"Oh iya besok kan weekend bagaimana kalau kita jalan berempat?" Ajak Matius.
"Maaf Matius, saya sudah ada janji," jawab Calista.
"Kalau kamu Leo?"
"Sepertinya aku juga sudah ada janji, nanti ku kabari."
"Palingan juga janjian sama-" kalimat Kiara terpotong setelah mendapat tatapan tajam penuh peringatan, setelah itu beralih pada Calista, Leonard takut Calista salah paham.
"Hei, Leo, kenapa kau menatap Calista seperti itu? Jangan bilang kalau kau … "
"Diam kau!"
Tak ingin terlibat dalam permbicaraan yang menurutnya sama sekali tak penting. Calista segera berpamitan untuk kembali ke ruangannya.
"Buru – buru amat sih Calis masih ada waktu 30 menit lagi kok. Ntar aja balik ke kantor, jarang – jarang juga kan kamu mau bersantai di sini."
"Maaf Kia, saya harus mempersiapkan meeting dengan divisi CFO. Besok kita sambung lagi yah," sambil menepuk pelan pundak Kiara.
"Oh iya aku juga banyak pekerjaan yang harus segera ku selesaikan. Kalau gitu kita bareng ke bawah, ayo!" sambung Matius.
Shit, kurang ajar. Awas saja kau Matius. Geram Leonard yang sudah di bakar api cemburu.
"Oh ya Calis, tunggu!" Panggil Kiara sehingga Calista kembali memutar tubuhnya. Kini posisinya berdiri tepat di sebelah kursi yang di duduki oleh Leonard. Jemari Leonard terulur mengaitkan jemarinya di antara jemari Calista dan tentu saja hal tersebut membuat sang pemilik terperenyak.
Tatapan Calista menajam pada Leonard akan tetapi yang di tatap sama sekali tak mengindahkan. Dan ketika berusaha melepaskan genggaman justru genggaman pada jemarinya terasa semakin erat. Tak ingin yang lain menaruh curiga Calista berusaha bersikap biasa – biasa saja.
Selesai berbincang dengan Kiara, Matius segera mengajaknya ke lantai bawah. Akhirnya dengan berat hati Leonard pun melepaskan genggamannya. Dan hal itu sempat mengundang rasa curiga Kiara. Sementara Leonard bersikap acuh seolah tak terjadi apa – apa.
Pagi – pagi sekali Leonard sudah sampai di kantor dan menunggu di ruangan Calista dengan menyandarkan kepala pada sandaran sofa, kedua mata terpejam dengan menyilangkan tangan ke depan dada.
Tanpa menyadari kehadiran Leonard, Calista pun tampak santai merapikan riasan. Memang seperti itulah kebiasaan Calista sebelum bercengkrama dengan pekerjaan. Tanpa Calista sadari ada sepasang mata yang terus menatapnya intens sedari tadi.
"Ehm jadi seperti ini kebiasaaanmu setiap pagi, hum?" Calista di kejutkan dengan suara bariton yang sudah tidak asing mengusik pendengarannya. Lalu melayangkan tatapan tajam. "Leo, apa yang kamu lakukan di ruangan saya sepagi ini, hah?"
"Tentu saja menunggumu."
"Sekarang aku sudah datang apa yang ingin kau bicarakan? Memangnya hal penting apa sampai – sampai kau harus menungguiku di ruanganku"
"Tidak ada hal penting yang ingin ku bicarakan denganmu."
"Apa?"
"Iya Calista sayang, tidak ada. Aku sangat merindukanmu. Semalam aku tak bisa tidur nyenyak jadi, ku putuskan berangkat lebih pagi. Tapi, sambutanmu pagi ini membuatku sedikit kecewa."
"Memangnya kau ingin aku menyambutmu seperti apa? Ini di kantor Leo bersikaplah professional. Kesampingkan dulu urusan pribadi."
"Beri aku satu ciuman."
"Leo!" Bentak Calista.
"Ayolah sayang. Aku tidak bisa konsentrasi kerja kalau belum dapat jatahku pagi ini," rajuk Leonard sambil terus melangkahkan kaki mendekati meja kebesaran Calista. Menyandarkan bokongnya pada dinding meja, jemarinya terulur meraih dagu Calista. Dan ketika tatapannya terpaku pada bibir ranum, Leonard di buat tak tahan untuk segera menyatukan bibirnya.
"Jangan menatapku seperti itu Calista sayang."
"Kenapa?"
"Apa kamu tahu siluet abu – abu mu itu mengganggu konsentrasiku," ucapnya sambil mendekatkan wajahnya yang langsung di dorong oleh Calista. "Leo, please. Bersikap professional dan kembali ke ruanganmu."
"Tapi aku masih merindukanmu. Dan satu hal lagi aku tak suka melihatmu dekat – dekat dengan Matius."
"Aku bebas dekat dengan siapa pun. Kau bukan siapa – siapa ku jadi jangan coba – coba mengaturku!"
"Jadi kau menganggap tidak terjadi hubungan spesial diantara kita?"
"Memang tidak kan?"
"Jadi kau melupakan begitu saja ciuman kita waktu itu?"
"Leo Please ciuman itu sama sekali tak berarti apa – apa. Aku sedang tidak ingin terikat ke dalam sebuah hubungan."
"Benarkah? Tapi kau sangat menikmati ciuman kita waktu itu."
"Leo please!" Bentak Calista.
Kenapa Calista? Aku tahu kau juga memiliki perasaan sama tapi kenapa kau terus saja menyangkalnya. Leonard membatin dengan tatapan mata tak pernah lepas dari wajah cantik Calista dan di tatap seperti itu tentu saja membuat Calista merasa sedih.
Maafkan aku Leo, aku tahu aku tak bisa membohongi perasaan ini, tapi aku belum siap memulai hubungan, aku takut tersakiti lagi.
"Ku mohon keluarlah dari ruanganku, keberadaanmu di sini menggangguku!"
"Benarkah aku mengganggumu Calista?"
"Iya Leo," geram Calista.
"Okay, okay kalau gitu aku akan pindah di sofa dan silahkan kamu lanjutkan pekerjaanmu."
"Tetap saja itu mengganggu." Dengan kamu di ruanganku itu mengganggu konsentrasiku Leo.
Leonard pun langsung berjalan mendekati Calista. Jemarinya terulur meraih dagu sehingga tatapan keduanya saling bertemu.
Kau bisa saja berbohong sebanyak yang kau mau Calista, tapi tatapan matamu tak bisa membohongiku. Ada cinta di matamu.
Tatapan hangat penuh cinta dari sepasang manik hitam telah menghipnotis Calista sehingga ia diam saja ketika kecupan lembut mulai mampir di sepanjang kening, kedua mata, hidung dan juga bibir. Awalnya hanya ingin menggoda Calista saja, akan tetapi hasrat dalam diri meminta lebih. Tak dapat terelakkan keduanya tenggelam dalam ciuman yang sangat memabukkan.
"Apa kau akan tetap menyangkal bahwa kau tak memiliki perasaan lebih untukku?" Ucap Leonard di sela – sela ciuman. Sadar akan yang Leonard katakan ia segera mendorong dada bidang, memberi jarak di antara keduanya.
"Kau boleh saja menyangkal adanya perasaan itu Calista, tapi lihatlah! Tubuhmu berkata lain. Tubuhmu merindu sentuhanku."
"Cukup Leo!"
"Semakin kau menyangkalnya perasaan itu akan semakin terlihat jelas Calista sayang."
Calista pun langsung memejamkan mata sejenak coba meredam amarah yang bergejolak dalam jiwa. Antara rasa marah dan juga malu menyergapnya secara bersamaan.
"Keluar dari ruanganku sekarang juga! Kalau tidak-"
"Kalau tidak apa sayang?"
"Maka aku akan mengusirmu secara paksa!"
"Tak masalah asalkan dengan ciuman."
"Kau!" Geram Calista.
"Kau sangat menikmati ciuman kita barusan baby," goda Leonard sembari mengedipkan sebelah mata menggoda. Malu, itulah yang Calista rasakan. Seketika pipinya merona dan Leonard semakin di buat gemas karenanya. Jemarinya terulur mengusap lembut pipi Calista kemudian melayangkan kecupan di kening sebelum beranjak meninggalkan ruangan.
"Oh iya siang ini kita makan siang di luar dan untuk kali ini aku tidak mau dengar kau melupakan janji denganku, ingat itu sayang!" Ucapnya sebelum tubuh kekarnya menghilang di balik pintu.
Calista langsung mengulas senyum geli dengan tingkah Leonard. Entah kenapa ia bisa terlena dengan lelaki yang tanpa aturan tersebut, lelaki yang sangat ia benci, lelaki yang dengan mati – matian selalu ia hindari.
Seketika hatinya menghangat akan tetapi Calista langsung menyangkal adanya perasaan itu. Masa lalunya yang kelam dan juga sepak terjang Leonard telah membuatnya takut untuk membuka lembaran baru. Akan tetapi Leonard tak menyerah, lelaki itu masih saja berusaha meyakinkannya hingga benteng kokoh tersebut perlahan – perlahan mulai dapat di hancurkan.
Hati – hati Calista, jangan sampai kamu jadi korban selanjutnya. Dewi dalam hatinya berbisik lembut. Tak ingin terus – menerus berperang dengan diri sendiri segera menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan. Terlalu fokus bekerja sampai – sampai tak menyadari arah jarum jam yang sudah mengarah ke jam makan siang.