "…Tidak Elise sebaiknya menjauh dari kota ini setidaknya untuk sementara waktu. Tapi kemana tempat yang paling cocok untuknya dan siapa yang bisa pergi menemaninya!" Rafael terdiam berpikir cukup lama hingga bibirnya tersenyum lebar "Benar aku masih memilikinya! Taalea! Sepupu cantikku itu pasti bisa membantunya!".
Rafael mengeluarkan ponselnya dan menelpon sepupunya yang bernama Taalea "Halo Alea! Bagaimana keadaanmu?"
"Baik! Tumben kakak nelpon ada apa?".
"Apa kau ingin pergi liburan!". Tanya Rafael tanpa basa basi.
"Tentu saja! Tumben kakak bertanya ada apa? Tapi aku tidak tahu kemana? Tempat yang biasa sangat membosankan dan aku tidak punya uang!".
Rafael tersenyum masam, sepupunya tidak akan pernah kekurangan uang gadis itu hanya tidak ingin mengeluarkan uangnya. Sangat pelit."Bagus! Aku punya tempat rekomendasi yang mungkin bisa membuatmu tidak bisa melupakan tempat itu! Tapi kau pergi tidak sendiri tapi bersama Elise!".
"Kenapa dengan Elise! Apakah kondisinya semakin buruk?".
Tanya Alea khawatir. "Untuk saat ini mungkin baik-baik saja. Hari ini dia konsultasi dan sepertinya hasilnya tidak baik! Jika dibiarkan Elise mungkin tidak akan sama lagi seperti yang kita kenal! Dan kesehatannya juga semakin menurun! Kalian pergilah kesana lakukan apapun yang kalian inginkan. Mungkin selama disana kondisi Elise akan membaik!".
"Baiklah! Kalau begitu aku akan mengajaknya pergi! Kakak sementara ini jaga dia baik-baik. Dia selalu menyendiri aku takut dia melakukan sesuatu yang buruk lagi. Aku akan langsung kerumahnya dan mengemasi pakaiannya!".
"Oke
Rafael menghela nafas lega dan berjalan menuju mobilnya ketika ia membuka pintu mobil gadis itu sudah tertidur seperti biasa "Kenapa dia tidak pernah waspada sedikitpun!". Bisik Rafael pelan dan masuk ke dalam mobil duduk di belakang kemudi.
Meskipun begitu Rafael menyalakan mobilnya dan pergi meninggalkan parkiran rumah sakit. Setelah ini ia harus mengurus sesuatu agar dua adiknya bisa berlibur dengan tenang.
Melihat wajah tenang Elise yang sedang tertidur mengingatkan Rafael pada Alea dua gadis ini terlahir begitu malang. Berada diantara orang-orang munafik.
***
"Ini.. Apa yang kau lakukan?". Tanya Elise bingung melihat sahabat baiknya mengobrak abrik lemari pakaiannya. Elise hanya diperintah duduk diatas tempat tidur tanpa boleh melakukan apapun.
Taalea menatap wajah Elise yang terlihat pucat dan lelah "Kita perlu liburan! Katakanlah ini pelarian yang direncanakan!"Jawab Alea dengan wajah bahagia. Sedangkan tangan dan kakinya tidak pernah berhenti mondar-mandir dan mengambil barang lalu memasukkannya kedalam koper "Akhirnya selesai!". Ucapnya sambil menghapus keringat di dahi-nya.
Kening Elise berkerut "Liburan kemana? Kita baru saja lulus bukankah sebaiknya kita menulis surat lamaran kerja?".
Alea menggeleng "No! No! No! Dengan kadar level otakmu itu bukan kau yang mengirim surat lamaran tapi mereka yang akan datang mencarimu! Jangan cemas! Jika kau tidak mendapatkan pekerjaan kita bisa kuliah lagi dan membangun kantor notaris sendiri! Bukankah perusahaan bodyguard yang kau bangun cukup berkembang sekarang kenapa kau khawatir tentang pekerjaan. Kau sudah menjadi bosnya!".
Elise menghela nafas berat melihat pola pikir sahabatnya yang serba mudah. Tapi ia tidak ingin repot-repot membantah karena ia yakin semua ini pasti juga telah direncanakan oleh Rafael jadi ia hanya bisa mengikuti.
"Baiklah! Jadi sekarang apa lagi?". Tanya Elise bingung.
Alea menatap penampilan Elise kemudian mengangguk puas "Penampilan mu cukup, sekarang kita pergi kebandara kak Rafael sudah menunggu diluar!".
"Kalian bersaudara memang suka bertindak sesuka hati!". Keluh Elise dan berjalan keluar dari rumah kontrakannya, kadang Alea bingung menghadapi Elise, memiliki banyak harta tapi di kendalikan oleh orang lain. Hingga membuatnya harus tinggal di rumah kontrakan kecil hanya untuk membuat mereka puas.
"Kau juga saudara kami! Jadi kau juga bebas bertindak sesuka hatimu! Sebenarnya tanpa kami kau sendiripun bisa bertindak sesuka hati!". Kekeh Alea dan menyeret Elise masuk kedalam mobil "Beres! Ayo kak kita berangkat!".
Rafael terkekeh melihat tingkah Alea yang tidak pernah peminim sedikitpun.
"Jika kalian sampai disana kirim kabar padaku! Ingat kalian boleh melakukan apapun tapi tetap jaga diri kalian dengan baik!"Kata Rafael seperti para tetua.
Elise mengangguk patuh sedangkan Alea masih dengan karakter cuek dan pembangkangnya.
Tapi Rafael tahu meskipun sifat Alea seperti itu. Alea tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri. Yah, kecuali satu dia pernah mencintai lelaki brengsek.
Satu jam perjalanan akhirnya mereka sampai di bandara, Elise turun dari mobil sambil meregangkan badannya hingga terdengar bunyi berderak dari tulang-tulangnya yang kaku. Sedangkan Alea sedang menyeret dua koper dan berdiri di samping Elise menatap Rafael.
"Baiklah.. Kakak jaga diri baik-baik dan cari kekasih jangan selalu pacaran dengan pisau bedah!"Kata Alea asal sambil menyeret Elise masuk kedalam bandara.
"Eh! Tapi aku belum pamitan dengan kak Rafael!" kata Elise sambil melambaikan tangannya pada Rafael yang ditinggalkan terpaku menatap kepergian dua gadis yang sangat di sayanginya. Lalu seakan sadar dengan kata-kata Alea ia hanya bisa tersenyum pasrah.
****