Aku mengirimkan pesan kepada Bayu untuk terus mengawasi pergerakan Sherlin. Dengan cepat bayu membalas pesanku. Rival tiba-tiba menelepon.
"Bro, kenapa sekarang tidak datang ke sini? Sudah lama tidak main semenjak kecelakaan itu," katanya.
"Aku hari ini tidak bisa datang ke sana. Next time deh, aku akan ke rumah kak Cintya malam ini," jawabku.
"Loh, tumben datang ke rumahnya. Tidak ada apa-apa kan?"
"Kamu tumben banget banyak tanya. Dia kan kakakku sendiri, apa salahnya datang ke sana."
"Iya sih. Tidak biasanya kan kamu sibuk dengan urusan kantor."
"Kak Cintya marah dan suruh aku untuk datang ke rumahnya karena aku tidak memberitahunya kalau aku sudah menikah."
"Apa? Gila. Kenapa enggak bilang?"
"Oke-oke. Kita rayakan saja di rumah kak Cintya. Ajak juga istrimu."
Rival menyetujuinya. Aku pun menghubungi kak Cintya untuk memberitahu kepadanya bahwa Rival pun akan datang.
POV Kayla
Melihat di atas meja sudah ada sepiring nasi goreng dengan surat di sampingnya. Dia bilang dia akan pergi, apakah dia akan pergi lama meninggalkanku? Bukankah dia bilang sendiri yang tidak mau kehilangan aku lagi. Dia jahat banget. Air mata pun menetes lagi. Hingga Vina pun datang. Aku menceritakannya kepada Vina. Karena aku bekerja sambil meneteskan air mata, dia memberitahu kepada Raka bahwa aku tengah menangis karena Aditya.
Ketika Raka mencoba menenangkanku, tiba-tiba Aditya datang. Aku sangat ingin memarahinya tetapi aku tahan karena ada orang lain di sini. Setelah mendapat penjelasan aku pun mau percaya padanya.
Malam ini, untuk pertama kalinya aku akan bertemu dengan kakaknya Aditya, kak Cintya. Aku takut dia akan memarahiku lagi seperti hari itu. Setelah Vina pulang, aku pun langsung bersiap untuk pergi.
"Ah sial, aku lupa membawa pakaianku lagi," gumamku yang masih berada dalam kamar mandi.
Aku menempelkan telingaku di pintu, memastikan tidak ada Aditya di luar sana. Hening. Aku membuka pintu dengan perlahan. Tidak ada Aditya di kamar. Aku langsung membuka lemari mencari dress.
"Ekhem," Aditya berdeham.
Sontak aku langsung berbalik dan dress yang aku pegang aku sembunyikan seolah aku ketahuan sedang mencuri sesuatu.
"Ha-ha. Mencuri apa kamu?"
"Tidak. Aku hanya mengambil pakaianku saja."
"Lalu kenapa di sembunyikan segala? Kamu tahu? Ekspresi wajahmu sangat lucu. Ha-ha."
Aku mendorongnya pelan. Dia menarik tanganku ketika aku hendak pergi. Dia menciumku cukup lama, hingga akhirnya kami pun bercumbu.
Setelah selesai bersiap. Aku masih memandang cermin, sembab di mataku masih agak terlihat meskipun aku memakai make up untuk menutupinya. Aditya memelukku dari belakang.
"Kamu sudah cantik, apa yang kamu khawatirkan?"
"Aku gugup dan merasa takut. Aku takut kak Cintya akan memarahiku seperti sebelumnya."
"Tidak. Dia menghargai keputusanku kok."
Aditya mengecup pipiku. Aku pun tersenyum. Aku menggandeng tangannya hingga depan. Kami pun pergi menggunakan motorku. Tiba di rumah kak Cintya. Terlihat mobil berwarna hitam sudah terparkir di sana. Kata Aditya Rival pun datang ke sini dengan istrinya. Anak laki-laki sekitar umur sepuluh tahun membukakan pintu.
"Bunda, om sudah datang!" teriaknya.
"Siapa namamu?" tanyaku ramah.
"Gibran," jawabnya singkat. "Tante namanya siapa?"
"Nama tante Kayla."
"Panggil saja dia bibi Kay. Dia bibimu sekarang," sahut Aditya.
Gibran menganggukkan kepalanya dengan mulutnya yang membulat. Sangat menggemaskan. Aku tersenyum melihatnya. Kami pun mengikutinya dari belakang. Sambil Aditya berbasa-basi bicara dengannya. Di halaman belakang. Semua sudah berkumpul, bahkan Rena dan ibu pun ada.
"Nah, datang juga orang yang ditunggu-tunggu," ucap Rena.
Aku tersenyum dan memberikan salam. Hanya ayah yang tidak hadir di sini. Aku pun duduk di samping Rena.
"Jangan bilang kalian terlambat datang karena itu dulu," celoteh Rival.
Aku yang sedang minum pun tersedak mendengarnya. Aditya langsung mengambil gelas yang masih aku pegang.
"Enggak apa-apa?" tanya Aditya. Aku hanya menggelengkan kepala. "Namanya juga pengantin baru," katanya kemudian.
Aku sungguh malu, mungkin sekarang wajahku memerah. Semua tertawa mendengarnya.
"Tidak apa-apa kok. Ibu juga sudah tidak sabar menggendong cucu lagi," kata ibu.
"Ibu sudahlah, pipinya kak Kay sudah merah seperti tomat. Ha-ha," gelak tawa Rena.
"Kayla. Kamu tidak habis menangiskan?" tanya kak Cintya.
Mataku terbelalak. Seketika aku merasa gugup kembali. "Tidak kok kak. Ayo kita makan. Nanti makanannya dingin," kata Aditya.
Kita pun makan bersama. Tidak terasa sudah pukul sepuluh malam. Dalam waktu singkat, aku pun dekat dengan Gibran bahkan sekarang lagi main bersama dengannya dan di temani oleh Rena.
"Gibran, masuk ke kamar ya. Sudah waktunya untuk tidur," seru kak Cintya.
"Bunda, aku masih ingin main dengan anty Rena sama bibi Kay," jawab Gibran.
"Ayo, anty Rena antar kamu ke kamar dan menemanimu sampai tidur, oke?" ajak Rena.
Gibran menyetujuinya lalu mereka pun pergi. Kak Cintya mengajakku ke halaman belakang lagi. Suasananya mencekam. Begitu sampai aku duduk lagi di samping Aditya. Dia melepas jaketnya lalu menyuruhku untuk memakainya.
"Aku sangat berterima kasih karena sudah menganggap Kayla sebagai istriku. Terutama kau ibu," kata Aditya.
Entah kenapa suasananya jadi haru seperti ini. Tidak seperti yang aku bayangkan. Ibu bahkan meminta maaf atas perlakuan ayah terhadapku. Meskipun aku masih merasa sakit dengan ucapan ayah terhadapku, aku pasti memaafkannya karena ibu yang bilang.
Kami pun pulang begitu pun dengan Rival. Ketika di halaman rumah, Aditya memanggil Rival sebelum dia masuk ke mobil.
"Karena aku sekarang bukan siapa-siapa yang berpengaruh di perusahaan ayah, aku ingin minta bantuanmu mengumpulkan bukti bahwa aku di jebak oleh Sherlin dua hari lalu," kata Aditya berbisik namun masih bisa terdengar olehku.
"Itu cewek gila apa? Tak habis pikir dengan cewek sialan itu, bisa-bisanya dia ..."
"Aku cuma ingin membuktikan bahwa dia wanita yang tidak sebaik ayah lihat."
"Oke. Aku paham."
Dalam perjalanan, aku membuka pembicaraan dengannya. "Kenapa kamu masih ingin berurusan dengan dia?"
"Sayang, aku tadi di permalukan oleh ayah. Dia menggantikan posisiku di kantor. Aku tidak masalah jika posisiku digantikan oleh orang lain tapi tidak dengan dia. Jika perusahaan di kelola olehnya, tidak membutuhkan waktu lama perusahaan itu pasti hancur," jelas Aditya.
Aku terdiam mendengarnya. Tiba di rumah. Aku baru lagi datang ke rumahnya. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Aku mengganti pakaianku. Melihat Aditya baru mulai bermain game. Aku duduk di sampingnya dengan menempelkan daguku di bahunya. Aku mengusap-usap perutnya mencoba untuk mengganggunya. Mencium-cium pipinya. Masih tidak terganggu. Tanganku naikkan ke dadanya. Dia hanya menurunkan tanganku agar tidak memainkan dadanya. Aku kembali mengganggunya. Sangat menyenangkan melihatnya fokus seperti itu. Aku pun menyentuh area sensitifnya.
"Sayang diam dululah," katanya.
Aku tertawa melihatnya. Ketika aku akan mengganggunya lagi, dia langsung menciumku lalu melanjutkan permainannya lagi.