webnovel

PERTENGKARAN

Seperti janjinya, Ammar membelikan Gilang sebuah rumah. Sebuah rumah di perumahan elite yang cukup besar. Lengkap dengan furniture dan barang-barang lain.

Ammar merasa tidak rugi mengeluarkan uang agak banyak untuk Gilang dan Hesti. Tidak mengapa, ini adalah bantuan terakhir yang bisa dia berikan kepada putra tunggalnya itu. Sebab, jika mereka sudah pindah nanti, Gilang benar-benar harus mandiri.

Sementara itu, sejak Ammar memutuskan untuk mereka pindah, Hesti jarang keluar kamar. Makan pun ia mau delivery lewat aplikasi. Sama sekali tidak mau makan masakan yang ada. Endang sebetulnya kesal dengan tingkah Hesti, dalam hati ia sudah geregetan ingin mengomel. Namun ia tahan. Jika sudah begitu, Endang akan mengobrol dengan anak- anak kos atau bik Atun.

Ammar pun tidak mau menegur kelakuan menantunya itu. "Biarkan saja mereka menikmati. Sebentar lagi, mereka baru akan menjalani hidup yang sebenarnya." Ammar berkata pada Endang setiap kali sang istri mengadukan kelakuan menantunya itu.

"Kamu pesan makanan online lagi?” tegur Gilang pada Hesti.

"Iya, aku nggak selera makan masakan yang ada. Lagi pengen makan seblak sama rujak."

"Dari pada kamu beli, suruh bi Atun yang buat. Lebih higienis kan."

"Nggak mau ,aku maunya beli. Buatan bik Atun mana enak. Lagi pula, jangan pelit lah sama istri. "

"Terserah kamu ajalah ... atur gimana enaknya. Nanti malam, bapak mau bicara. Nggak tau apa yang mau dibicarakan. Inget, di depan Ibu jangan seperti tempo hari lagi. Kamu harus bersikap lebih baik."

"Iya ... iya. Aduh, kenapa Mas jadi ikutan bawel seperti ibu, sih!"

"Eeeh, kamu ini kalau dikasi tau ya! Selama ini, aku selalu sabar sama kamu!Jangan sampai aku hilang kesabaran menghadapimu!" seru Gilang emosi.

Untuk pertama kalinya, seumur hidup Gilang membentak perempuan. Dulu, ketika masih bersama Fahira, ia tidak pernah sekalipun membentak Fahira. Baru kali ini ia merasa begitu emosi.

Hesti tersentak seketika. Baru pertama kali ia melihat Gilang semarah itu. Biasanya ia selalu bersikap lemah lembut merayu- rayu.

"Mas, tega ya ... membentakku begitu!" Hesti bukannya mengalah, malah ia dengan sengaja melawan.

Tak kuasa menahan emosi, Gilang menampar Hesti. Hesti yang tidak siap menerima tamparan Gilang terguncang kebelakang. Untung saja, ia terjatuh ke atas kasur. Namun, posisi jatuh Hesti menekan perutnya, sehingga ia langsung menjerit kesakitan.

Ammar dan Endang yang sedang berada di ruang tengah mendengar jeritan Hesti bergegas menggedor pintu kamar Gilang. Gilang yang sedikit panik bergegas membuka pintu kamarnya.

"Ada apa ini?" tanya Endang dengan panik. Ia melihat Hesti sudah kesakitan, bahkan ada rembesan dari pangkal pahanya.

"Bawa ke Rumah Sakit, cepat!" Perintah Ammar.

Gilang segera menggendong Hesti dan membawanya ke mobil diikuti Ammar dan Endang.

"Bik Atun, jaga rumah ... saya mau ke Rumah Sakit !" Teriak Endang pada Bik Atun yang sedang berbenah di dapur. " Iyaa Bu!" Atun menjawab sambil tergopoh-gopoh berlari ke ruang depan untuk menutup pintu.

Sesampainya di Rumah Sakit, Hesti langsung ditangani dokter sementara Gilang bergegas mengurus administrasi.

"Kenapa lagi mereka itu, bertengkar kok sampai begitu!” gerutu Endang.

"Sudahlah, Bu. Tenang dulu, kita tunggu bagaimana kata dokter saja."

Tak lama, dokter yang menangani Hesti keluar dan menghampiri Ammar dan Endang .

"Maaf, apakah Bapak dan Ibu kerabatnya Ibu Hesti?"

"Kami mertuanya, Dokter. Bagaimana menantu kami?"

"Ketubannya sudah pecah. Tetapi, kondisi tidak memungkinkan untuk Ibu Hesti bisa bersalin secara normal. Jadi, kami meminta persetujuan dari Bapak dan Ibu untuk melakukan tindakan Cesar. Apakah Bapak dan Ibu setuju?"

"Lakukan saja, Dokter. Yang penting menantu dan cucu kami selamat," jawab Endang.

"Baiklah, kalau begitu kami akan segera menyiapkan semuanya, ya."

Gilang hanya bisa diam saat Ibu dan Bapaknya menyampaikan perkataan Dokter.

"Kamu apakan istri kamu itu?" tanya Ammar

"Saya kesal ... jadi saya tampar. Mungkin saya terlalu keras menampar, Hesti terjungkal ke belakang. Untungnya jatuh di atas kasur," jelas Gilang. Amar menatap sang putra dengan tatapan penuh kemarahan.

"Siapa yang sudah mengajarimu main tangan begitu? Apa kamu pernah liat Bapak kasar sama Ibu? Kamu ... ini yang pertama dan terakhir kamu bersikap begitu!"

"Saya kesal, Pak. Dia terlalu berani, tidak bisa dinasehati baik- baik," kilah Gilang membela diri.

"Pilihanmu, kan? Sudahlah ... kamu telepon keluarga Hesti. Katakan jika Hesti melahirkan."

Gilang hanya mengangguk dan segera berlalu.

Ammar hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan putranya itu.

"Kelakuannya masih seperti anak TK." Ammar menggerutu. Endang menghela napas panjang.

"Ini semua salah Ibu. Ibu yang terlalu memanjakan dia, Pak. Ibu tidak tau kalau jadinya akan begini. Ibu menyesal, harusnya sejak dulu Ibu mengikuti nasihat Bapak untuk tidak terlalu memanjakan dia," kata Endang dengan lirih.

"Ya, sudahlah. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, Bu. Sekarang bagaimana cara kita untuk membuat bubur itu menjadi enak dimakan. Intinya jangan menyalahkan siapa-siapa. Sudah harusnya begini. Kita lihat saja nanti setelah mereka punya anak dan tinggal sendiri. Ingat ya, Bu. Jangan dibantu. Nanti mereka pulang ke rumah mereka saja. Tidak apa kita carikan pembantu. Tapi, biar mereka bayar sendiri . Bapak tidak mau, mereka nantinya merepotkan Ibu. Harus tega sekarang ini sama mereka."

Bersambung

Next chapter