webnovel

"Sial! Mereka lagi-lagi mengganggu waktu tentram ku!"

"Bagaimana sekolah mu hari ini, kau sudah cukup sehat kan?" tanya Mike setelah Devan mendudukkan diri di kursi penumpang. Pria dengan kaos oblong tanpa lengan khas miliknya itu pun mencabut earphone di telinga dan memberikan perhatian penuh kepada Devan. Musik yang didengarnya sesaat lalu cukup membuatnya pengang. Lamanya earphone tersumpal di telinga bukan menjadi alasan utama, volume yang selalu diatas rata-rata adalah penyebabnya. Apalagi dengan genre musik rock menghentak-hentak, itu sudah kebiasaan buruk Mike. Mungkin setelah pendengaran terganggu ia baru akan lepas dari itu.

Empat puluh lima menit. Ya, Mike menjemput Devan lebih awal karena khawatir pria itu akan menunggu. Sebenarnya bisa saja bagi Mike memberikan sebuah ponsel untuk Devan sebagai alat komunikasi agar lebih mempermudah mereka. Tapi dengan watak keras kepala yang dimiliki Devan, ia menolak mentah-mentah tawaran itu. Tak ingin lebih merepotkan dan mengeluarkan banyak biaya berlebih, itu kata Devan.

"Hai, Mike! Seperti yang kau lihat, aku sudah sehat kok!" balas Devan dengan menampilkan wajah ceria meski hari ini cukup dilalui Devan dengan berat. Hal itu tak terlepas dari sosok Nathan yang seolah mengurung dirinya untuk disiksa. Pria itu terus saja memerintahnya sepanjang hari sampai-sampai ia melupakan kodratnya sebagai pelajar. Ia pasti mendapat absen tak hadir tanpa keterangan setelah dua hari sebelumnya ia izin tak masuk karena sakit. Devan pasti ketinggalan banyak materi pelajaran. Brengsek memang Nathan!

Ia berhasil keluar dari ruangan itu pun berkat kerja kerasnya membujuk Nathan dengan menuruti keanehan pria itu. Devan masih belum memahami pola pikir Nathan yang terlihat selalu ingin dekat dengannya, itu hanya pikiran yang mengganjal Devan.

"Oh, syukurlah! Bagaimana kalau kita makan siang di luar?" tawar Mike agar bisa membebaskan gerak Devan yang selalu aktif memasak. Entah itu karena hobi atau realisasi dari bayaran atas kebaikan Mike selama beberapa bulan ini.

"Ehm... Aku tak ingin merepotkanmu terlalu banyak, Mike!"

"Ckkkc! Sama sekali tak merepotkan," sergah Mike saat lagi-lagi Devan menolak tawaran. Sebenarnya sikap Devan yang seperti itu membuatnya tak nyaman. Kalau ia sudah menawarkan suatu kebaikan, dengan pasti Mike akan segera mengabulkan. Ia bukan tipe pria yang berucap omong kosong, kalau Devan menolaknya karena keraguan akan kata-katanya itu.

"Baiklah, tapi aku yang traktir, ya?"

"Memang kau punya uang?" tanya Mike dengan mengernyitkan dahi.

"Secara teknis itu bukan uangku, sih! Tapi lebih tepatnya, uang jajan yang kau berikan padaku masih cukup banyak tersisa di kantong," balas Devan dengan cengirannya.

"Kau tak menghabiskan uangnya?"

"Yang benar saja! Aku masih punya malu untuk tak menjadi orang matre apalagi kepada orang yang sudah menampungku."

"Jangan mengatakan itu, kau seolah memperjelas istilah asing diantara kita. Kau tau, pada kenyataannya aku menganggap mu orang terdekat," tegas Mike dengan gemas mencubit pipi Devan.

"Benarkah?" tanya Devan dengan hati yang berbunga-bunga. Kalau caranya seperti ini, bagaimana Devan sanggup untuk menolak serangan Mike pada hatinya yang selalu memihak pria itu?

"Sebentar, kenapa dengan lehermu?" tanya Mike setelah tersadar ada bekas kemerahan yang kemarin malam tak sengaja dibuat. Namun Mike jelas menyadari, tempat yang dengan gemas dikecup itu tak akan menimbulkan bekas sejelas ini. Lagipula ia tak mungkin menancap kuku di tempat itu kan?

"Oh itu, salah seorang temanku bertingkah jail," jawab Devan dengan mengingat peristiwa beberapa saat lalu.

"Siapa? Bagaimana dia melakukan itu?" tanya Mike dengan tegas, ia menuntut kejelasan dari Devan. Ia sedikit merasa tak senang dengan bekasnya yang ditutupi oleh yang lain. Ia masih berusaha berpikir positif karena itu tubuh milik Devan yang jelas akan dijaga, tapi sisi lain di dalam dirinya juga sempat berbisik buruk, "Jika kau saja begitu tergiur dengan leher mengkilap Devan akibat keringat, kenapa pria lain tak bisa? Kau jelas masih begitu menyukai payudara dan bokong sintal, sedangkan disini lain kau tak bisa menahan rasa ingin tau mu pada Devan, pria lain bisa berpikir begitu juga, kan?"

"Hei, ada apa denganmu?" tanya Devan saat pandangan Mike berubah menegang.

"Jawab saja!" desak Mike sedikit menyentak Devan.

Ada apa dengan pria itu? Sesaat Devan merasa de javu pada suatu kejadian namun pada orang berbeda. Perubahan sikap lain juga nampak pada Nathan, kan?

"Apa sih, Mike! Ini tindakan biasa jika dilakukan oleh kawan dekat, kenapa raut mu menjadi seperti itu?" balas Devan berusaha meninggalkan topik yang membuat suasana hatinya kembali buruk. Lengan Devan pun lantas menyingkirkan milik Mike yang masih memegang belakang lehernya. Ia kemudian berusaha meninggikan kerah baju untuk memblok pandangan tajam pria itu. Sial! harusnya ia memakai hoodie Nathan yang masih tertinggal di tasnya!

"Biasa ya?" timpal Mike dengan suara pelan. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri. Pria lain tak mungkin segila dirinya, kan? Diakui memang Mike sedikit merasakan perasaan aneh pada remaja mungil itu, suka, tertarik? Entahlah, mungkin bukan semua alasan itu, atau lebih memilih alasan yang tepat? Ya... Mike menganggapnya sebagai seorang adik yang harus dijaga, selesai.

"Hmmm..."

"Kita pulang saja, ya! Aku secara tiba-tiba ingin merasakan masakan mu lagi setelah dua hari lidahku terasa pahit karena masakan anak-anak," tandas Mike membuat Devan kembali tersenyum. Ya, ia merasa senang jika dirinya sedikit berguna untuk pria bertatto itu.

"Oke..." jawab Devan dengan penuh semangat, Mike yang melihatnya pun ikut membaik. Mobil segera dinyalakan dan menancap gas dengan kecepatan sedang. Pikiran Mike pun kembali positif, teman jail memang selalu ada, begitu juga disekitar Devan, kan?

"Hai! Boleh kami menumpang makan siang yang terlambat ini dengan kalian?"

Sudah. Bibir Mike yang semula tertarik kini mengkerut seketika. Setelah sesampainya mereka menuju letak apartement, tamu tak diundang lagi-lagi datang. Mereka bukan ketiga anak buahnya yang kemarin, yang ini jauh lebih mengusik, Benny dan Gista. Salah apa Mike belakangan ini? Hidupnya yang selalu tentram sedikit demi sedikit mulai menampakkan kericuhan.

"Sial! Mereka lagi-lagi mengganggu waktu tentram ku!" umpat Mike saat tak ada alasan untuknya mengusir kedua perusuh itu. Devan yang sudah dipepet oleh Gista juga hanya bisa menurut saat langkah wanita itu menggiring masuk ke pintu apartement Mike. Memang, Gista adalah wanita tak tau malu dan tanpa sopan santun. Wanita itu seolah mendadak menjadi tuan rumah saat mendahuluinya untuk duduk. Jangan tanya sikap sepupunya itu, ia memang sangat kompak dengan Gista.

"Kenapa kau nampak kesal, daddy?" tanya Devan menghampirinya Mike yang duduk di kursi dapur, ia memang sengaja menghindar. Tak bisa dipungkiri jika pikiran negatif akan selalu ada jika Gista dan Benny sudah bersatu.

"He-heheehh... Jangan menambah rasa kesal ku, Dev!" protes Mike saat Devan menggodanya dengan panggilan, daddy.

"Hahahh... Jangan terlalu serius dalam ketidaksukaan mu pada sesuatu, Mike! Itu akan membuatmu merasa tak nyaman bahkan dilingkungan kekuasaan mu sendiri. Dan itu juga akan sia-sia karena kau tak dapat merasakan kebahagian di sudut lain."

"Nampaknya kau terlihat begitu dewasa, berbanding terbalik dengan posturmu," ucap Mike dengan meneliti setiap jengkal tubuh yang berdiri didepannya.

"Sial! Kau mengejekku tua?" balas Devan sontak memukuli Mike dengan bertubi. Mereka semakin tak berjarak saat kaki Mike mengurung Devan diapitannya. Keduanya pun saling berpandang dengan Mike yang mendongakkan kepala dan Devan yang menunduk. Lengan Devan pun secara otomatis tersampir di bahu Mike. Jelas, posisi seperti ini membuat Devan berdebar.

Mike menaik-naikkan lengkungan baju di bagian leher Devan, bekas kemerahan itu membuatnya gagal fokus. Entah apa yang terjadi dengan Mike akhir-akhir ini, garis lengkung di batas leher milik Devan terlihat begitu seksi menurutnya. Tak bisa dipungkiri, Mike harus juga mengakui jika tidur bersebelahan dengan Devan membuatnya seketika insomnia. Bahkan untuk mengalihkan perhatian dari wajah tenang yang asik berselancar di mimpinya itu ia tak bisa. Seperti yang sebelumnya Mike bilang, ia hanya terlalu merindukan sosok tepat untuk bisa dikatakan dekat, dan itu Devan.

"Jangan buat makanan terlalu banyak dan enak, mereka nanti menjadi langganan dan mengusik kita terlalu sering."

Chapitre suivant