Akhir pekan telah tiba. Panas terik membuatku bosan merasa di rumah. Melihat tingkah lalu keponakan yang selalu berlari mengelilingi ruang tengah rumah. Membuka HP berharap ada pesan masuk. Menghela napas panjang lalu aku beranjak keluar.
"Bibi, bibi mau ke mana?" tanya Azka.
"Mau keluar, mau ikut?" kataku.
"Jajan? Ikut!"
Azka membentangkan tangannya meminta untuk digendong. Setelah Azka memakai sendal ya, aku pun menggendongnya dengan syarat pulangnya harus jalan kaki. Dan dia menyetujuinya. Bahkan kakaknya pun mengikuti kami.
"Mama aku mau ikut bibi keluar sama Azka," teriak Farhan karena takut tertinggal.
"Minta izin yang benar, enggak usah berteriak," kataku.
"Nanti aku ditinggal sama bibi. Memang mau ke mana, bi?" tanya Farhan kemudian.
"Nanti juga kamu tahu," jawabku singkat.
Sepanjang jalan Azka banyak bicara, anak kedua dari kakakku yang batu berusia tiga tahun itu memang cerewet dan Farhan anak sulungnya yang sudah berusia sepuluh tahun. Sampai di warung mi ayam. Aku membeli tiga bungkus saja. Setelah menerima pesanan, kami pun pulang.
Mobil dengan berlawanan arah terlihat tidak terkendali dan menabrak pengendara motor. Suara benturan yang begitu besar terdengar dan teriakan beberapa orang yang melihat. Entah kenapa langsung melihat ke arah pengendara motor. Azka yang ketakutan menutup matanya. Aku meminta Farhan untuk membawakan kantung plastik yang aku pegang.
"Kamu tunggu di sini! Bibi mau melihat ke sana sebentar," kataku.
"Bibi tapi aku mau melihatnya juga," jawab Farhan.
"Tunggu!" ucapku dengan tegas.
Aku melihat ada orang yang akan membuka helmnya. Dengan sigap aku langsung menahannya.
"Maaf pak, membuka helm pada korban kecelakaan tidak bisa dilakukan sembarangan takutnya tulang belakangnya patah," kataku.
"Lalu harus bagaimana?" tanya bapak itu.
"Aku yang pegang bahu supaya sejajar, lalu bapak yang buka helmnya perlahan," imbuhku.
Bapak itu mengangguk dan mengikuti arahan yang aku berikan. Korban kecelakaan itu memakai masker dengan headset terpasang di kedua telinganya. Aku melepaskan headset-nya lalu membuka maskernya. Mataku membulat melihat orang yang tengah tergeletak tidak sadarkan diri. Mataku pun mulai berkaca-kaca.
"Cepat panggil ambulans! Dia temanku. Cepat!" teriakku histeris.
Air mata pun mulai berjatuhan. Terdengar teriakan anak kecil yang memanggilku. Aku teringat bahwa aku sedang bersama kedua keponakanku. Aku menghapus air mata dengan kasar lalu bangun dan menghampiri mereka karena mereka dilarang untuk mendekat.
"Farhan kalian pulang sendiri tidak apa-apa, ya? Bibi mau ke rumah sakit," kataku.
"Siapa dia, bi?" tanya Azka.
"Dia teman bibi, kalian pulanglah terlebih dahulu. Bibi mohon," kataku dengan wajah memelas berharap mereka menuruti perkataanku.
"Baiklah," jawab Farhan.
Suara sirene terdengar. Ambulans datang dengan polisi di belakangnya. Korban pun di bawa ke rumah sakit setelah aku memberi tahu sudah memberikan pertolongan pertama. Sedangkan yang di dalam mobil tidak sadarkan diri. Polisi langsung melakukan pemeriksaan di tempat lokasi.
Detak jantung yang tidak beraturan, pikiran yang sudah ke mana-mana dan air mata sudah membasahi pipi. Aku hanya bisa diam di ruang tunggu UGD setelah polisi mengajukan beberapa pertanyaan padaku. Dokter pun keluar.
"Dokter bagaimana kondisi teman saya?" tanyaku.
"Kondisi pasien sudah membaik butuh istirahat saja, tetapi tangan kanannya patah," jawab dokter.
Dokter langsung pamit pergi karena ada pekerjaan lain setelah memberitahu bahwa dia akan dipindahkan ke ruang rawat. Dia pun sudah dipindahkan. Aku masuk ke ruangannya. Duduk di kursi samping ranjangnya. Air mata pun kembali menetes.
"Kenapa kita dipertemukan seperti ini? Bagaimana aku memberi tahu keluargamu dan istrimu," gumamku yang tidak bisa menahan lagi tangis.
HP-ku berdering. Aku menekan tombol hijau lalu menempelkan benda pipih itu di telinga kiri.
"Kamu menyuruh anak-anakku pulang sendiri? Bagaimana kalau mereka hilang?" oceh Tyas, kakakku.
"Meneleponku hanya untuk memarahiku saja?" tanyaku ketus.
"Kamu tidak akan pulang? Kami sekarang mau pulang, di mana kamu?"
"Kunci saja rumahnya dan simpan kuncinya di pot bunga. Oh ya, itu mi ayam kalian saja yang makan."
"Ya, terima kasih."
Setelah teleponnya ditutup, aku teringat bahwa aku berteman dengan saudaranya di media sosial. Aku mencoba mengirimkan pesan berharap segera dibalas karena terakhir aktifnya satu menit yang lalu. Lima menit kemudian, dia pun membalas. Aku meminta nomor telepon ibunya untuk datang.
"Untuk apa nomor teleponnya?" balas Rival.
"Aditya kecelakaan tadi, sekarang dia di rumah sakit dekat dengan rumahku. Aku ingin memberitahu kepada ibu."
"HP-nya masih menyalakan? Coba lihat saja di sana saya sedang rapat sekarang. Sandinya 24789."
Aku membeku melihat sandi yang dikirimkannya. Bukankah itu tanggal lahirku? Aku mencoba menekan angka yang Rival berikan. Benar. HP-nya terbuka. Untuk pertama kalinya aku membuka HP Aditya. Menekan aplikasi hijau dan muncul tampilan chat yang mana nama panggilanku dulu berada di paling atas karena di sematkan. Apa maksudnya ini? Bukan itu yang penting sekarang aku harus memberi tahu ibunya. Setelah menemukan nomor ibunya telepon masuk dengan nama kak Sintha. Aku mengangkat teleponnya.
"Aditya apa kamu tidak apa-apa? Kenapa tadi tidak menjawab apa yang terjadi?" tanya kakaknya khawatir.
"Maaf, kak. Ini aku Kayla,"
"Aditya mana?" bentaknya.
"Adit belum siuman, kak. Tadi dia kecela...,"
"Sudah aku duga dia akan menemuimu," katanya memotong ucapanku.
Dia pun menutup teleponnya setelah terdengar ada yang memanggilnya. Aku melanjutkan niatnya tadi untuk menelepon ibunya Aditya. Ibunya memberikan salam. Jantungku berdegup kencang lalu memberi salam.
"Loh ini siapa?" tanya ibu kaget.
"Maaf bu sebelumnya, ini aku Kayla temannya Aditya," jawabku.
"Kayla mana ya? Lalu anak saya mana?"
Aku menghela napas lalu memberitahukan bahwa anaknya mengalami kecelakaan dan memberitahu rumah sakit tempat Aditya dirawat. Ibu memberitahu bahwa besok akan datang untuk menjemput anaknya. Aku pun pulang untuk mengganti baju dan menyalahkan lampu luar rumah karena hari sudah gelap.
Bapak yang tadi membuka helm Aditya memanggilku, memberitahu bahwa motor Aditya ada di rumahnya. Tidak terlalu rusak. Hanya lecet dan beberapa patah. Aku meminta tolong untuk membawa motor itu ke bengkel untuk memperbaiki motor itu. Beruntung bapak itu baik mau membantuku. Sesampainya di rumah aku membersihkan diri lalu pergi lagi ke rumah sakit.
Melihat perawat membawa makanan menuju ruangan Aditya. Aku langsung segera menghampirinya.
"Maaf apa ini untuk pasien ruangan ini?" tanyaku begitu sampai di depan pintu ruangan Aditya.
"Iya, seharusnya dia sudah siuman sekarang," jelas perawat itu.
"Biar saya saja," kataku sambil mengambil nampan makan dan minumnya.
Perawat itu membukakan pintunya setelah aku masuk dia menutupkan kembali pintunya, tak lupa aku pun berterima kasih sebelum pintu ditutup. Aku menaruh nampan itu.
Menatap laki-laki yang masih menutup mata. Aku mengusap kepalanya lalu mengecup keningnya.
"Bukan pertemuan seperti ini yang aku inginkan," gumamku lalu duduk di kursi.
Aditya membuka matanya perlahan. Ingin sekali aku memeluknya. Dia tersenyum dan terlihat lemah. Tangannya menggenggamku.
"Akhirnya kita bertemu lagi," lirihnya.
Mataku mulai berkaca-kaca lagi. Entah senang, ataukah harus sedih karena menemui suami orang tanpa sepengetahuan istrinya. Tapi bukan itu yang aku pikirkan sekarang. Aku membantunya untuk duduk dan memberi minum.
"Mau makan sekarang?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya pelan. "Aku mau memelukmu, peluklah aku!" sambil merentangkan tangan sebelah kirinya yang tidak terluka.
Mendengar itu, aku menghindari untuk menatapnya. Mungkin sekarang pipiku memerah jika dia menyadarinya. Situasi yang membuatku bingung. Banyak yang ingin aku tanyakan apakah dia sudah menikah dengan wanita itu atau tidak dan maksud dari chat-ku yang disematkan apa? Sungguh aku ingin tahu jawabannya supaya aku tidak berpikir yang tidak-tidak.