webnovel

KALO DI DEPAN NAMANYA DAFTAR

.

"Kamu ini ... sudah diberi kode jangan melawan, eeh malah kamu sengaja berteriak pada ibu. Ibu itu kalau sudah marah pasti begitu. Kamu diam saja,nanti juga reda sendiri."

Gilang mulai menegur istrinya itu. Namun, Hesti hanya mencebikkan bibirnya.

"Ya ... habis aku emosi. Ibu membandingkan aku dengan Fahira. Jelas aku dan dia itu berbeda. Lagi pula yang aku minta bukan rumah mewah atau mobil yang harganya ratusan juta."

"Ya sudah, lain kali kalau ibu marah, jangan dijawab seperti tadi. Untung bapak tadi cepat masuk, kalau bukan bapak mana mau ibu dengar," kata Gilang.

Hesti hanya terdiam mendengar kan perkataan suaminya. Tunggu saja sampai aku bisa menguasai rumah ini nanti, ucap Hesti dalam hati.

Sementara itu , Endang duduk terpekur di teras depan rumahnya. Ia memandangi deretan kamar- kamar kos. Halaman rumahnya begitu luas. Jika ia ingin menambah 5 atau 6 kamar kos lagi pasti cukup. Endang ingat betul perjuangannya dan Ammar untuk berada di posisi sekarang ini. Ammar hanyalah seorang pedagang sembako kecil- kecilan ketika mereka baru menikah. Rumah mereka juga bukan rumah yang besar seperti sekarang. Namun, Ammar adalah seorang yang ulet dan jujur. Ia bekerja keras setiap hari.

Dari uang yang mereka sisihkan, Ammar berhasil membangun perusahaan yang kini mereka miliki. Saat ada yang menjual tanah dengan harga murah, Ammar membelinya dan secara bertahap mereka membangun rumah mereka yang sekarang. Karena memang lahannya cukup besar, Ammar memutuskan untuk membangun kamar- kamar kos. Lalu, setelah rumah mereka selesai. Rumah lama berikut toko sembako mereka jual . Hasilnya penjualannya mereka depositokan sebagian. Dan, sebagian lagi mereka belikan perabotan untuk mengisi rumah mereka yang baru dan juga kamar- kamar kos.

Tadinya hanya ada 8 kamar kos. Karena penuh, dan banyak yang mencari Ammar membangun lagi 4 kamar kos. Sampai hari ini, mereka bisa hidup enak dari kamar kos itu.

Endang menghela napas berulang-ulang. Seandainya saja sejak dulu ia mendengar ucapan suaminya untuk tidak terlalu memanjakan Gilang. Mungkin, tidak akan begini kejadiannya.

"Kenapa Bu Haji, kok melamun sendiri ?"

Endang tersentak dari lamunannya. Seorang gadis cantik sedang berdiri di hadapannya. Ternyata Tania, salah seorang anak kos.

"Eh, kenapa neng? Iya, Ibu lagi kesel. Ayo sini duduk," kata Endang dengan ramah.

"Iya, Bu terima kasih. Ini loh Bu, Nia mau bayar uang kos. Buat dua bulan supaya bulan depan tenang. Kebetulan ada rezeki sedikit."

"Tania kerja di mana sih? Ibu perhatikan nggak pernah keluar kamar, tapi dapet uang terus. Eh, ini maaf ya, kalau ibu bertanya seperti ini. "

Tania tertawa kecil. Pertanyaan yang sudah biasa ia dapatkan.

"Saya nggak kerja , Bu. Tapi, Ibu bisa jaga rahasia ya," katanya.

Endang buru- buru mengangguk. Ia penasaran juga dengan pekerjaan Tania. Tania ini anak kos yang paling cantik dan paling santun, tapi paling tertutup. Sehari- hari hanya di kamar menonton televisi. Mau makan tinggal pesan dari aplikasi online. Keluar pun hanya sesekali saja.

"Ibu bisa jaga rahasia, kok. Neng Nia bisa percaya sama ibu," Kata Endang.

"Saya ini istri muda orang, Bu. Suami saya pengusaha batubara di Kalimantan. Hanya sesekali saja dia ke Bandung. Sebenarnya, saya punya rumah di Jakarta. Sudah atas nama saya. Tapi, setahun lalu, istri pertama suami datang, saya dilabrak. Jadi, saya memutuskan untuk mengontrakkan rumah itu pada orang lain. Dan saya memilih kos saja. Untung saja rumah itu sudah atas nama saya. Dan sertifikat saya yang pegang juga. Jadi, dia nggak bisa ambil begitu saja." Tania bercerita dengan wajah yang murung.

"Kok mau jadi istri kedua? Neng kan cantik ... eh, maaf ib-"

"Nggak apa-apa, Bu. Saya tadinya tidak tahu, Bu. Saya dulu bertemu di Jakarta, waktu itu saya masih bekerja. Kebetulan, Ibu saya sakit keras. Dan pengobatannya ditanggung suami saya itu, Bu. Karena saya terharu dengan kebaikannya, ketika dia mengajak saya menikah saya bersedia. Saya meminta rumah sebagai mas kawin saya. Karena, saya dan Ibu kan hanya berdua saja. Dia memberikannya. Tapi, baru saja setahun kami menikah, tiba- tiba saya dilabrak istri tuanya. Sampai Ibu saya meninggal karena serangan jantung, akibat perbuatan istri pertama suami saya. Akhirnya, saya kontrakkan. Itu sebabnya saya jarang keluar. Suami saya juga tidak berani kemari, karena takut saya dilabrak lagi. "

"Kenapa tidak minta cerai saja?"

"Dia tidak mau menceraikan saya, Bu. Dan waktu itu saya menikah resmi di KUA,Bu. Bukan siri. Dua kali dalam sebulan, dia datang ke Jakarta. Biasanya menginap di Hotel, baru saya ke sana untuk menemuinya. Sebenarnya, saya lelah juga Bu. Saya ingin bercerai, tapi dia tidak mau mengabulkan permintaan saya. "

Endang menatap Tania penuh rasa kasihan.

"Jadi, Neng ini sudah yatim piatu?"

"Ayah saya pergi meninggalkan Ibu saya karena wanita lain. Itulah sebenarnya yang membuat saya sedih, Bu. Saya membenci pelakor, tapi saya malah menjadi pelakor. Ibu saya meninggal karena merasa kecewa pada saya." Tania mulai terisak-isak. Endang yang merasa bingung harus berbuat apa, hanya menepuk- nepuk punggung tangan Tania dengan lembut.

"Maaf ya, Bu. Saya malah curhat," kata Tania sambil menghapus air matanya.

"Nggak apa-apa , Neng. Ibu juga seneng kalau neng percaya sama Ibu. Ibu nggak punya anak perempuan. Kelakuan Gilang ya liat aja begitu. Semenjak nikah lagi, Ibu makin pusing. "

"Kenapa memang sama Gilang, Bu? Pekerjaan nya lancar, kan?"

"Pekerjaan sih, Ibu lihat lancar. Istrinya itu yang bikin Ibu kesal."

"Kenapa memang sama si teteh, Bu?"

"Itu, terlalu matre. Ibu sih, nggak melarang dia mau beli barang-barang baru. Ibu juga memang ada rencana mau beli. Tapi, kenapa harus yang mahal segala. Kan yang biasa aja ada. Yang menengah lah, maksud Ibu. Belum lagi dalam waktu bersamaan minta beli perhiasan juga. Bisa kan, besok-besok lagi. Gilang itu, nggak pernah bisa menghargai uang. Dia nggak pernah tahu hidup susah. Terkadang, Ibu menyesal sudah membiarkan dia selingkuh dulu. Padahal, Fahira itu baik. Hanya saja penampilannya sedikit kampungan. Coba Ibu dulu dandanin dia. Kalau sudah begini, Ibu rasanya menjadi orang yang paling bertanggung jawab. Ibu salah mendidik anak. Tania, kalau kamu berkenan, kamu mau jadi anak angkat Ibu?"

Tania melongo, ia tidak menyangka Endang akan berkata seperti itu. Ia memang kehilangan sosok seorang Ibu. Dan, ia ingin sekali memilik Ibu. Seandainya ada toko yang menjual Ibu, ia ingin sekali membelinya. Air mata Tania seketika kembali menetes.

"Ibu serius?"

"Iya, ibu serius. Mulai sekarang, kamu nggak usah bayar Kos lagi. Udah kamu tinggal aja. Ibu kan Ibu kamu, masa anak sendiri kasi uang sewa. Kalau bisa, memang kamu mau cerai, Ibu bantu. Kamu bisa kerja aja di Bandung. Kamu masih muda, mumpung belum punya anak ."

Seketika itu juga Tania menghambur memeluk Endang. " Makasih banyak , Bu. Saya akan anggap Ibu seperti Ibu saya sendiri. Ibu juga jangan sungkan, kalau ada apa- apa suruh aja saya. Makasih ya Bu."

Endang tersenyum haru. Ia memeluk Tania. Semoga, keputusannya kali ini tidak salah.

Bersambung

Next chapter