Leonard Fidel Christiano, si pemburu berdarah dingin terbiasa mematahkan hati banyak wanita hanya dengan satu kedipan mata. Nyatanya, dikalahkan oleh pemilik siluet abu – abu yang telah berhasil memporak – porandakan Dunia-nya. Pertemuan singkat namun sangat berkesan membuatnya bertekuk lutut. Sialnya, masa kelam Calista memenjarakannya diantara mawar berduri. Menyeretnya memasuki kehidupan penuh pesakitan. Perjalanan cinta yang tak mudah membuat Leonard harus merelakan perusahaannya demi menyelamatkan Calista dari cengkeraman Jozh. Ditengah usahanya, Casandra-mantan kekasih Leonard-datang sebagai pengacau. Casandra punya seribu cara untuk menyingkirkan Calista dari hidupnya. Sanggupkah Leonard menyelamatkan Calista? Sanggupkah Leonard merengkuh kembali cintanya? Sanggupkah Leonard memeluk wanita pujaannya? So, ikuti terus perjalanan cinta Calista dan Leonard yang di warnai dengan derai air mata. HAPPY READING!! Warning 21+
London 05.00
Calista sedang berdiri di balkon dengan menatap kosong hamparan tanaman. Berkali – kali air mata jatuh membasahi pipi namun sama sekali tak di hiraukan. Jemarinya terulur mengusap perut yang masih rata. Ingin rasanya menghilang dari Dunia ini akan tetapi untuk saat ini ada janin yang tumbuh dalam rahimnya.
Kandungan Calista memasuki usia 1 bulan namun keadaan tidak semakin membaik karena dari awal pernikahan Calista tidak di perlakukan selayaknya istri oleh suaminya. Biduk rumah tangga terus menghantam dan penyebabnya adalah campur tangan sang mertua.
Jozh dengan kasar memperlakukan Calista hingga berani membawa perempuan lain sebut saja Lana hadir di antara mereka. Baik Jozh atau pun keluarga besarnya tidak ada yang mengetahui tentang kehamilan Calista. Sudah sewajarnya sebagai wanita hamil sering kali mual dan muntah dan hal itulah yang di rasakan Calista saat ini.
"Calista kamu sakit?" Laurent bertanya dengan rasa khawatir. Selama 3 tahun tinggal bersama baru hari ini Laurent merasa peduli pada Calista. Selama ini Lurent sangat membenci Calista. Kebencian yang mengakar tanpa Calista tahu apa penyebabnya.
"Calista apa kamu sakit?" Tanyanya sekali lagi.
Tanpa menjawab hanya menggeleng kemudian berlari lagi ke dalam kamar mandi, kembali di muntahkannya cairan putih. Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman tentu saja Laurent tahu bahwa saat ini Calista sedang hamil. Jemarinya terulur memutar tubuh ringkih Calista, menelisik ke dalam wajah pucat mencari kebenaran di sana.
"Calista, kamu … "
Tak kuasa di tatap penuh intimidasi membuat bibir Calista bergetar. Tak ingin menjelaskan apapun Calista segera melenggang dari sana namun baru beberapa langkah di hentikan oleh Laurent.
"Tunggu Calista!"
Tanpa mau menoleh pada sang mertua, Calista menjelaskan bahwa ia ingin beristirahat. Akan tetapi kalimat yang baru saja keluar dari bibir Laurent mampu meruntuhkan dinding pertahanan Calista. Memutar tubuhnya perlahan dengan berlinang air mata.
"Jadi benar kamu hamil?"
Tanpa menjawab hanya menundukkan wajah. Pundaknya bergetar coba menahan isak tangis. Tak kuasa melihatnya, Laurent pun langsung memeluknya erat. Entah kenapa setelah mendapati kenyataan bahwa kini ada janin yang tumbuh dalam rahim Calista, kenyataan tersebut mampu menyentuh hati Laurent. Hati yang telah di selimuti kebencian selama bertahun – tahun lamanya.
"Maafin Mom, Calista ... " Tanpa terasa air mata turun membasahi pipi. Hatinya seketika di terpa penyesalan mendalam sudah menyia – nyiakan menantu yang sangat menyayanginya meskipun selalu mendapatkan perlakuan buruk. Selain itu pengorbanan Calista sangat besar. Demi memajukan perusahaan Jozh, ia rela bekerja keras sementara lelaki yang menjadi suaminya tersebut dengan seenak jidat berselingkuh dengan Lana.
Rasa mual kembali menyergap sehingga berlari kembali ke kamar mandi, kembali di muntahkannya cairan putih hingga tubuhnya lemas. Setelah di rasa lebih baik Calista segera menjauh dari kamar mandi dan alangkah terkejutnya mendapati mertuanya masih ada di dalam kamarnya.
Menyadari tatapan tak suka terpancar dari sorot mata Calista tak membuat Laurent mau menjauh, justru memilih duduk di sebelah Calista sembari menggenggam erat tangannya.
"Mom akan berbicara dengan Jozh."
"Tidak mom, Jozh tidak perlu tahu kehamilanku."
"Tapi Calista."
Menghujani Laurent dengan tatapan tajam. "Jozh tidak perlu tahu karena hal itu tak akan merubah apapun."
"Apa maksudmu tidak merubah apapun Calista? Mom akan minta Jozh untuk meninggalkan Lana." Maafkan Mom, Mom yang sudah membuat Jozh meninggalkanmu dan memilih Lana. Apa yang harus Mom lakukan sekarang? Lana juga sedang hamil. Apa ini adil untuk Lana?
"Meninggalkan Lana?" Mengulas semyum sinis sebelum kembali berucap. "Jadi Mom ingin Jozh lari dari tanggung jawab? Seperti yang Mom lakukan padaku?"
"Mom tahu, Mom salah. Mom ingin memperbaiki semuanya."
"Tapi tidak dengan mengorbankan dan menyakiti hati perempuan lain Mom." Nada suara Calista sedikit meninggi karena ia tak habis pikir, wanita yang sangat di hormatinya ini bisa berkata demikian.
"Calista dengarkan penjelasan Mom dulu."
"Cukup! Calista sedang ingin sendiri. Tolong Mom keluar."
"Calista kamu harus dengarkan Mom. Jozh ayah dari anak yang kamu kandung jadi dia harus tahu."
"Cukup Mom! Calista tidak mau dengar apapun lagi jadi tolong keluar dari kamar Calista, sekarang!" Jari telunjuk Calista mengarah pada pintu. Akhirnya dengan langkah gontai meninggalkan kamar Calista.
Setelah kepergian Laurent langsung mengunci pintunya. Tangis Calista pecah hingga tubuhnya bergetar. Tak ada kekuatan yang bisa menopang beban tubuhnya hingga akhirnya luruh menyatu dengan dinginnya lantai.
Air mata terus saja mengaliri pipi mulus hingga kedua matanya bengkak. Sebelum kehamilannya terbongkar, segala sesuatunya bisa dengan mudah di kendalikan, akan tetapi untuk sekarang semuanya terasa semakin sulit. Lana juga sedang mengandung anak Jozh dan kehamilannya sudah memasuki bulan ke - 4.
Meskipun sangat membenci wanita itu akan tetapi Calista tak pernah bisa mengabaikan janin yang ada dalam kandungan Lana begitu saja. Bagaimana pun janin tersebut darah daging Jozh. Mengingat Lana hanya mencipta rasa sakit, karena sejak kehadiran perempuan itulah awal kehancurannya di mulai.
Perempuan itu telah berhasil merenggut kebahagiaan dan juga kehidupan Calista membuatnya tak pernah bisa tidur nyenyak. Seperti sekarang ini ketika arah jarum jam baru mengarah ke angka 03 dini hari barulah rasa kantuk itu datang menyergap. Di saat hampir saja menggapai alam mimpi, terdengar suara ketukan di pintu.
"Calista buka pintunya! Calista … Calista." Panggil Jozh berulang kali. Mendapati pintu masih menutup rapat dan tak ada tanda – tanda akan di buka, Jozh mengumpat kesal sembari menendang pintunya berulang kali.
--
2 hari ini Calista mengurung diri di kamar. Apakah Calista menyesali kehamilannya? Tentu saja tidak. Akan tetapi satu hal yang membuatnya dilema kenapa harus datang di saat yang tidak tepat. Tak ada pilihan lain akhirnya Calista meminta Lenata supaya menjemputnya siang ini juga.
"Memangnya apa yang terjadi? Hei, ada apa ini kenapa kamu menangis? Calista, jawab aku!"
"Tidak ada apa – apa Len. Nanti akan ku ceritakan setelah kita ketemu." Setelah itu langsung memutus sambungan telepon.
Tak berselang lama Lenata sudah sampai di mansion Laurent karena jarak yang tak begitu jauh. Kedatangannya pun sama sekali tak di sambut baik oleh Laurent, akan tetapi Lenata sama sekali tak memedulikan sikap wanita yang tak lagi muda tersebut.
Mendapati Calista menuruni tangga, Laurent, langsung bergegas menghampiri. Akan tetapi Calista sama sekali tak menghiraukannya.
"Ayo Len!"
"Tunggu Calista!"
Kepergian Calista pun langsung di hentikan oleh Laurent. Mertuanya itu bertanya – tanya kemana Calista akan pergi? Kenapa tidak membawa apapun kecuali baju yang melekat di tubuh.
"Apa kamu akan menginap di apartement Lenata?"
"Tidak."
"Terus?"
"Calista mau kembali ke Indonesia."
Laurent pun sangat terkejut dengan yang baru saja mengusik pendengarannya. Bagaikan di hantam petir di siang bolong itulah yang Laurent rasakan saat ini. Ia tak pernah menyangka bahwa menantunya akan mengambil sikap sejauh ini. Satu hal yang di pikirkannya bagaimana cara menghadapi ayah Calista, Bramantara Kafeel.
"Jika Mom peduli dengan Calista tolong biarkan Calista pergi meraih kebahagiaan Calista bersama calon buah hati dan jangan pernah mencari atau pun datang menemui Calista dengan alasan apapun," ucap Calista tanpa mau menatap Laurent. Setelah itu langsung melenggang dari sana.
"Calista tunggu!"
Tanpa melihat pun Calista tahu bahwa saat ini Laurent sedang menangis. Namun untuk apa? Semuanya sudah terlambat, hidup Calista sudah hancur semenjak menginjakkan kaki di mansion ini.
Jemari Laurent terulur meraih pundak Calista lalu memutarnya perlahan. "Calista … Mom … " tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya yang di lakukan Laurent hanya memeluk kemudian mengecup puncak kepala Calista untuk pertama kalinya. Meskipun hal inilah yang di inginkan Laurent dari dulu akan tetapi entah kenapa kepergian Calista ini menyisakan kesedihan mendalam terlebih pada janin yang ada dalam kandungan.
"Pergilah Calista, Mom tidak akan menghalangi." Maafkan Mom, Calista karena terus meracuni pikiran Jozh supaya membencimu dan memilih bersama Lana, Mom memang tidak pernah menginginkanmu tetapi keadaan berubah setelah tau bahwa Lana hanya mengincar harta Jozh sebagai pewaris tunggal.
Seolah tahu yang di pikirkan oleh Laurent, jemari Calista terulur menyentuh pundaknya sembari berucap. "Semua sudah terlambat bagaimana pun keadaannya terima saja Lana dan jangan mengulang kesalahan seperti di masa lalu, permisi."
Tak ingin lagi terlibat pembicaraan dengan wanita tua yang telah berhasil menghancurkan hidupnya, Calista memilih segera meninggalkan mansion yang menyisakan kenangan pahit.
Sepanjang perjalanan menuju apartement Lenata tak henti – hentinya air mata terus mengaliri muaranya. Sementara Lenata hanya meliriknya sekilas sembari terus melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Melihat penampilan Calista saat ini sungguh membuat miris hati. Calista yang dulu terkenal fashionable kini tak lagi melekat dalam diri. Rambut tak tertata rapi, bawah mata menghitam, wajah kusam dan yang paling mengerikan sorot matanya yang tak lagi menyilau indah. Penuh beban berat dan juga luka mendalam.
"Hapus air mata mu! Aku tak mau orang – orang melihatmu dan menuduh bahwa aku yang sudah-"
"Ada siapa saja di apartement mu?" Potong Calista.
"Tentu saja sendiri. Memangnya kau pikir aku tinggal dengan siapa, huh?"
"Teman mungkin."
"Dengar ya Calista! Meskipun aku lama tinggal di London tapi adat ketimuran masih melekat kuat dalam diriku. Bisa – bisanya kau berfikir seperti itu tentangku." Geram Lenata.
"Maksudku siapa tahu kau tinggal dengan teman – temanmu yang dari Indonesia. Bukan berarti laki – laki Lenata."
Malu, itulah yang Lenata rasakan sehingga langsung mengalihkan topik pembicaraan kemudian menyerahkan tiket penerbangan ke tangan Calista.
"Istirahat lah dan jangan lagi menangis. Dengarkan aku Calista, wanita hamil itu harus bahagia! Kasihan janin dalam kandunganmu." Setelah itu meninggalkan Calista sendirian di kamar. Lenata langsung menghubungi keluarganya yang ada di Indonesia supaya menjemput di bandara.