webnovel

Bab 25. Ikrar Berdarah

Meilin yang mendengar dan menganggap pembicaraan itu adalah pembicaraannya kaum laki-laki, ia pun pamitan untuk masuk ke rumahnya untuk istirahat. Walaupun rumah Baojia tak jauh, tapi La Mudu tetap mengantarnya hingga ke depan pintu rumahnya. Saat kembali, La Mudu mendapati keempat sahabat barunya telah pindah duduk ke sarangge (balai-balai) yang tadi ia duduki dengan Meilin. Lalu mereka pun kembali melanjutkan obrolan mereka tadi mengenai La Afi Sangia.

“Jadi, La Afi Sangia itu sangat kaya?”La Mudu mengulang pertanyaannya.

“Amat kaya!”tandas La Pabise.

“Maaf, saya kan benar-benar anak gunung, Lenga berempat, makanya kabar tentang La Afi Sangia itu sangat sedikit. Saya tak mengira kalau La Afi Sangia itu adalah pemimpin yang benar-benar kaya. Dari manakah beliau mendapartkan harta sebanyak itu?”

“Tentu banyak sumber, Lenga, berasal dari wilayah darat dan laut...,” sahut La Rangga Jo dengan suara yang agak direndahkan. Seolah-olah pemuda itu sangat berhati-hati ketika mengucapkan itu.

“Hm, ya, ya, saya paham,” ucap La Mudu. Yang di maksud oleh La Rangga Jo itu tentu adalah bahwa La Afi Sangia adalah pemimpin bangsa perampok dan perompak. Tentu kekayaan yang dapat dikumpulkan dari dua wilayah itu sudah tak terbayangkan lagi banyaknya, yang terdiri dari emas, perak, dan barang-barang berharga lain.

“Berdasarkan kabar yang beredar, bahwa gaji pajuri-nya La Afi Sangia berkali-kali lipat besarnya dibandingkan dengan gaji pajuri-nya kerajaan mana pun di sekitaran pulau-pulau tenggara ini,” kata La Pabise.

“Luar biasa hebatnya pemimpin Pulau Sangiang itu ya?” ucap La Mudu. Seolah-olah pertanyaan itu tanpa ditunjukan pada siapa pun.

Tapi La Turangga menjawab, “Benar, Lenga. Terutama atas dasar itulah sehingga kami rela mengikuti semua syarat-syaratnya.”

“Hm, maaf, artinya tujuan utama kalian sebenarnya adalah gajinya yang besar itu?” tanya La Mudu lebih lanjut.

Sebagai ketua rombongan dari ketiga temannya, maka La Pabise menjawab, “Tentu saja, Lenga. Tujuan hidup semua manusia tentu tak jauh dari urusan harta.”

La Mudu manggut-manggut. Tentu, kondisi kehidupan masyarakat yang sulitlah yang mendorong keinginan mereka rela mengorbankan masa depannya, pikirnya. Yeah, kondisi hidup yang sulit yang diakibatkan oleh perilaku tak berperikemanusiaan dari La Afi Sangia dan ribuan anak buahnya. Bangsa manusia iblis itu tak segan-segan untuk merampas harta masyarakat secara beringas. Jika ada yang berani melawan, maka tentu nyawa mereka yang akan direnggut. Belum lagi rakyat harus membayar upeti yang merupakan kewajiban pada kerajaan. Maka bisa dipastikan, tak ada seorang pun yang tinggal di negeri-negeri di kepulauan tenggara yang dikatakan sebagai orang kaya.

La Mudu pernah mendengar cerita dari atonya, Dato Hongli, bahwa dulu kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa adalah negeri-negeri yang sangat makmur oleh hasil bumi dan lautnya. Namun setelah muncul gerombolan begundal di bawah pimpinan La Afi Sangia, maka pelan tapi pasti negeri-negeri itu mengalami kesengsaraan dengan semakin kuatnya kelompok La Afi Sangia.

Lalu kemudian mereka pun beroperasi di dua wilayah, yaitu darat untuk merampok dan di laut untuk merompak kapal-kapal dagang yang melintas di kawasan laut tenggara. Dato Hongli juga bercerita, bahwa Desa Tanaru adalah desa yang paling makmur karena sumber pencaharian mereka dari pertanian dan juga laut. Dan kepala desanya, Ompu Mpore (ayahnya La Mudu) adalah salah satu kepala desa yang sangat kaya. Dia memiliki ribuan kerbau ternak, berlumbung-lumbung padi, berpeti-peti harta emas, perak, dan permata, serta memiliki puluhan kapal penangkap ikan.

Dan itu menjadi incaran gerombolan La Afi Sangia. Setelah gerombolan jahat itu besar dan kuat, desa Tanaru pun mereka hancurkan, bumihanguskan, semua harta penduduk dan kepala desanya disita, sebelum penghuninya dibantai secara keji. Ingat kisah yang memilukan itu, amarah pun membuncah dalam dada La Mudu. Namun kemurkaan hatinya itu selalu dapat ia sembunyikan dengan rapi.

“Lalu tujuan utama Lenga Mudu sendiri ikut ke Pulau Sangia, apa?”pertanyaan dari La Turangga itu sedikitnya mengagetkan La Mudu.

“Oh, sebenarnya saya serta-merta saja hendak ke sana dan ingin bersama kalian saja,” jawab La Mudu datar, menyembunyikan tujuan utamanya secara baik. Lalu melanjutkan, “Saya berharap, perkawanan kita akan terus berlanjut hingga kapan pun

“Oh, tentu saja, Lenga Mudu. Bahkan saya sendiri menginginkan kita menjadi lima sekawan yang akrab, tanpa menghianati satu sama lain, bahkan saling menjaga satu sama lain,”tanggap La Pabise dengan tegas dan wajah serius.

“Itu yang saya maksud,” sahut La Mudu, lalu disetujui oleh leempat sahabat barunya hampir bersamaan.

“Jika perlu, kita harus mengikrarkan perkawanan kita dengan sama-sama meneteskan darah di satu wadah lalu kita sama-sama mencicipinya,” usul La Jangga Jo.

“Saya setuju!” tandas La Mudu.

“Saya juga setuju!” ucap La Pabise.

“Saya juga!” tegas La Turangga dan Lewamori hampir bersamaan.

“Baiklah,” ucap La Pabise. “Turangga, kau ambil wadah di atas. Apa saja, pingga atau apa?”

Tanpa membuang waktu, La Turangga pun beranjak lalu naik ke atas rumah. Tak lama kemudian dia membawa sebuah mangkuk kecil yang terbuat dari tembaga. Dan mangkuk itu diletakkan di tengah-tengah mereka duduk.

Saat La Pabise hendak mengiris ujung jari tengahnya dengan belati yang dicabut di pinggangnya, La Mudu langsung menahannya. “Jangan pakai mata belati,” ucapnya.

Lalu ia memegang jari tengah pemuda yang berpostur gempal dan bertubuh coklat itu. Lalu hanya dengan ujung kuku ibu jari tangan kanannya, La Mudu mengiris ujung jari tengah pemuda itu, dan tanpa terasa sakitnya oleh sang pemilik jari, darah mengucur keluar dan ujung jari tengah dan ditampung dalam wadah dari tembaga.

Dan entah dengan cara yang ajaib pula bekas irisan di ujung jari tengah La Pabise diusap oleh La Mudu dengan menggunakan ibu jari tangan kanannya pula. Darah langsung berhenti mengucur. Hal yang sama pun dilakukan oleh Pendekar Tapak Dewa pada ketiga sahabat barunya yang lain.

Dan yang terakhir dilakukannya pada dirinya sendiri. Keempat pemuda saling berpandangan terheran-heran satu sama lain. Maka sadarlah mereka, bahwa pemuda yang belum lama menjadi sahabat mereka itu bukanlah seorang pemuda sembarangan, melainkan seorang pemuda yang berilmu tinggi.

“Silakan,” ucap La Mudu kemudian, “siapa yang meneguk duluan? Oh ya begini, siapa yang terpilih untuk meneguk darah campuran kita ini, maka ia harus dianggap sebagai yang tertua dan sekaligus sebagai pimpinan lima sekawan ini.”

Baik La Pabise, La Turangga, La Rangga Jo, maupun La Lewamori terdiam dengan wajah menunduk. Mereka barusan menyaksikan bagaimana La Mudu telah memperlihatkan sedikit keahliannya, tentu itu sudah memberi isyarat para mereka bahwa ia adalah seorang pemuda yang berilmu tinggi, dan bukan tandingan mereka, tentunya.

Ketika La Mudu hendak kembali mengucapkan sesuatu, dan seperti diberi aba-aba, La Pabise, La Turangga, La Rangga Jo, dan La Lewamori serentak berucap, “Silakan Lenga La Mudu yang lebih dahulu...!”

La Mudu tersenyum ringan. “Baiklah, saya yang lebih dahulu!” Setelah berkata demikian, ia mengangkat mangkuk tembaga yang berisi campuran darah segar ke dekat bibirnya, lalu meneguknya seteguk. Setelah itu mangkuk tembaga itu diserahkannya kepada La Pabise, setelah itu La Pabise menyerahkannya kepada La Turangga, lalu La Turangga menyerahkannya kepada La Rangga Jo, dan terakhir yang meneguk darah segar campuran itu adalah La Lewamori. Kebetulan juga La Lewamori memang yang paling muda di antara mereka. Mungkin belum mencapai usia dua puluh tahun.

Chapitre suivant