Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"
"Hah~"
Gerimis masih setia membasahi hampir setengah kota. Rintik tipis menjadi irama merdu menemani sore yang manis. Manis untuk pasangan yang tengah asik bergandengan, merangkul mesra, bahkan berciuman di balik payung mereka.
"Hah~" sekali lagi menghela nafas sembari menatapi beberapa pasangan di bawah sana. Berjalan beriringan menyusuri lapangan yang becek. Pemuda bersurai hitam masih betah menatap dari balik jendela lantai 2. Dimana dirinya tengah terduduk dihadapan kertas-kertas foto yang berserakan.
"Hah~"
"Astaga berhentilah menghela nafas di depanku ! kau membuang kesialan padaku !" Oceh pemuda berambut gondrong. Tak ada rasa penyesalan karena ia sedikit melupakan keberadaan temannya itu.
"Mereka enak sekali yah, punya pasangan seperti itu" si pria gondrong mengikuti arah pandang temannya. Tampak beberapa pasang orang tengah menunjukan kemesraan mereka di bawah rintik hujan.
"Bukan kah kau juga punya pasangan Simon ?" Pemuda yang di panggil Simon hanya tersenyum hampa. Ia lalu kembali fokus pada kamera di depannya. Melihat-lihat potret dirinya yang bisa dibilang bagus—ralat—sangat memukau.
"Bagiku semua sama saja.." ujar Simon pelan. si pria gondrong ikutan menghela nafas. Sedikit prihatin padahal ia sendiri sudah menjomblo bertahun-tahun. Harusnya ia yang di kasihani.
"lalu kenapa kau masih diam disini, pulang sana" usir pemuda gondrong tadi merebut kamera digenggaman tangan Simon. "jangan membuat aura di sekitar ku menghitam"
Simon terkekeh, temannya itu sangat mudah di goda. "kau harusnya berterima kasih karena aku telah menemani mu" Simon meraih satu lembar foto lainnya. Tercetak gambaran dirinya tengah duduk di pojok kelas tersirami cahaya yang masuk dari jendela yang terbuka.
"menyedihkan sekali" gumam Simon samar.
"BABE~ AYO PULANG BERSAMA"
Seruan wanita dari pintu ruangan membuat keduanya sontak menoleh. Gadis cantik dengan rambut ikal yang di chat ungu. Tersenyum melambai ke arah salah satu di antara mereka.
"haish... kapan seorang putri menjemputku ?" gerutu si pemuda gondrong. Itu berarti dirinya di tinggal sendiri di ruangan ini tanpa ada seseorang yang menemani. Miris.
"kalau begitu, kau saja yang menjemput tuan putri mu sendiri Jacob" Simon berdiri seraya menepuk bahu temannya dan berlalu menghampiri wanitanya.
"kita mampir dulu ke kafe yah" si wanita langsung bergelayut manja di lengan Simon. Walau begitu pemuda itu hanya tersenyum singkat tanpa ekspresi berarti.
"terserah mu saja"
"aishh.. menggelikan sekali mereka, aku juga mau" Jacob menggerutu kesal melihat pemandangan dua orang yang menghilang di balik pintu.
"maaf aku lama, dosen menyebalkan itu selalu saja memperlama jam pulang" gadis itu mendumel kesal. Mengadu bagaimana ia menahan kesal saat berhadapan dengan dosennya.
"tidak apa, lagipula aku juga senang menunggu kok" Simon tersenyum manis sembari mengelus lembut surai gadisnya.
Emily lippington—gadis yang sudah ia kencani selama 4 bulan. Sebuah rekor terlama ia berpacaran. Biasanya hanya bertahan satu sampai dua bulan saja. Namun tak jarang hanya satu minggu.
Bukan dia yang di tinggalkan, justru ia lah yang mencampakkan para gadis itu. Ia tak pernah bisa serius dalam sebuah hubungan. Simon tahu, sangat tahu dan ia mencoba bertahan. Mencoba membalas perasaan gadis yang menjadi pasangannya.
Tubuh putih dan semulus porselen, serta wajah yang terbilang manis mampu membuat banyak gadis terjerat pesona Simon. Bahkan saat ia masih duduk di kelas 5 sekolah dasar. Simon telah berhubungan dengan wanita yang lebih tua darinya. Seorang guru les piano yang seumuran dengan ibunya sendiri.
"kau mau pesan apa ?" Pertanyaan Emily menyadarkan Simon dari lamunannya. Pemuda itu lantas tersenyum sebelum menjawab.
"terserah padamu saja"
"baik kalau begitu, 2 black forest, 1 frappuccino dan 1 esspreso" ujar gadis itu pada pelayan yang mencatat pesanan di sebelahnya. Pelayan itu kembali mengulang pesanan mereka dan Emily mengangguk mengiyakan. Sedangkan Simon sibuk menatap mobil yang berlalu lalang.
Gerimis masih setia di luar sana. Mendung seperti perasaanya. Simon sendiri tak yakin dengan apa yang ia lakukan, bukankah ini sama saja membodohi dirinya sendiri ?
Tak butuh waktu lama hingga pesanan mereka sampai. Emily gadis yang sangat baik melihat bagaimana ia berterima kasih dan memberikan tip pada pelayan itu. Harusnya Simon beruntung mendapatkan gadis itu, harusnya ia bahagia.
Simon hanya mengangguk dan tersenyum sebagai balasan dari setiap topik perbincangan mereka. Hanya Emily yang asik berceloteh ria sedangkan ia sibuk menatap pesanan didepannya.
Ia tak suka minuman kopi sebenarnya, apalagi yang sangat pahit seperti ini. Namun Simon terlalu pengecut bahkan untuk memilih apa yang ia suka. Ia tak enak hati pada pilihan Emily. Beruntung Black forest menyelamatkannya dari rasa pahit yang kini memenuhi mulutnya.
"ugh babe~ sorry aku lupa akan mengerjakan laporan bersama temanku" Wajah Emily tampak sangat bersalah. Ia membuat Simon menunggu hanya untuk di tinggalkan.
"tidak apa.. ku antar yah—"
"tidak usah" Simon menatap heran pada Emily. Di luar masih hujan dan ia lihat gadis itu tak membawa payung sama sekali.
"Jeffrey akan menjemput ku" Ada nada khawatir dari perkataan Emily.
"Jeffrey ?"
"Aku sekelompok dengannya" Emily menunduk takut takut akan bagaimana respon Simon terhadapnya. "Kita hanya mengerjakan tugas tak lebih"
Simon tersenyum dan mengelus rambut Emily lembut. "pergilah.. tugasmu lebih penting".
Emily memeluknya erat sembari tak henti mengucapkan maafnya. Gadis itu sedikit berlari keluar dari cafe, menuju pelataran parkir dimana Simon dapat melihatnya masuk ke dalam mobil sport merah.
Pemuda berambut hitam pekat menatap tanpa ekspresi ke dalam genangan kopi dihadapannya. Pantulan dirinya seakan mengolok keadaannya sekarang. Haruskah ia merasa sedih atau senang ?
Ia tak marah terhadap Emily yang berlalu meninggalkannya. Bahkan dirinya saja tak tahu apakah ia memiliki perasaan yang serius terhadap Emily ? ia hanya mengikuti instingnya.
"halo Carroll.. bisa kita bertemu ?"
Hujan tak terasa manis lagi sekarang. Rasanya seperti tetesan air yang dingin membasahi kulit. Embun tipis tercipta dari balik jendela kaca, satu satunya sekat yang memisahkan Simon dengan dunia luar.
Pemuda itu menutup telfonnya setelah mendapatkan jawaban dari orang di seberang sana. Ia bergegas membenahi barangnya dan bangkit dari kursi.
'PRAAANG !!'
Semuanya terjadi sangat cepat. Terlalu cepat untuk Simon cerna. Pemuda tinggi di hadapannya berkali-kali meminta maaf ketika tak sengaja bertabrakan dengannya. Minuman yang ada di tangan pemuda tinggi itu sukses mengenai baju bagian depan Simon. Dingin, Simon tebak pemuda itu memilih segelas minuman es di hari yang dingin ini. Cukup aneh, tapi beruntung bukan hot coffee karena bisa saja ia akan melepuh ketika tersiram minuman itu.
Pemuda itu membungkukkan tubuhnya berkali-kali, meminta maaf. Simon hanya menepuk bahu pemuda itu dan berlalu.
"maafkan aku maafkan aku.."
Bahkan suara pemuda itu masih terdengar ketika ia keluar dari caffe.
Rintik hujan membasahi tubuhnya yang tak tertutup payung. Simon berjalan pelan ke mobilnya terparkir, sengaja agar tubuhnya basah kuyup.
Setidaknya ia punya alasan untuk bermalam di rumah wanita yang tadi ia telepon.