Fahira sedang menemani Kamania belajar, saat pintu terdengar diketuk dari luar. Fahira segera membukanya dan ia hanya bisa menatap tak percaya saat melihat siapa yang datang.
"Bapak, Ibu? Ayo silakan masuk. Maaf kalau berantakan ... saya sekarang bekerja di rumah sambil menjaga Kamania," kata Fahira sedikit canggung
"Tidak apa-apa, Fahira. Bapak kemari mengantarkan Ibu. Sejak kemarin, Ibu ingin bertemu kamu katanya."
Endang dengan sedikit canggung melangkah masuk dan duduk di sofa. Ia menatap cucunya yang sedang duduk memegang buku bacaan dengan huruf braille.
"Nia, ini eyang uti," sapa Endang. Kamania tersenyum manis. Endang langsung memeluk cucunya itu.
"Maafkan Eyang Uti, selama ini eyang yang egois dan bersalah."
Kali ini Endang tak kuasa menahan tangisnya. Runtuh sudah semua tembok kesombongan yang selama ini ia bangun dengan kokoh.
Fahira yang terharu bergegas melangkah menuju dapur untuk membuatkan minuman sekaligus memberikan ruang kepada Ammar dan Endang untuk sejenak bersama Kamania. Di dapur Fahira sibuk meredakan gemuruh di dadanya. Ia tidak menyangka bahwa Endang akan datang dan akan bersikap seperti itu. Benar- benar terlihat seperti bukan Endang. Endang biasanya akan memaki, menyindir dan bersikap tidak bersahabat.
Setelah meredakan gemuruh di dadanya. Fahira menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Setelah merasa sedikit tenang ia pun segera melangkah keluar sambil membawa dua cangkir teh hangat dan bolu pandan buatannya.
"Tidak usah repot-repot, Fahira. Ibu dan Bapak kemari ingin bicara dan menjenguk Kamania, " ujar Endang saat melihat Fahira membawa minuman.
"Hanya teh dan kue bolu saja, Bu. Kebetulan tadi pagi saya membuatnya untuk cemilan Kamania."
Fahira pun meletakkan cangkir dan piring berisi kue itu di meja. Dan ia pun duduk di samping Kamania.
"Ibu dan Bapak sehat?" tanya Fahira berbasa basi untuk mengurangi kecanggungan yang tercipta.
"Ibu sehat, hanya saja ... Fahira, Ibu ingin meminta maaf."
Akhirnya kata ajaib itu terucap juga dari mulut Endang. "Ibu tau, selama ini Ibu banyak melakukan kesalahan. Ibu juga menyesal sudah membiarkan Gilang menyakiti perasaanmu. Ibu tau, seharusnya Ibu tidak mendukungnya saat tau ia selingkuh. Seharusnya, ketika ia mengeluh, Ibu yang membantumu supaya kamu terlihat pantas di mata anak Ibu. Seharusnya Ibu melihat kelebihanmu, bukan hanya kekuranganmu yang ibu lihat, " tutur Endang.
Malam sebelumnya, Endang sudah mengutarakan isi hatinya itu pada Ammar. Percakapannya dengan Tania sedikit membuka pikirannya. Itulah sebabnya ia mengajak Ammar untuk menemaninya menemui Fahira.
“Bu, saya memang pernah merasa sakit hati karena sikap Ibu yang selalu memusuhi saya. Saya sadar jika selama ini saya tidak sempurna sebagai seorang istri dan menantu. Saya juga minta maaf atas semua kesalahan yang saya lakukan dan menyakiti hati ibu,” jawab Fahira.
Endang yang merasa terharu langsung memeluk Fahira dengan erat.
“Tidak, Nak. Ibu yang salah selama ini. Maafkan Ibu,” jawab Endang lirih.
Ammar dan Endang pulang dengan perasaan bahagia. Endang merasa sebagian bebannya hilang. Sementara Ammar bersyukur melihat perubahan istrinya itu. Mereka sudah tua, rasanya tidak pantas jika masa tua mereka dihabiskan untuk membenci orang. Terlebih jika orang itu pernah menjadi bagian dari keluarga.
"Mulai sekarang, Ibu juga kalau menegur Hesti baik- baik , Bu. Masalah keuangan Gilang, ya biarkan saja. Perusahaan itu kan pada akhirnya memang untuk Gilang. "
"Ibu tidak melarang, Pak. Hanya saja ibu merasa kesal karena mereka terlalu boros. Perusahaan itu memang cukup besar, tapi ada karyawan yang bekerja di sana."
“Bagaimana jika kita belikan mereka rumah? Supaya mereka bisa lebih mandiri,” kata Ammar.
"Memang, Bapak ada uang untuk membelikan mereka rumah? "
"Ada, Bu. Ya memang bukan rumah yang mewah. Tapi, cukup untuk mereka berdua. Sudah waktunya Gilang bisa memimpin dan mengelola keuangan dengan baik. Kita kan masih punya rumah kos dan butik juga sawah dan perkebunan bapak di Garut. "
“Betul juga ya Pak. Apa tidak sebaiknya kita sekalian mencarikan mereka rumah hari ini?"
"Besok saja Bu. Sekarang sudah terlalu sore ... sebentar lagi maghrib, pamali Bu kalau kita masih keluyuran."
"Ya sudah, kita pulang saja."
Sesampainya di rumah, Endang mendapati Atun sedang menangis sedih di teras depan. Tentu saja Endang dan Ammar terkejut. Selama Atun bekerja pada mereka, belum pernah sekali pun Atun menangis.
"Loh, kamu kenapa, Tun?" tanya Ammar. Atun yang sedang menunduk sontak mengangkat wajahnya.
"Eh, Ibu, Bapak sudah pulang. Nggak apa-apa kok ," jawab Atun lirih.
"Eh, jangan bohong, kamu itu ikut saya udah lama. Hampir dua puluh tahun. Jadi, kamu nggak bisa bohong sama saya, ada apa?" Endang mendesak.
"Begini, Pak, Bu. Tadi, saya sedang di dapur. Tadi , sebelum Ibu berangkat, Ibu sudah suruh saya masak. Tau- tau, neng Hesti marah- marah melihat menu di meja. Dia bilang bukan level dia makan begituan. Trus, makanannya diberantakin. Saya dimaki- maki. "
"Jadi, makanannya terbuang ?" tanya Ammar mulai kesal.
"Iya, Pak. Habis itu neng Hesti pergi sama den Gilang. Sampai sekarang belum pulang."
"Ya sudah, kamu istirahat saja,Tun. Sudah makan belum?"
"Tadi, saya sudah makan pakai telur, Bu. Tapi, untuk makan malam saya belum masak. Saya takut, kalau neng Hesti pulang duluan, nanti dibanting lagi. Jadi, saya tunggu Ibu. "
"Nggak usah masak, nanti pake layanan Go-Resto aja, Tun. Kamu, istirahat aja. Mau nonton atau yang lain terserahlah. Nanti, masalah si Hesti biar Ibu sama Bapak yang urus. Nanti malam, kita delivery order saja, " Ammar memutuskan. Ia merasa tidak tega juga melihat Atun sampai terlihat syok.
Bik Atun, bekerja sudah 20 tahun lebih. Dulu, suami dan anaknya meninggal dunia. Dan Bik Atun akhirnya hidup sebatang kara. Karena kasihan, Endang pun memberi pekerjaan. Dan, meski Endang sedikit judes dan suka nyinyir pada menantu. Tapi, dia selalu bersikap baik pada Atun. Dia tidak pernah membedakan makanan untuk Atun.
"Sepertinya, usul Bapak tadi sudah terbaik , Pak. Kita suruh mereka pindah sajalah. Kasian Atun sampai pucat, pias begitu. Selama ini, Ibu tidak pernah kasar sama dia, apa lagi sampai lempar dan banting makanan. "
"Besok, Bapak akan urus semua Bu. Ibu tenang saja."
"Kita tunggu mereka pulang. Ibu mau tau, apa yang akan mereka katakan sebagai alasan. Kita pura- pura saja tidak tau."