Melihat kekurangajaran kawanan itu, amarah La Mudu langsung membuncah dalam dadanya. Ia sedikit menunjukkan tubuhnya. Beberapa kerikil di bawah meja makanannya dipunggutnya. Lalu tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan, satu kerikil ia jentikkan, dan seperti diketapel, kerikil sebesar biji kemiri itu langsung menghantam telinga laki-laki yang wajahnya bercodet dan memeluk tubuh Meilin.
Hantaman keras itu tentu saja membuat laki-laki itu sontak menjerit melengking sembari memegang telinganya yang ternyata sudah langsung mengucurkan darah segar.
Laki-laki itu melepaskan tubuh Meilin dari rangkulannya dengan setengah mendorongnya, dan dengan amarah tinggi dia membentak, “Bangsat Jahannam! Siapa yang melakukan ini!”
Tak ada yang mencurigakan, karena orang-orang yang ada dalam ruangan warung itu tengah asyik menikmati makanannnya masing-maisng. Karena tak ada yang menjawab, laki-laki itu meluapkan kekesalannya dengan menghantam meja. Benda yang tak bersalah itu pun hancur berhamburan berikut isinya.
Akan tetapi dia tiba-tiba menjerit lagi sambil merontak-ronta akibat kepalanya kembali dihamtam oleh sebiji batu sebesar telur ayam. Darah segar langsung membasahi pundaknya. Ia benar-benar telah bermandi darah.
Mendapati kenyataan itu, keenam anak buahnya pun sertentak naik pitam. Mereka bertanya siapa yang melakukan tindakan pengecut yang membuat kedua mereka menderita demikian rupa itu. Lagi-lagi tak ada yang menyahut. Karena itu, ketujuhnya pun langsung mengobrak abrik isi warung. Orang-orang yang datang langsung berlarian keluar meninggalkan makanannya maisng-masing, kecuali La Mudu. Bahkan Pendekar Tapak Dewa bersikap cuek saja sambil terus menyelesaikan makanannya. Seolah-olah tak ada peristiwa apa-apa.
“Hei kau! Jangan-jangan kau yang melakukan tindakan yang pengecut ini, heh!” tiba-tiba salah seorang dari ketujuh anggota gerombolan membentak kea rah La Mudu.
Dibentak demikian, La Mudu pura-pura kaget dan berkata, “Dari tadi saya sedang menikmati makanan saya, Tuan. Bagaimana mungkin saya berani melakukan hal seperti itu kepada tuan-tuan ini? Ya bisa jadi yang melakukannya orang dari luar.”
Ketujuh kawanan memandang tajam kepada La Mudu seolah mencari kebohongan di wajah sang pemuda. Namun tiba-tiba laki-laki yang berwajah codet berkata, “Ah, sudahlah. Besok kita akan kembali ke sini untuk mencari tahu. Kita pergi dari tempat ini.”Rupanya laki-laki itu lebih merasa malu dengan kondisinya ketimbang mencari tahu dulu siapa pelaku yang melemparkan dua biji batu itu kepadanya.
Keenam anggota lain tak membantah dan langsung mengikuti ucapakan laki-laki berwajah codet. Namun baru saja mereka hendak keluar dari rumah makan, Baojia mencegahnya dari belakang. “Tuan-tuan belum membayar makanan dan minuman tuan-tuan, termasuk semua peralatan rumah makan saya yang hancur.”
“Hai Baojia, apakah kamu tak melihat kondisi ketua kami, heh! Besok kami akan kembali lagi di sini!”jawab salah seorang dari ketujuh kawanan dengan suara tinggi.
“Haiya, begitu terus ucapan dari dulu. Utang kalian sudah menumpuk. Kalau demikian caranya warung saya bisa tutup, Tuan-Tuan.”
Mendengar ucapan Baojia itu, laki-laki yang berwajah codet yang segang berdarah-darah menoleh ke salah seorang anak buahnya dan berkata, “Goba, rupanya dia ingin diberi pelajaran!”
Laki-laki pendek bertumbuh gempal yang bernama Goba tanpa membuang waktu segera berbalik dan langsung menceram leher Baojia dan mendorongnya dengan keras. Tubuh Baojia terlempar ke belakang dan jaruh di atas balai-balai bambu yang merupakan meja untuk hidangan.
“Ampun Tuan, saya minta maaf, jangan siksa saya,” ucap Baojia sembari memegang lehernya yang terasa sangat sakit.
Ucapan Baojia tak dihiraukan oleh laki-laki yang bernama Goba. Jari jemarinya yang kekar kembali mencengkeram lehernya Baojia. Naga-naganya ia ingin menghabisi nyawa laki-laki bermata sipit itu. Wajah Baojia terlihat sudah memerah dan kencang akibat tak bisa bernafas.
Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba satu tendangan keras menghantam dada laki-laki bernama Goba dari aras samping. Saking kerasnya tendangan itu, tubuh gempal laki-laki berusis sekitar tiga puluhan tahun itu mencelat ke belakang.
Sang penendang itu tak lain adalah La Mudu. La Mudu sangat geram atas perlakukan kawanan yang biadab itu. Dan tendangan itu bukan saja membuat korbannya yang kaget luar biasa tetapi juga keenam kawannya.
Belum sempat menyadari apa yang baru saja menimpanya, tiba-tiba La Goba kembali merasakan cekikan yang kuat pada jakun lehernya lalu disusul dengan tendangan keras lagi di dada. Kembali tubuh laki-laki itiu terlempar ke belakang dan jatuh di depan kaki-kaki keenam kawanannya. Ia mengerang kesakitan yang sangat, dan berkali-kali batuk-batuk yang menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Mendapati kenyataan yang di luar dugaan itu, membuat keenam kawanan lain amat kaget sekaligus geram luar biasa.
“Hei bocah bodoh! Apakah kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa!? ” ucap pimpinan kawanan dengan wajah semakin geram.
Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu mendengus pongah dan menjawab, “Aku tak peduli sedang berhadapan gerombolan iblis sekalipun! Saya hanya minta kalian untuk membayar semua harga makanan dan minuman pada pemilik warung ini, termasuk hutang-hutang kalian, berikut peralatan warung ini yang kalian hancurkan!”
“Cuih!! Siapa kau bocah ingusan yang berani memberi perintah kepada kami!” ucap ketua kawanan yang wajahnya masih berlumuran darah.
“Tidak perlu banyak bacot, Pak Tua! Ikuti saja permintaanku. Jika tidak….”
“Jika tidak…apakah yang akan kau lakukan, anak ingusan?”potong salah seorang dari ketujuh kawanan, lalu disambut oleh tawa derai yang mengejek keenam kawannya.
“Jika tidak, kalau akan menyesalinya sepanjang hidup kalian!” tegas La Mudu.
Ketujuh kawanan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan itu La Mudu itu.
“Hei bocah dungu!” bentak ketua kawanan, “Rupanya kaubenar-benar ingin memperpendek umurmu! Baik!”
Setelah berkata demikian,m ia memberi kode kepada keenam anak buahnya untuk menyerang si pemuda dengan gerakan kepalanya.
Dan tanpa dikomando untuk kedua kalinya mereka segera bersiap untuk melakukan penyerangan kepada La Mudu sembari mencabut golok parang di pinggangnya masing-masing.
“Dasar para sampah dunia! Baiklah, aku akan melayani keinginan kalian!” Seusai berkata demikian, La Mudu meloncat keluar dari dalam warung dan mengajak para calon lawannya untuk bertempur di luar.
Namun belum lagi Pendekar Tapak Dewa sempat mendaratkan kedua kakinya di bumi, keenam lawannya telah menyerbunya sembari mengiblatkan sabetan dan tusukan senjatnya masing-masing yang disertai gerakan tangan dan kaki mereka yang deras ke arahnya.
Akan tetapi, di luar dugaan oleh keenam lawannya, La Mudu segera meyambut serangan gencar itu gerakan menunduk dan memutar yang amat cepat bagai sebuah kitiran. Dan tau-tau keenam tubuh musuhnya terlempar ke belakang oleh tendangan dan pukulan berantainya yang sangat keras dan tepat yang tepat mengenai dada dan rahang mereka. Tubuh keenamnya jatuh tumpang tinding tepat di depan kaki ketua mereka yang berwajah codet berlumuran darah.
Tak habis rasa heran yang disertai rasa sakit yang diderita, ketujuh kawanan teramat kaget ternyata mereka tak memegang senjata lagi dan senjata-senjata mereka telah terkumpul di depan si pemuda. Bahkan saat itu si pemuda sedang menenteng salah satu pedang milik salah satu dari mereka.
La Mudu melangkah maju ke depan ketujuh lawannya, dan sembari menujuk para musuhnya dengan menggunakan pedang di tangannya ia berkata “Sekali lagi aku peringatkan agar kalian bayar makanan minuman dan semua hutang kalian serta untuk mengganti kerugian pemilik warung. Cepat!”
Cuisss! Ketua kawanan meludah. “Jangan dulu sombong, Bocah keparat! Kau harus melawanku dulu!”
Habis berucap demikian, sontak ia melakukan penyerangan kepada La Mudu dengan tebasan pedang yang sangat cepat yang disertai tendangan memutar kaki kanannya yang sangat mematikan.