Setelah beberapa tahun berpisah, Kayla bertemu dengan kekasih lamanya. Masih memendam perasaan yang sama dan berpikir bahwa dia sudah menikah begitupun sebaliknya. Hingga suatu hari mereka menikah secara mendadak. FYI: cerita ini sudah tayang pada platform lain yang mana ini adalah orisinil hasil saya bukan plagiat
POV Kayla
Pukul dua belas siang. Hari begitu cepat berlalu saat aku sibuk dengan pekerjaanku. Waktunya istirahat. Menyandarkan punggungku di kursi dengan memejamkan mata. Telepon berdering.
"Halo," kataku.
"Mau makan siang apa?" tanya Raka di seberang sana.
"Apa saja. Ah, ya. Tolong belikan apel juga."
"Siap nyonya."
"Jangan panggil aku nyonya."
"Haha baiklah. Pesanan anda akan sampai segera."
Raka, teman sekolah menengahku yang masih menemaniku hingga kini. Sekarang dia bekerja di perusahaan orang tuanya sebagai manajer.
Dia datang ke rumahku membawa dua kantung plastik. Tersenyum lalu mengajaknya masuk. Setelah makan siang, dia memberi tahu kalau malam nanti akan ada perjamuan antar perusahaannya. Dia mengajakku untuk menemaninya.
"Baiklah, aku akan ikut. Tetapi traktir aku makan siang nanti," kataku.
"Siap!" jawabnya.
Dia pun kembali ke kantornya. Aku dan temanku, Vina kembali melanjutkan pekerjaan membuat komik yang sempat tertunda tadi.
Malam tiba. Raka menjemputku dengan mobilnya. Malam itu aku mengenakan dress biru dengan kalung yang tampak elegan. Raka pun terpukau ketika melihatku, karena belum pernah melihat aku berpakaian seperti ini.
"Kay, kemasukan apa? Gila, kenapa enggak dari dulu berpenampilan begitu?"
"Kenapa memangnya? Aku cantik, ya?"
"Siapa bilang cantik, enggak kok."
Raka memalingkan pandangannya, yang terlihat jelas bahwa dia sedang berbohong. Aku tertawa melihatnya dan mengajaknya supaya tidak terlambat.
Sampai di tempat tujuan. Banyak mobil mewah yang terparkir. Sudah pasti banyak pengusaha besar di sini. Aku masuk sambil menggandeng tangan kirinya. Beberapa orang menghampiri kami mengajak bersalaman dan berbasa-basi.
"Raka."
Panggil seorang pria. Kami menoleh ke arah suara itu. Ayahnya Raka, Suryanto. Dia mengenalkan kami kepada rekannya. Ayah Raka menganggapku seperti anaknya sendiri tak heran aku dekat dengan keluarganya.
Kami pun menunggu investor datang. Jika investor itu menginvestasikannya ke perusahaan keluarga Suryanto, itu akan sangat menguntungkan perusahaan.
Semua heboh ketika investor itu datang. Aku ingin sekali melihatnya, penasaran dengan rumor yang mengatakan dia tidak memiliki perasaan, kejam dan begitu teliti. Tetapi karena kecerobohan seorang pelayan menabrakku sehingga minuman yang dia bawa tumpah ke tanganku dan mengenai sedikit ke bajuku, maka dari itu aku pergi ke kamar kecil untuk membersihkannya.
"Aku jadi tidak bisa melihatnya 'kan, kesal banget. Kalau dia tampan dan masih muda lumayan buat cuci mata," gerutuku sambil mencuci tangan.
Selesai itu, aku berniat kembali ke acara itu. Tanganku ditarik dan dia langsung membungkam supaya aku tidak berteriak. Mataku berkaca-kaca melihat sosok yang ada di depanku sekarang. Aditya Vijaya Kusuma.
"Ssstt. Jangan berteriak."
"Aku harus pergi," kataku sambil mendorongnya pelan.
"Kay, tunggu. Kamu belum menjelaskan apa pun."
"Kita sudah berakhir, Adit."
"Kamu tetap harus menjelaskan." Ujar Aditya sambil memelukku dari belakang.
Aku melepaskan tangannya. "Maaf, Dit. Pikirkan saja istrimu itu, aku tidak mau merusak rumah tangga orang lain." Aku pergi meninggalkannya. Air mata pun menetes tanpa sadar. Sebenarnya aku tidak tahu dia sudah menikah atau belum. Karena dulu ibunya bilang bahwa dia akan menikahi wanita yang dia pilih.
Begitu melihatku, Raka langsung menghampiriku.
"Kamu lama sekali, tadi beliau ke sini, katanya penasaran."
"Ah, iya. Maaf. Tadi ada telepon jadi aku mengangkatnya dulu."
"Oh. Baiklah, ayo makan."
Aku terkejut ketika mengetahui bahwa investor itu adalah Aditya. Saat berpidato, sesekali dia melihat ke arahku.
Acara pun selesai. Investor itu memilih perusahaan orang lain. Ayah Raka sangat kesal, karena sebelumnya diberi tahu bahwa dia yang akan mendapatkan itu tapi entah kenapa diganti secara tiba-tiba.
Sepanjang jalan aku terdiam. Aku yakin dia membatalkannya karena ada aku, tapi aku tidak tahu sekaya itu dia sekarang. Sungguh sangat beruntung istrinya itu.
Lamunanku terpecah ketika Raka memanggil namaku.
"Aku memanggilmu tadi, apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Aku rasa investor itu membatalkannya karena aku, maaf."
"Apa telah terjadi sesuatu sebelum acara dimulai?"
"Ah, tidak. Aku hanya berpikir penyebabnya karena aku datang."
"Sudahlah, ini bukan salahmu."
***
Keesokan harinya. Aku bersama temanku melanjutkan pekerjaan kemarin yang sempat tertunda. Aku suka menggambar, itu sebabnya aku jadikan hobi sebagai pekerjaan. Karena selalu dikejar deadline, aku meminta bantuan kepada temanku.
"Kay, bagaimana semalam? Apa ada laki-laki tampan selain Raka?" tanya Vina tiba-tiba.
"Apa Raka setampan itu? Enggaklah. Tapi ada sih yang tampan, mana tajir pula."
"Serius? Lalu?"
"Aku enggak bisa masuk ke kehidupannya. Kalau aku bisa. Aku bisa jadi cinderela dalam semalam. Tahu diri sih aku."
"Haha, iya benar. Nanti seperti ibunya seperti ibu mantanmu lagi. Kita lebih baik mengagumi tanpa harus memiliki. Lebih aman."
Aku hanya berdeham menanggapi itu. Hingga jam istirahat tiba. Raka datang untuk menempati janji kemarin. Menjemputku dan Vina. Tentu saja aku mengajaknya karena tak enak hati jika dia di biarkan sendiri di rumah. Tiba di tempat yang aku inginkan. Restoran sederhana yang mengingatkanku pada masakan ibuku. Kami pun memesan makanan.
"Raka sekalian bayar pesanan Vina, ya?" kataku setelah memesan.
"Enggak usah, lagi pula kemarin perjanjiannya enggak seperti itu 'kan?" tolak Vina.
"Enggak apa-apa. Gue lagi ada rezeki, sekali-kali traktir kalian gak bakal langsung habis duitnya," jelas Raka.
"See? Untung juga 'kan duitmu Vin aman," kataku.
Vina pun menyetujuinya. Hingga beberapa menit kemudian makan yang kita pesan tadi datang. Kami menyantapnya dengan lahap.
"Makan yang banyak, Kay! Biar gendutan badannya," celoteh Raka.
"Memang kenapa kalau kurus atau gendut? Aku tetap cantik juga," ujarku.
"Idih percaya diri banget lo," kata Raka.
Vina yang sedari tadi memperhatikan kita berdebat membuka suara yang cukup membuatku dan Raka terdiam.
"Kenapa kalian gak pacaran saja sih? Sama-sama single 'kan?"
Mendengarnya aku melihat Raka dengan ekspresi canggung. Teringat dia pernah mengajakku untuk menikah tahun lalu tapi aku menolaknya.
"Kalian kan sudah cukup umur untuk menikah," sambung Vina ketika tidak mendapat respons.
"Ah, ngomong suka ngawur, makan saja. Sebentar lagi jam makan siang berakhir untuk prang kantoran," balasku.
Beberapa saat kemudian. Raka telah mengantarkan kami dan dia kembali ke kantornya.
Bu Ipah tetanggaku menghampiri kami. Dia memberitahu bahwa tadi saat kami keluar ada yang datang. Aku pikir itu dari penerbit yang mengirimkan penghargaan, ternyata bukan.
"Dia datang dengan mobil mewah, bahkan dia memakai setelan kantoran tapi dia lebih berwibawa juga tampan, mungkin dia temannya temanmu," jelasnya.
"Mobilnya warna merah?" tanyaku.
"Nah, iya."
"Saya minta tolong ya bu, kalau orang itu datang lagi bilang saja aku lagi tidak ada di rumah."
"Kay punya hutang ke mereka kah?"
Aku hanya mengangguk. Ibu itu mengangguk paham dan tidak ingin ikut campur urusanku. Semenjak ibuku meninggal, orang sini menganggapku sebagai pengangguran yang tidak bekerja dan hidup dengan uang dari kakak.