Menceritakan tentang seorang anak laki-laki remaja berusia 17 tahun bernama Deon diteror oleh pembunuh berantai. Setiap malam, kematian selalu menghampiri mereka di tengah malam. Dendam yang terus berujung kelam karena masalah masa lalu yang tak pernah terselesaikan. Pembunuhan berantai itu mengorbankan banyak nyawa, bahkan Adik Deon bernama Lia adalah salah satu korbannya. Dapatkah Deon menangkap siapa pembunuh berantai itu? Apa yang akan terjadi setelahnya nanti? Simak ceritanya disini sekarang juga!
*Deon POV*
Beni Atmara. Mereka mengenalnya dengan nama Beni. Dia adalah saudaraku, anak dari pamanku. Umur kami hanya terpaut 3 tahun. Sehingga aku dan dia sering bermain bersama sejak kecil. Dia sering dibully oleh anak-anak sekitar. Dan aku selalu membelanya dan melindunginya dari anak-anak nakal itu.
Dia adalah anak yang pendiam. Ayah dan ibunya sangat kasar memperlakukannya. Aku sering melihat bagaimana paman dan bibiku sangat kasar kepadanya. Dia selalu tidak diperbolehkan makan jika belum selesai mengerjakan tugasnya.
Setiap hari, Beni selalu membersihkan kandang ayam milik ibunya. Memandikan anjingnya, membersihkan rumah dan memangkas rumput belakang rumahnya. Hampir semua pekerjaan dikerjakan oleh Beni. Sedangkan, Beni itu penyakitan. Dia mengidap penyakit Kusta sejak lama.
Penyakit itulah yang menyebabkan paman dan bibi jijik kepadanya. Mereka bahkan menyuruh Beni memasak masakannya sendiri dan membiarkan Beni makan di luar. Karena, mereka takut jika makanan mereka terkontaminasi oleh Beni. Orang-orang di sekitar banyak yang menghina dan memperlakukan Beni secara tidak manusiawi. Kadang, jika aku belum pulang sekolah. Beni selalu menungguku depan gerbang sekolah. Namun, dia sering diusir dan sempat ditendang kepalanya oleh satpam setempat.
Melihat hal tersebut aku marah kepadanya, aku menyuruh Beni untuk tidak datang lagi ke tempatku karena dia akan banyak mengalami sakit hati. Setiap sore, aku selalu meluangkan waktuku bermain dengan Beni di lapangan dekat rumah kami. Namun, karena ibu tak menyukai Beni yang memiliki penyakit kulit itu. Ibu selalu memarahiku dan menyeretku pulang. Padahal, Beni adalah orang yang sangat baik.
Nasib tak pernah berpihak baik kepadanya. Hingga di usia kami yang menginjak remaja. Beni memutuskan untuk tak lagi bermain bersamaku. Dia bilang, dia sedih jika aku tersakiti karena ulahnya. Sejak saat itulah, kami tak pernah bersama kembali. Aku memberi Beni cincin couple yang kubeli di pasar malam. Cincin itu sebagai tanda teman sejati antara kita berdua. Awalnya, dia tak mau mengenakan cincin itu. Namun, aku tetap memaksanya untuk mengenakannya.
Selama itulah, kulihat Beni tampak jauh lebih baik saja dibanding bersamaku. Walau, dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Beranjak dewasa, aku jarang menyapa Beni. Kurasa karena aku tak mengakuinya lagi saat itu sebagai saudaraku. Karena pernah suatu hari, kukenalkan dia pada pacar pertamaku. Pacarku justru meninggalkanku karena ia jijik kepadaku yang memiliki saudara seburuk Beni.
Sejak itulah, aku dan Beni tak pernah saling bersapa. Untuk bertukar senyum saja, aku bahkan tak mau. Tersirat luka di hatiku kenapa harus Beni yang mendapatkan penyakit seperti itu. Jika tidak, mungkin hubungan kami baik-baik saja. Dan mungkin, Lia juga tetap hidup sampai sekarang.
~~~
*AUTHOR POV*
Malam itu, seorang anak laki-laki berusia 17 tahun tengah bermain leggo di kamarnya. Di kamarnya tersedia berbagai macam permainan anak lelaki saat kecil. Anak laki-laki itu mengoleksi banyak mainan di rumahnya bahkan sampai ayahnya memarahinya setiap hari.
Malam itu, dia tak mau makan malam. Karena, cuaca di luar sedang sangat dingin. Orang tuanya terbiasa menyuruh anak laki-laki itu untuk makan di luar. Mereka tak mau anaknya menularkan penyakit yang diidapnya. Bahkan kamar anaknya itu tak pernah mereka bersihkan kecuali oleh anak itu sendiri.
"Beni, makanlah! Masaklah mie atau apa, kau harus makan!" suruh ibunya kepada anak laki-laki tersebut.
"Aku sedang tidak nafsu makan, bu!" sahutnya seraya duduk di kursi belajarnya. Sudah 2 tahun, dirinya putus sekolah. Karena ayah dan ibunya tak mau dirinya menjadi sumber penyakit bagi semua orang. Dan tak mau menghabiskan banyak uang demi anak yang menurut mereka tidak berguna itu.
"Makanlah, Beni! Jangan menyusahkanku! Kau sudah penyakitan, aku tak mau mengurus biaya rumah sakitmu jika kau semakin sakit!" tegur ayahnya.
Beni memejamkan matanya sejenak. Lagi, kata itu keluar dari mulut ayahnya. Beni bukan anak penyakitan! Beni juga ingin normal seperti manusia pada umumnya! Bukan monster seperti sekarang ini.
"Beni tidak mau makan ayah! Bisakah ayah tidak menghinaku barang sehari saja? Apa kau tahu jika itu menyakiti hatiku selama ini?" teriak Beni murka kepada ayahnya.
Ayahnya yang temperamental itu langsung mengguyur Beni dengan air sup panas yang baru saja ibunya sajikan.
BYURRR!!
"Ahh!! Panas ayah!!" teriak Beni kesakitan.
"Dasar anak bedebah kau! Tidak tahu diuntung! Pergi kau dari rumah ini! Manusia sepertimu hanyalah beban, seharusnya dulu aku dan ibumu menggugurkan kamu saja!" teriak ayahnya emosi.
"Sayang, sudah sayang. Biarkan saja anak mengerikan itu," sahut ibunya Beni mencoba menenangkan ayahnya.
Beni yang sudah tak tahan lagi dengan sikap orang tuanya yang memperlakukannya seperti hewan. Lantas mengambil pisau dari dapur. Malam itu adalah malam yang naas bagi orang tua mereka. Beni membunuh secara sadis ayah dan ibunya lagi. Beni sudah tak kuat dengan ucapan mereka yang tak pernah mensupport Beni dan memperbaiki Beni. Alih-alih mengobatinya ke rumah sakit, justru Beni dibiarkan dan dihina seluruh kampung oleh mereka. Ya, memang Beni bukan anak dari hasil perkawinan yang sah. Tapi, apakah pantas jika orang tua melakukan anaknya seperti hewan? Tidak. Sama sekali tidak sampai kapan pun.
JLEBB!! SRAAAT!! CRAAAT!!
Beni menusuk tubuh ayah dan ibunya dengan pisau daging yang dimiliki mereka untuk menjual daging ayam setiap harinya ke pasar. Beni sudah muak dengan mereka.
"Matilah kalian! Hiduplah bahagia disana, aku sudah tak butuh orang tua seperti kalian!" ucap Beni disaat terakhir ayah dan ibunya menatap Beni dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Darah keluar mengalir dengan deras ke permukaan lantai yang putih itu.
Beni kemudian mencabik dan menyayat mereka bak sapi yang baru dikurbankan. Ya, jiwa Beni sudah menjadi jiwa yang lain. Ini bukanlah jiwa Beni yang sesungguhnya. Ini adalah iblis yang menetap dalam Beni yang kesepian.
Beni menyeringai. Malam yang naas itu menjadi malam kebahagiaan bagi Beni. Tak ada lagi ucapan menyakitkan yang memekakkan telinga. Dan mulai sejak itu, Beni akan membalaskan dendamnya kepada semua orang. Termasuk, Deon. Saudara dekatnya sendiri.
Beni kemudian memotong bagian-bagian tubuh itu. Tulang mereka Beni bakar ke pemanggangan daging. Dan daging mereka Beni cuci bersih kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan membekukannya ke dalam freezer. Beni kemudian membersihkan lantai yang sudah bercampur dengan darah yang kental itu.
Ah.. Sial. Andai ada yang mau mengabadikan momen ini. Mungkin Beni akan merasa bahagia setiap menontonnya. Ini adalah rekor pertama baginya karena berhasil memotong daging dengan baik. Maaf, memotong tubuh ayah dan ibunya yang penuh lemak itu. Dan mungkin, esok ia akan menjual daging itu ke pasar untuk penyembuhan penyakitnya.