webnovel

Be Here For You

Auteur: Erina_Yufida
LGBT+
Actuel · 493.2K Affichage
  • 385 Shc
    Contenu
  • 5.0
    46 audimat
  • NO.200+
    SOUTIEN
Synopsis

Devan yang seorang gay harus terusir dari keluarga karena itu. Bertahun- tahun memendam jati diri, pria remaja itu malah dikhianati oleh sang kekasih. Ketika remaja itu hampir putus asa karena pengkhianatan yang juga melibatkan anggota keluarga terdekat, secara tiba- tiba ia dipertemukan dengan pria bertatto yang nampak menyeramkan dengan gaya pakaian dan botol alkohol di tangannya. Devan tak pernah menyangka, hidup barunya yang secara penuh ditanggung pria bernama Mike itu akan merubah keseluruhan dirinya. Tampang menyeramkan dengan seringnya Mike bergaul dengan preman jalanan nyatanya tak merubah kepribadian baik pria dewasa itu. Mike bahkan selalu berusaha mengupayakan yang terbaik untuknya hingga memasukkannya ke sekolah elite. Semua peristiwa yang diciptakan oleh Mike pun nyatanya membuat Devan perlahan jatuh hati. Namun Devan berusaha meredamnya karena kesadaran diri dan lagipula Mike pria normal. Dan banyaknya tokoh baru yang seiring berjalannya waktu terus memaksa keduanya untuk jujur pada diri masing- masing.

Étiquettes
3 étiquettes
Chapter 1"Kau bisa lari dengan cepat?"

Devan terus saja mengayunkan kaki meski langkahnya terlihat terseok-seok. Nafasnya terlihat tak beraturan dengan sesekali tangannya mengepal erat menahan rasa sakit di perut. Asam lambungnya naik hingga membuat mulutnya terasa pahit dan hampir saja memuntahkan makanannya tadi pagi. Udara malam yang semakin dingin membuat tubuhnya semakin bergetar. Ia tak tau harus kemana, tak punya tujuan. Hari makin larut membuat jalanan bertambah lenggang. Ia takut sekarang.

"Sepertinya doamu terkabul kan Lis?! Aku begitu menderita hingga ingin mati rasanya," lirih Devan dengan air mata yang perlahan menuruni pipi tirusnya. Isakan itupun perlahan terdengar saat sakitnya tak mampu ia tahan lagi. Tubuhnya bertambah lemas hingga membuatnya limbung dan terjatuh di dinginnya aspal jalanan. Tangannya kini memukul-mukul kepala melampiaskan rasa amarah yang begitu memuncak. Masalah berat menimpanya secara tiba-tiba. Hidup damainya menjadi jungkir balik tak karuan. Jujur saja ia belum siap, belum siap menanggung beban seberat ini di balik mental lemahnya.

"Hey, bocah! Kau sedang tidak kerasukan, kan?!"

Sayup-sayup remaja tersebut mendengar suara bariton di balik isakannya. Kepalanya perlahan terangkat dengan menghapus air mata menggunakan ujung baju miliknya. Dihadapannya kini menjulang tinggi sosok pria yang mengenakan kaos tipis hitam pudar dipadukan dengan celana jins yang terlihat robek di beberapa bagian. Lengan kirinya tampak dipenuhi tatoo yang membuat Devan sedikit bergidik ngeri. "Dia bukan orang jahat, kan?" pikir Devan dengan wajah berubah cemas.

"Tidak kusangka, memang seorang bocah ya?"

Pria dewasa itu terkekeh pelan menatap bocah pria yang dengan polosnya mengusap ingus di baju bagian kerahnya hingga membuat air bening itu belepotan di sekitar hidungnya. Wajah ketakutan sekilas terlihat juga oleh pria dewasa itu.

Kernyitan di dahi remaja itu muncul. Bocah katanya? Sekuat tenaga ia berdiri namun sepertinya memang tenaganya begitu terkuras hingga membuatnya limbung. Ia bersiap merasakan kerasnya aspal jalanan sampai sebuah tangan merengkuh pinggang rampingnya. Matanya perlahan terbuka dan langsung berhadapan dengan dada bidang yang entah mengapa terlihat begitu menggiurkan untuk dijadikan tempat bersandar.

"Maaf," ucapnya dengan suara serak karena dehidrasi. Ia perlahan menjauh dari rengkuhan pria itu setelah sadar dari khayalannya.

"Hem, kenapa bocah sepertimu berkeliaran tengah malam seperti ini?" tanya pria dewasa itu. Ia secara tiba-tiba merasa prihatin dengan wajah bocah yang terlihat lelah dengan bekas air mata yang meninggalkan jejak kemerahan pada mata dan pucuk hidung lancipnya.

"Aku bukan bocah, umurku sudah 17 tahun!" balas Devan dengan nada agak sengit, tak terima dianggap masih anak-anak.

"Benarkah? Meski begitu tak baik berkeliaran sendiri di waktu tengah malam begini kan? Apa kau tak lihat, tempat ini sepi dan gelap?" nasehat pria itu membuat Devan memutar bola mata kesal. Apa bedanya dengan pria itu, mereka sama-sama sudah dewasakan? Belagak menasehati, tapi dia sendiri bertindak sama bersalahnya! Sebutan untuk orang seperti itu, cocoknya apa?

"Sedang tidak punya tujuan," sahutnya Devan pada akhirnya. Ia sedang tidak ingin berbasa-basi di balik kepusingannya memikirkan tempat sementara untuk tidur malam ini.

"Kabur dari rumah? Percayalah, kau akan bertambah masalah kalau berkeliaran malam-malam begini, jadi pulanglah!" ucap pria bertatto itu dengan ragu. Entah mengapa niat jahat yang sedari tadi ia rencanakan hilang begitu saja saat tatapan sendu itu bersinggungan dengan mata tajamnya. Hatinya seperti berdesir aneh, tapi pria itu sadar rasanya begitu menenangkan.

"Tidak bisa," balas Devan dengan menunduk lesu, sedang bibirnya mengerucut lucu. Devan yang semula bersikap sok pemberani menjadi lemas ketika mendengar kata "pulang" Pulang kemana, ia tak akan pernah lagi menggunakan kata itu!

Tingkahnya tak pernah lepas dari pandangan pria dewasa itu, tanpa sadar ia tersenyum lebar begitu merasa gemas dengan remaja yang ada di hadapannya, terlepas dari ingus maupun bekas lelehan air mata. Ia berusaha menahan tangan nakalnya yang begitu ingin menyingkirkan rambut poni yang hampir menutupi mata sendu yang menatapnya memelas. Secara keseluruhan bocah itu nampak begitu manis dan polos.

"Kau hanya tidak tau kehidupan malam seperti ini sungguh berbahaya untukmu. Dan sebelum mereka merusakmu!" ucap pria tersebut dengan melanjutkan dalam hati kata-kata terakhirnya. Hatinya seperti tak rela jika pria mungil di hadapannya ini terluka. 'Shit! Kenapa ia terlihat gay sekali?!'

"Sepertinya kau banyak tanya ya paman?! Sial!" umpat remaja tersebut saat sakit di tubuhnya bertambah parah. Dan untuk kedua kalinya ia didekap oleh pria tubuh tinggi itu.

"Tsk… tak baik mengumpat, boy!" peringatnya dengan tangan yang secara inisiatif bergerak dengan seduktif mengelus pinggang ramping remaja tersebut. Pria itu begitu menikmati kenyamanan dalam dekapannya pada remaja pendek yang hanya mencapai batas lehernya itu. Aroma manis menyeruak kala udara malam menyapu rambut halusnya.

"Aku mencintaimu Dev," dengungan suara yang begitu jelas berputar di memorinya. Tangan besar itu secara erat memerangkap tubuh kecilnya. Hembusan nafas yang begitu menderu menatap lekat kearahnya. Bayangan itu kini semakin jelas hingga membuat tubuh remaja tersebut seketika terjebak dalam dua dimensi berbeda.

"Brengsek! Aku tak butuh bantuanmu, pergilah!" makinya dengan menghempas kasar tangan besar yang lancang menyentuhnya. Ia takut, tubuhnya bergetar semakin hebat. Bayangan sentuhan pria itu terasa sama dengan pria asing dihadapannya ini. Tak mau kejadian buruk terulang kembali, ia harus segera menjauh.

"Jadi mau kemana?" tahan pria dewasa itu dengan meremas tangan milik Devan. Bisa gawat kalau bocah ini dihabisi oleh para berandal yang sayangnya ia termasuk dalam salah satunya.

"Bukan urusanmu paman!" balas pria bertubuh mungil tersebut dengan berusaha melepas tautan tangan yang sial nya begitu erat menggenggamnya.

"Ku rasa aku tidak setua itu. Tapi aku sungguh-sungguh memperingatkanmu, disini daerah berbahaya. Bahkan sedari tadi kau sudah dimata-matai oleh gerombolan pemabuk disana," ucapnya dengan menunjuk segerombolan pemuda yang tengah meminum minuman keras. Devan menggigil ngeri saat menyadari tatapan sekelompok pemabuk itu terarah ke dirinya. Tawa cekikikan yang dengan jelas terdengar walau jarak mereka yang terbilang cukup jauh membuat tangannya mengepal waspada.

"Bicara dirimu sendiri?" balas Devan sarkasme. Bagaimana tidak, bicara buruk tentang orang lain sedangkan dia malah membawa satu botol minuman yang ia yakini sebagai alkohol. Mereka sama saja kan?

"Oh? Meskipun begitu aku berbeda. Kau tidak lihat aku yang tampan begini malah disamakan dengan pemabuk jalanan seperti itu," belanya dengan meringis canggung. Tangannya membuang botol yang masih tersisa se per empat tersebut. Botol kaca itu pecah berhamburan dan alkohol itu mengalir habis kejalanan.

"Terserah kau mau bilang apa, tapi yang jelas sekarang aku sedang tidak ingin berdebat dengan orang asing seperti mu."

"Percaya saja padaku ya... Mereka itu pria-pria brengsek, kau akan terluka nanti," Dan untuk kedua kalinya pria bertatto itu mengumpati dirinya sendiri. Jangan-jangan ia tertarik dengan pria polos di depannya ini?!

"Aku kan juga pria, apa yang harus aku takutkan?"

"Kau memang begitu polos, ya? Kalau mereka mabuk memangnya bisa berfikir, lagi pula tubuhmu….seperti wanita. Begitu indah," ucap pria jangkun tersebut tanpa tahu malu menyusuri tubuh mungil dari ujung kepala hingga ujung kaki. Desiran aneh kini memerangkap tubuhnya, udara malam yang perlahan menyusup ke daerah sensitive miliknya malah membuatnya semakin parah. Ini karena pengaruh alkohol kan? Ya, pasti karena alkohol!

"Apa kau bilang? Kau fikir aku-"

"Mike!"

Suara Devan terhenti saat suara lain menyelanya. Langkah kaki yang terdengar bergantian mendekat ke arah mereka dengan langkah yang terlihat sempoyongan.

"Mike? Apakah itu namamu? Kau gerombolan mereka, dan akan berbuat jahat padaku?" pria bertubuh mungil itu sudah tak bisa berkutik lagi. Apalagi dengan tangan besar yang kini tanpa sadar telah melingkup lengannya dengan kasar.

"Kau bisa lari dengan cepat?"

"Heh? Maksudmu…"

"Ah…kau sedang sakit. Naik ke punggungku sekarang!"

Kejadian itu begitu cepat hingga tanpa disadari, Devan kini sudah bertengger di punggung tegak dengan tangan yang menyusup diantara lekukan kakinya. Tangannya secara naluriah tersampir di leher pria asing itu. Devan sudah tak mau berfikir lagi kenapa pria ini begitu ingin menolongnya. Matanya kini malah terpejam, kepalanya tertunduk nyaman di bahu tegap di hadapannya. Hembusan nafasnya kini terdengar beraturan. Biarlah ia jadi orang bodoh saat ini. Orang mabuk mana bisa dipercayakan? Tapi ia tak bisa memungkiri, aroma jantan ditambah cengkraman tangan yang terasa begitu melindungi membuat ia memejamkan mata. Nyaman.

"Mike kenapa kau bawa lari dia? Itu bagian kami sekarang, Mike!"

Vous aimerez aussi

Are You Straight Or Not?

21+ Alasan Marcus jarang pulang ke rumah sangat sederhana, yaitu dia seorang yang pembohong. Ketika tekanan hidup yang mengharuskan dia untuk menikahi kekasih masa kecilnya, hal itu menjadi terlalu sangat rumit baginya. Dia mengatakan kepada keluarganya bahwa dia adalah seorang gay dan Marcus kemudian melarikan diri ke luar kota. Lima tahun kemudian, setelah pertemuan dalam keadaan mabuk, Marcus mendapati dirinya diundang ke sebuah pernikahan gay. Dan Marcus harus membawa pacarnya, sedangkan pacarnya tidak ada karena dia mengaku straight. Setidaknya, marcus berpikiran demikian. Bertemu dengan pria yang dia suap untuk menjadi pacarnya di akhir pekan membuat Marcus mempertanyakan segala hal mengenai dirinya sendiri. * * * Ketika kakak David memintanya untuk berpura-pura menjadi pacar seorang pria straight, respon otomatis David adalah mengatakan kata tidak. Itu karena orang-orang tidak percaya ketika seseorang memberitahu mereka bahwa David adalah gay. Tapi Marcus punya sesuatu yang David butuhkan. Setelah cedera yang membuat David kehilangan karir bisbolnya, dia mencoba untuk meninggalkan hari-hari bermain dan fokus untuk menjadi agen olahraga terbaik yang dia bisa. Empat puluh delapan jam dengan sahabat saudara perempuan David sebagai imbalan pertemuan dengan klien yang mungkin bisa dia melakukan hal ini. David hanya berharap dia tidak begitu seksi. Atau Marcus tidak melakukan sebuah ciuman seperti yang dia maksudkan. David pun terkejut, "Tapi tunggu... mengapa pria straight menciumku?" Bagaimana kisah Marcus dan David? Jangan lewatkan setiap Bab nya.

Richard_Raff28 · LGBT+
5.0
263 Chs

Terjebak Cinta Yang Salah

21+ Ridho. Jika ada satu hal yang aku tahu, itu merupakan cara bermain Game... Baik di dalam maupun di luar lapangan. Jika bukan karena satu kesalahan remaja di mana aku mencium Adi, aku bisa terus membodohi diriku sendiri. Sepak bola adalah satu-satunya hal yang aku gunakan untuk mengalihkan diri dari kebenaran, dan ketika aku mengacaukan sampai kehilangan permainan yang aku sukai, aku menemukan diri ku kembali ke Bandung. Aku kembali bertatap muka dengan Ketua tim, yang membenciku bahkan lebih dari yang dia lakukan ketika kami masih kecil. Sihir apa pun yang dia pegang padaku saat itu masih tersisa. Sekuat apapun aku melawannya, aku masih menginginkannya. Dan aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan… Yah, kecuali dengan Adi, yang terus-menerus memanggil ku dengan omong kosong. Mengapa aku sangat menyukainya? Adi, aku mungkin telah menghabiskan bertahun-tahun menonton Raka. Wujudkan mimpiku, setidaknya tanpa kejenakaan di luar lapangan dan pesta pora dengan wanita, tetapi aku telah menjalani kehidupan yang baik untuk diriku sendiri. Aku seorang pemadam kebakaran, dan aku melatih tim sepak bola saudara laki-lakiku untuk mereka yang memiliki cacat. Tetapi ketika Raka kembali ke kota dipersenjatai dengan ego tingginya dan julukan yang bodoh, semua orang kagum padanya. Tidak, bukan aku. Aku tidak peduli jika ciuman kami bertahun-tahun yang lalu bertanggung jawab atas kebangkitan seksual ku. Aku tidak akan jatuh cinta pada Ridho. Meskipun resolusi itu akan jauh lebih mudah jika dia tidak begitu menggoda. Begitu dia menemukan jalannya ke tempat tidurku, aku sangat kacau, dengan lebih dari satu cara. Tapi ada yang lebih dari Raka daripada yang terlihat, terkubur di bawah egonya, sarkasme dan bagaimana kita terbakar untuk menaikkan seprai bersama-sama. Segera, ini lebih dari sekadar permainan. Kami tidak hanya membuat satu sama lain bersemangat, kami mungkin saja memenangkan hati satu sama lain. Sayang sekali hal-hal tidak pernah sesederhana itu...

Pendi_Klana · LGBT+
5.0
268 Chs
Table des matières
Volume 1