Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan
SUASANA rimba Sorowua, seperti biasa, begitu lengang. Burung-burung pun seakan-akan enggan bernyanyi kepada alam. Hari sebenarnya sudah menjelang siang, namun karena rimbunnya pepohonan yang demikian rapat dan berlumut, menjadikan keadaan di rimba ini seperti senja saja. Sinar matahari tak mampu menembus langsung ke dalamnya. Kabut-kabut abadi yang bertebaran di seantero rimba membatasi jarak pandang. Batu-batu cadas yang besar-besar dan berlumut bertebaran di mana-mana.
Kondisi yang demikian bukan saja menjadikan suhu di daerah ini begitu dingin, namun juga memberi kesan demikian wingit, angker. Maka tidaklah berlebihan, jika warga desa-desa di sekitar kaki gunung rimba ini menilainya sebagai rimba yang sangat besar uraga (sangat angker dan wingit), sehingga amat jarang orang yang berani memasuki rimba ini seorang diri, baik untuk berburu rusa, mencari sarang sarang tawon madu, maupun untuk mengambil kayu.
Konon, rimba Sorowua dijaga oleh sesosok siluman putih: berjubah putih, berjenggot putih, berkulit putih, serta bermata sipit. Entah dari mana desas-desus ini bermula. Namun yang jelas, desas-desus itu telah terlanjur dipercayai oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kaki gunung itu sebagai sebuah kebenaran, setidaknya sejak lima belas tahun yang lalu. Walhasil, keperawanan rimba pun masih terjaga!
Dalam pada itu, di tengah rimba yang katanya sangat angker tersebut, mendadak sesosok bocah laki-laki berlari dengan demikian ringan dengan kecepatan tinggi, melesat ke arah barat.
Apakah ia juga sesosok siluman selain sesosok siluman yang berjubah putih, berjenggot putih, berkulit putih, serta bermata sipit seperti yang dipercayai oleh masyarakat di sekitar kaki gunung itu?
Entahlah. Namun yang pasti, kondisi rimba yang berkabut dengan pepohonan dan bebatuan yang besar-besar dan rapat di sana sini, sama sekali tidak digubris oleh si bocah yang naga-naganya baru berusia belasan tahun dan berperawakan kekar itu. Ia berlari seperti layaknya di tanah yang lapang dan terbuka. Rupanya si bocah sudah sangat hafal dengan medan rimba. Di kedua belah tangan masing-masing menjinjing seekor kelinci hutan. Rambutnya yang panjang melewati pundak dan terikat semacam kain, masih bisa bebas meriap kebelakang akibat kencangnya larinya.
Ketika tapak kakinya mendekati mulut sebuah jurang panjang sempit namun sangat curam yang menghadang di depannya, si bocah bukannya menghentikan larinya, tetapi...
"Hupp...!!"
Hanya dengan satu gerakan ringan mulut jurang itu pun dilampauinya. Kedua kakinya menapak indah di pinggir jurang yang di seberang. Sesaat si bocah berhenti, menengok ke belakang, ke dalam mulut jurang, dan...
"Hiiih...!!" Seperti ada sesuatu yang lucu, ia pun cekikikan, lalu kembali melanjutkan larinya.
Akan tetapi, belum lagi si bocah jauh dari mulut jurang sempit, mendadak satu kilatan cahaya putih kemilau menderu dahsyat kearahnya.
Wusss...!!
"Eittt...!"
Si bocah melakukan satu gerakan salto yang sangat cepat, melampaui ujung cahaya putih yang sangat mematikan itu.
Dumm...!!
Sebuah bunyi dahsyat terjadi. Cahaya putih kemilau itu menghantam dinding sebuah bebatuan raksasa yang tak jauh dari samping si bocah. Dinding batu cadas itu rontok dalam bentuk serpihan-serpihan kecil yang menghitam.
Bisa dibayangkan, jika serangan cahaya itu mengenai tubuh si bocah, mungkin tubuh si bocah akan berubah menjadi setumpuk abu, yang kemudian lenyap berhamburan dalam sekejap!
Tetapi anehnya, si bocah, yang rupanya bukanlah seorang bocah sembarangan, bukannya menggubris serangan berbahaya itu, apalagi sekedar mengelus dada, justeru dengan cueknya ia kembali cekikikan dan kembali melanjutkan larinya.
Namun, belum lagi beberapa jauh ia berlari, tiba-tiba sebuah bola api raksasa kembali menderu, memburu cepat ke arahnya.
Seolah-olah si bocah tak ambil peduli. Akan tetapi, ketika bola api itu tinggal beberapa meter lagi menghantamnya, tiba-tiba tubuh si bocah seolah-olah menyemplung ke dalam bumi dan bola api menghantam sebatang pohon yang berada di depan hingga tumbang dan terbakar.
Bumm...!!
Sesaat kemudian, tiba-tiba tubuh si bocah muncul kembali ke permukaan. Ia menggeleng-geleng pelan ketika melihat nasib pohon yang terkena bola api barusan, lalu melanjutkan larinya sambil meninggalkan suara cekikikannya.
Akan tetapi, lagi-lagi dari arah sampingnnya satu bola api kembali datang menderu ke arahnya.
Kaget juga si bocah mendapat kiriman bola api maut itu. Ia menghentikan larinya. Sadarlah ia bahwa seseorang tengah mengintainya dan menghendaki nyawanya. Namun ia tidak sempat berpikir tentang siapakah gerangan orang yang hendak mencelakakannya itu, karena bola api demikian cepat melesat ke arahnya. Dan ketika beberapa depa lagi bola api itu akan meluluhlantakkannya, si bocah menghentakkan kakinya, tubuhnya melesat ke atas, sehingga bola api lewat di bawahnya.
Bumm...!!!
Satu ledakan dahsyat yang disertai kepulan asap hitam pekat terjadi. Bola api menghantam permukaan bumi di mana si bocah tadi berdiri. Ketika asap hitam tebal lenyap, maka tampaklah sebuah lubang besar menganga yang menyerupai kawah kecil. Kenyataan itu memberi gambaran, bahwa bola api itu merupakan hasil olah nafas dan tenaga dalam tingkat tinggi dari sang empunya. Kedahsyatannya setingkat di atas serangan pertama berupa cahaya putih kemilau.
"Woiii...!" Teriakan si Bocah membahana. Dengan sikap waspada tinggi, ia mengedarkan pandangannya ke seantero daerah di sekelilingnya. Tapi tak tampak siapa-siapa, kecuali senyap kembali setelah gema suaranya lenyap. "Aku bisa pastikan bahkan engkau bukanlah jin atau henca! Jadi tak perlu bermain petak umpet. Jika ingin bermain-main denganku, maka tampakkan saja wujudmu. Tak perlu sembunyi-sembunyi begitu...!" (Henca = siluman; demit)
Tak ada sahutan, kecuali gema suaranya sendiri.
"Sangat burukkah wajahmu, sehingga kau tak berani menampakkan diri? Ataukah tubuhmu sangat bau...?" Si bocah kembali mencoba menyapa.
Namun lagi-lagi hanya disahuti oleh gema suaranya sendiri. Beberapa lama menunggu, masih juga tak ada tanda-tanda jika sang pengintai dan penyerang ada di sekitar itu.
"Jika kau tidak juga mau menampakkan diri, lebih baik aku melanjutkan perjalananku! Tak ada untungnya bagiku untuk melayani manusia aneh dan jelek sepertimu...!"
Naga-naganya si bocah tak berminat lagi untuk mendengar tanggapan dari si mahluk misterius itu, ia pun melanjutkan larinya.
Akan tetapi, baru beberapa puluh meter ia berlari si bocah, telinganya mendengar suara "krekk...!" dari arah belakangnya. Seperti suara reranting kering yang terpijak. Saat ia menoleh ke belakang...
Wuss...wuss...wuss...!!
Puluhan batang kayu yang rata-rata sebesar paha orang dewasa meluncur deras mengancam tubuh si bocah. Sesaat si bocah terkesiap mendapat ancaman itu.
“Kurang ajar! Rupanya dia benar-benar ingin mengajakku bermain...!”
Si Bocah menjatuhkan begitu saja dua ekor kelinci yang dijinjingnya. Ia tidak mau menganggap enteng terhadap serangan itu. Dengan cepat kedua tangannya disilangkan di depan dada sembari menyedot kekuatan alam dengan satu tarikan nafas. Pada saat puluhan batang kayu itu hanya beberapa depa menghujam tubuhnya, si bocah segera memutar kedua tangannya sedemikian rupa yang disertai teriakan nyaring dan berat yang memekakkan telinga mahluk apa pun yang mendengarkannya.
"Heaaahhh...!"