Fahira bercerai karena orang ketiga dan mirisnya orang ketiga itu adalah sahabatnya sendiri. Yang paling menyedihkan adalah saat ia tidak bisa bertemu dengan Kamania. Hingga akhirnya akibat kelalaian mertuanya Kamania mengalami kecelakaan dan mengalami kebutaan. Fahira dengan ikhlas merawat putrinya hingga ia bertemu dengan cinta sejatinya dari masa lalu.
"Apa yang sedang kalian lakukan?!" pekik Fahira. Wanita itu benar-benar tidak percaya dengan apa yang saat ini terjadi di depan matanya. Gilang, suami yang sangat ia cintai tengah memeluk dan mencumbu sahabatnya sendiri.
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Gilang sambil bangkit berdiri dan menyeret tangan Fahira. Namun, wanita itu mengentakkan tangan suaminya dan menatap Gilang dengan tajam.
"Aku tidak menyangka kamu tega mengkhianati aku, Mas!" serunya dengan suara bergetar.
"Kita selesaikan di rumah!"
Gilang menyeret tangan Fahira untuk pulang. Saat ini ia sedang berada di kamar kos kekasihnya. Ibunda Gilang memang memiliki usaha rumah kos. Tempat kos milik mereka adalah tempat kos yang terbesar dan memiliki fasilitas paling lengkap di kota Bandung.
Amar, ayah Gilang memiliki usaha property yang kelak pasti akan diwariskan kepada Gilang.
"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengannya, Mas?" cecar Fahira saat mereka sudah berada di kamar.
"Bukan urusanmu, Fa!"
"Bukan urusanku, katamu? Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu, Mas? Aku ini istrimu yang sah! Bahkan kita sudah memiliki Kamania. Apa salahku kepadamu, Mas?"
Gilang mengusap wajahnya dengan kasar. Fahira ia nikahi tiga tahun yang lalu karena wanita itu cantik dan ramah. Ia bekerja sebagai sales perumahan dulu dan kemudian karena ia jujur dan juga cekatan ayah Gilang mengangkatnya menjadi kepala marketing.
Pendidikan Fahira memang tidak tinggi, hanya lulusan SMA. Tapi, ia cukup pintar dan ulet. Itulah sebabnya Amar- ayah Gilang langsung menyetujui hubungan mereka.
"Kamu itu bukan apa-apa dibandingkan Hesti! Dia itu calon sarjana, berpendidikan tinggi dan yang jelas berasal dari keluarga yang terpandang. Sementara kamu ... apa kamu jika kita ini tidak satu level?"
Fahira tersentak, selama mereka menikah baru kali ini Gilang mengungkit masalah pendidikannya. Bahkan dulu ketika ia meminta izin untuk melanjutkan kuliah, Gilang menentang habis-habisan.
"Mas, dulu kamu sendiri yang meminta aku untuk fokus pada Kamania. Kenapa sekarang masalah pendidikanku yang kamu ungkit?"
Gilang mendecih, "Itu karena dulu aku dibutakan oleh cinta. Aku melihatmu begitu cantik, polos dan penurut. Tapi, sekarang aku sadar jika aku tidak bahagia. Lihat dirimu sekarang, lusuh, tidak menarik dilihat, kampungan!"
Dada Fahira terasa sesak, sakit rasanya mendengar penghinaan dari orang yang ia cintai.
"Ak-aku sudah berusaha untuk selalu tampil cantik dan juga selalu melayanimu sebaik-baiknya, Mas."
"Itu saja tidak cukup, Fa!"
"Lalu apa yang kamu mau, Mas? Aku harus apa? Tinggalkan dia, Mas! Kamu tidak kasian pada Kamania? Dia masih sangat kecil, Mas."
Gilang menggelengkan kepalanya, "Tidak!" katanya dengan tegas.
"Aku akah menikahi Hesti dan kamu harus ikhlas."
"Tidak! Aku tidak mengizinkan kamu untuk menikah lagi, Mas!"
"Aku tidak meminta izinmu, Fa. Lagi pula ibuku juga sudah setuju, kok," jawab Gilang.
Mendengar jawaban Gilang, Fahira tersentak seketika. Ibu mertuanya sudah setuju? Ini berarti kehadirannya sudah tidak dianggap. Ah, bukan ... sejak awal pernikahan, hanya ayah mertuanya yang baik dan menerima dengan tangan terbuka.
"Aku tidak mau dimadu, Mas," kata Fahira.
"Silakan angkat kaki dari rumah ini jika kamu tidak mau menerima Hesti sebagai madumu!" seru Gilang. Fahira menatap nanar, ia tidak menyangka Gilang tega mengusirnya.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Mas! Siapa pun juga wanitanya tidak akan ada yang mau dimadu, diduakan. Apa kau sadar jika Hesti adalah sahabatku? Tega kamu menduakan aku dengan sahabatku sendiri!" pekik Fahira.
"Jangan sok, Fahira. Masih bagus aku tidak menceraikan kamu," kata Gilang sambil mencibir.
"Baik, kalau memang kamu tidak menginginkan aku lagi, ucapkan talak dan urus surat cerai kita Mas. Aku akan segera pergi dari rumah ini bersama Kamania."
"TIDAK BISA! KAMU PERGI TAPI TIDAK DENGAN CUCUKU!
Fahira dan Gilang menoleh, pintu kamar mereka terbuka lebar dan bu Endang- ibunda Gilang berjalan masuk.
"Jangan mimpi untuk bisa membawa cucuku! Kalau kamu memang mau pergi, silakan!"
"Tapi, Bu ... Kamania itu anakku. Apa lagi dia masih kecil, sudah seharusnya jika dia ikut bersamaku," kata Fahira.
"Mau kamu kasi makan apa cucuku?!" bentak Endang.
"Ibu benar, kau tidak boleh membawa Nia. Saat ini juga aku talak dirimu, kau bukan istriku lagi, silakan pergi dari rumah ini. Aku akan memberi kabar jika surat cerai kita sudah keluar,"
**
"Jadi, saya boleh bekerja di sini lagi, Ceu?" tanya Fahira dengan bahagia. Ia sedang berada di sebuah konveksi. Sejak ayahnya meninggal dunia, Fahira memang sudah mandiri. Ayahnya meninggal saat ia duduk di bangku kelas 3 SMP.
Ibu Fahira akhirnya bekerja disebuah konveksi yang memproduksi baju-baju rajutan. Sebelum menikah dengan ayah Fahira ia memang bekerja di konveksi. Tetapi, setelah menikah, ia berhenti bekerja dan mengurus Fahira.
Namun, saat Fahira kelas 1 SMA, ibundanya jatuh sakit dan tidak kuat lagi bekerja. Sejak itulah Fahira bekerja sambil sekolah untuk mencukupi kebutuhan mereka. Dan ceu Inayah adalah pemilik konveksi yang sudah kenal baik dengan Fahira.
"Fa, ceu ceu ikut sedih dengan perceraianmu. Kamu tentu saja boleh bekerja di sini lagi. Ibumu itu, sudah bekerja di sini sejak ibu ceu ceu yang mengelola. Kita sudah lama saling kenal, jadi jangan sungkan," kata Ceu Inayah.
"Terima kasih banyak sudah mau bantu saya, Ceu. Saya nggak tau lagi harus meminta bantuan pada siapa," kata Fahira.
Inayah tersenyum dan menepuk bahu Fahira perlahan. "Anggap saja ceu ceu ini kakakmu sendiri, Fa. Oya, kamu kos di mana? Tidak jauh dari sini, kan?"
Fahira menggelengkan kepalanya perlahan, "Fa kos di Binong kulon, Ceu. Jadi, kalau ke sini masih bisa pakai angkutan umum sekali saja. Jalan kaki pun kalau pagi bisa, sambil olahraga," jawabnya.
Konveksi milik Inayah ada di PSM, daerah Kiara Condong, Bandung. Tidak jauh dari Binong, tempat kos Fahira.
"Padahal, di rumah ceu ceu ada kamar kosong. Sayang uangmu, Fa."
"Saya nggak mau bikin Ceu Inay tambah repot. Lagi pula tidak enak sama suami Ceu Inay," jawab Fahira.
Inayah hanya tersenyum, melihat kondisi Fahira ia merasa sangat prihatin. Ibunda Fahira meninggal tepat saat Fahira diterima bekerja selulus SMA. Sejak itu Fahira hidup sebatang kara. Keluarga dari kedua orang tua Fahira tidak tinggal di Bandung. Mereka tinggal di Cirebon, dan Fahira juga tidak terlalu dekat. Jadi, sejak dulu keluarga Inayah-lah yang membantu Fahira sejak ibunya meninggal dunia.
"Padahal, dulu Gilang itu ceu ceu lihat sangat baik dan kelihatannya sayang sekali kepadamu," kata Inayah lagi.
"Entahlah, Ceu. Mungkin apa yang dikatakan Gilang benar, saya nggak level menjadi istrinya. Dia itu anak pengusaha, saya mah apa atuh, Ceu," jawab Inayah dengan sedih.
"Kita tidak tau apa yang akan terjadi besok, roda itu berputar, Fa. Apa yang ditabur itu juga yang dituai. Berdoa saja supaya kamu nanti bisa kembali berkumpul dengan Kamania, anakmu," kata Inayah.
Mendengar nama Kamania disebut, hati Fahira rasanya sakit sekali. Kehilangan Gilang masih bisa ia tahan, tapi kehilangan Kamania membuat Fahira merasa sedikit putus asa. Terlebih ibu mertuanya yang dengan tegas mengancam jika Fahira berani menemui Kamania.
"Kamania itu cucuku, kamu hanya ibu yang melahirkan. Tapi, anakku lebih berhak atas Kamania karena dengan uangnya Kamania bisa hidup enak," kata Endang saat Fahira pergi.