Arya Chayton, seorang remaja yang sangat menyukai olahraga. Cintanya pada olahraga tak setengah hati. Hampir semua permainan olahraga ia kuasai. Arya terkenal cukup nakal di sekolahnya karena sering bolos pelajaran. Ketika mengikuti pelajaran sekalipun, ia lebih memilih tidur atau berbicara dengan temannya sendiri. Namun saat mengikuti ekstrakulikuler, justru ia paling semangat. Sebaliknya, Arya memiliki teman bernama Amelia Regna. Ia gadis seumuran dengan Arya, dan mereka berteman akrab sejak kecil. Amelia sangat suka belajar dan sering mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran. Tak ada pelajaran yang ia benci, kecuali olahraga. Ia selalu mendapat nilai merah ketika menerima hasil ujian olahraga. Suatu ketika orang tua Amelia mendapat kesempatan untuk bekerja di Denmark. Mau tak mau mereka harus pindah rumah dan berganti kewarganegaraan. Arya terus menunggu hingga bertahun-tahun, mengharap kembalinya Amelia. Sejak itu, rasa cinta Arya pada Amelia mulai tumbuh hingga akhirnya mereka bertemu kembali di universitas yang sama.
Rumah Arya dan Amelia bersebelahan sejak mereka dilahirkan dan sekarang menjadi teman dekat. Arya merupakan anak yang cukup mandiri dan selalu ceria ketika bermain bersama temannya. Sedangkan Amelia, sifatnya sedikit pemalu dan selalu mengikuti Arya kemanapun ia pergi.
Tak hanya mereka berdua, orang tua mereka sama dekatnya seperti anak mereka. Sebab hal itu, orang tua mereka sepakat untuk mendaftarkan sekolah dasar yang sama agar Amelia perlahan akan dibimbing oleh Arya agar tak terlalu sering mengandalkannya.
Baik Arya maupun Amelia sangat menyetujui kesepakatan orang tuanya. Amelia tersenyum lebar, mengetahui keinginannya bersama Arya terkabulkan. Meski begitu Arya tak pernah merasa risih dan menganggap Amelia sebagai beban.
Namun disaat mereka menaiki kelas 3 SD, Amelia mendapat kabar kurang menyenangkan dari ibunya, jika ibunya mendapatkan tugas dari kantor untuk bekerja di Denmark, dan mengharuskan keluarga mereka pindah rumah.
Amelia merasa terpuruk mendengar kabar itu. Meski belakangan ini tak terlalu sering bersembunyi di belakang Arya, tetapi Amelia masih ingin bersamanya lebih lama lagi. Tugas tetaplah tugas, hal itu harus dituruti oleh Amelia mau tak mau.
Orang tua Arya telah mengetahui hal itu dan memberitahu kabar tersebut pada Arya. Setelah kabar tersebut sampai di telinga Arya, ia buru-buru mengunjungi rumah Amelia yang mana rumah mereka hanya bersebelahan.
Arya memanggil Amelia dengan teriakan cukup keras.
"Amel! Keluarlah! Aku ingin bicara denganmu!"
Sekeras apapun Arya memanggil namanya, Amelia tetap tak kunjung menampakkan wajahnya. Merasa tak enak menghiraukan sahabat anaknya, ibunya Amelia dengan baik hati menjawab teriakan dari Arya. Saat itu juga Arya berhenti teriak.
"Tante, dimana Amel? Aku ingin menemuinya." Arya berkata dengan wajah gelisah.
"Amelia sedang di kamarnya, Nak. Sepertinya ia tak akan keluar dari kamar untuk beberapa saat," ibunya menjawab dengan nada pelan. Ia merasa bersalah menceritakan hal itu pada anaknya dan kerabatnya.
"Kalau begitu, bolehkah saya membujuk Amel agar ia mau keluar dari kamarnya?" Arya masih bersikeras ingin menemui temannya. Ibunya hanya menunduk dan menghela nafas, masih memikirkan perasaan anaknya jika harus bertemu dengan temannya disaat anaknya sedang bersedih.
"Tante nggak melarang hal itu, Nak. Tapi tante sendiri masih belum tahu apakah Amel mau menemui teman atau tidak."
Arya tak memikirkan hal itu. Terlebih lagi mereka telah berteman sejak berumur 4 tahun. Dalam kondisi apapun, Amelia pasti selalu mengandalkan Arya disaat mereka sedang bersamaan. Disaat seperti inilah seharusnya Arya harus menghibur dan membantunya. Dengan kesiapan hati, Arya ingin sekali menemuinya.
"Gak apa, tan. Hanya mengizinkan saya menemui Amel itu sudah cukup. Sisanya saya bisa mengurusnya sendiri." Arya berkata dengan tekadnya yang dapat dilihat dari raut mukanya.
"Baiklah. Kamu boleh menemuinya," ibunya Amelia hanya bisa pasrah dan tak ingin membuat masalah lebih jauh. "Tapi tante ingatkan. Jika Amel sedang tak ingin menemuimu, tante ingin kamu tak memaksanya. Itu akan lebih gawat jika ia benar-benar meninggalkan keluarganya."
Meninggalkan keluarganya? Mendengar kalimat itu, Arya pikir, ia harus berhati-hati agar tak menyakiti hati Amelia dan keluarganya. Atas izin ibunya Amelia, Arya memasuki rumah dan berjalan cepat menuju kamar Amelia yang berada di lantai 2.
Sesampai di depan pintu kamarnya, Arya mendengar isak dari tangisan Amelia. Arya mengetuk pintu di depannya sebanyak 3 kali. Namun tak ada jawaban dari Amelia.
"Amel. Ini aku Arya. Aku ingin bicara denganmu." Arya terus mengetuk pintunya, berharap Amelia menjawab keinginannya. Tangisannya mendadak berhenti. Arya mendengar langkah kaki sedang menuju ke arahnya dari dalam kamar.
Setelah suara itu menghilang, pintu kamar terbuka cukup kecil. Arya hanya bisa melihat Amelia setengah badannya saja. Rambutnya berantakan, air mata di pipinya mengalir deras. Arya tahu betul perasaan Amelia saat ini.
"Pulanglah, Arya. Aku lagi gak pengen bicara denganmu."
Seumur hidupnya, baru kali ini Arya mendengar Amelia berkata seperti itu padanya. Ia merasa syok tetapi disisi lain ia berpikir bukan saatnya untuk mempermasalahkan hal itu.
"Mel, kamu bisa keluar dari kamar sebentar? Aku ingin bicara denganmu. Gak lama kok."
"Kamu gak denger ya, aku lagi gak pengen ketemu kamu. Aku lagi gak niat ketemu siapapun bahkan mereka sekalipun!" bentak Amelia, semakin kesal
Arya langsung tahu, mereka yang dimaksud ialah kedua orang tuanya. Ibunya saat ini sedang berada di ruang keluarga, lantai 1. Ayahnya masih bekerja dan selalu pulang di atas jam 9 malam.
"Tapi kenapa? Aku cuma bicara sebentar. Beneran, ini gak lama." Arya masih ngotot agar bisa berbicara 4 mata pada Amelia.
"Kalau aku bilang gak ya gak. Jangan maksa deh! Mending kamu pulang aja sebelum aku memukul tepat di wajahmu."
Untuk kedua kalinya Arya mendengar kalimat yang sama sekali tak pernah dilontarkan dari mulut Amelia. Sebisa mungkin Arya tak terbawa emosi dan tetap memaksa dengan hati dan pikiran yang tenang.
"Please 5 menit aja, atau gak 3 menit. Pokoknya sebentar, beneran. Kalo lebih dari itu, kamu boleh kembali ke kamar."
Arya masih teguh ingin berbicara dengannya. Tapi tetap saja, Amelia sedang tak menginginkan hal itu. Ia menggelengkan kepalanya dan kembali masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apapun.
Jika sudah begini Arya tak bisa memaksa, sesuai keinginan ibunya Amelia. Dengan wajah murung, ia menuruni tangga dan kembali bertemu dengan ibunya Amelia, sedang mengusap air mata.
Setelah menuruni beberapa anak tangga, Arya menghampiri ibunya Amelia sedang duduk di depan televisi menyala seraya menangis tersedu. Melihat hal itu, dengan inisiatif sendiri, Arya mendekati ibunya Amelia dan duduk di sebelahnya. Saat itu juga, ibunya Amelia sadar jika Arya mendekatinya, sebab hawa keberadaannya cukup jelas dan menyela tangisan dari sang ibu.
Meski begitu, Arya tak tahu harus berbuat apa untuk memulai pembicaraan atau menenangkan seseorang yang menangis di sampingnya. Diumurnya yang terbilang masih muda, sejauh ini Arya selalu mengalami hal-hal menyenangkan dibanding menyedihkan. Menyadari hal itu, ia kecewa untuk apa ia mendekati ibunya Amelia tanpa melakukan apapun.
"Amel anak yang baik. Jadi kamu jangan marah padanya, Nak Arya." Ibunya Amelia mengatakan hal itu disaat ia sedang menahan tangisan. Arya terpekik, disaat ia sedang kebingungan harus mengatakan apa.
"Iya tan. Arya tau kok kalo Amelia anak yang baik. Hanya saja mungkin dia belum bisa menerima keputusan ibunya." Arya mencoba merespon pernyataan ibunya Amelia.
"Syukurlah kalo begitu. Mungkin kamu salah satu temannya yang sangat memahaminya. Atau bahkan satu-satunya. Jadi tante harap kamu bisa menerima dia dalam situasi apapun. Tante selalu percaya padamu." Meski terdengar sederhana, perkataan itu membuat hati Arya sedikit tersentuh.