POV Aditya
Sungguh sangat kesal ketika ayah mempermalukan istriku di hadapan orang lain. Aku memutuskan untuk mengajak Kayla pulang. Aku kira Kayla akan menceritakan kejadian tadi kepada kak Tyas, ternyata tidak. Aku baru menyadari ternyata aku belum mengenal sepenuhnya.
Untuk sementara ini, aku akan tinggal di rumahnya dan nanti aku akan mengajaknya untuk tinggal di rumahku. Kayla begitu gugup. Dia sudah berganti baju. Baju tidur dengan bahan kain tipis.
"Kamu tidur selalu memakai itu?" godaku.
"I-iya. Apa ini mengganggumu?"
"Apa memang setiap kamu tidur itu tidak dibuka?"
"Masa iya gak pakai baju!"
"Dalemanmu itu loh, buka saja. Aku tidak mempermasalahkannya."
Dia melenggangkan kakinya ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian dia kembali. Mataku langsung tertuju ke arah yang menonjol di dadanya.
"Ka-kamu menatapnya begitu dalam akan mau melahapnya," kata Kayla sambil berjalan mendekat.
"Ha-ha, aku tidak sabar melihatnya," katanya.
"Lebih baik aku pakai saja lagi," sahutnya lalu membalikkan badannya. Dengan cepat aku menarik tangannya hingga dia terjatuh di atasku.
"Tidak apa, aku akan menyentuhmu jika kamu sudah siap. Ayo kita tidur."
Terlihat jelas pipinya merona setiap kugoda. Semakin menggemaskan. Rasa rinduku beberapa tahun yang lalu akhirnya terlepas setelah menikahinya. Meskipun ini tidak akan mudah bagi kami. Hanya saja aku tidak ingin berpisah lagi dengannya.
Pukul tiga pagi. Aku terbangun sepagi ini, tidak seperti biasanya. Melihat ke sebelah kananku. Kayla masih lelap tertidur dengan membelakangiku. Aku mendekat lalu memeluknya. Aku bisa mencium baunya dengan leluasa.
"Aaaarrgghhh!" teriak Kayla sambil melompat dari tempat tidur.
"Ada apa?" kataku khawatir.
Kayla diam sejenak. Dia kembali ke tempat tidur lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Kamu kenapa hei?"
"Aku lupa kalau kita sudah menikah. Jangan lihat aku. Aku malu!"
Aku tertawa mendengarnya. Aku pun beranjak dari tempat tidur. Setelah membersihkan diri, aku memainkan handphone. Kayla menyenderkan kelapanya di bahuku.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanyanya sambil melihat ke layar ponselku.
"Memangnya kamu, yang mandi kalau mau pergi saja?"
"Menyebalkan," gumamnya.
"Apa sudah boleh aku melihatmu? Nanti kamu malu lagi," candaku.
Dia mendorongku pelan. "Ah, kamu menyebalkan," sahutnya dengan memasang ekspresi cemberut.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Beberapa saat kemudian. Dia pun keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk saja.
"Ehem," aku berdeham. "Jangan bilang lupa lagi kalau kita sudah menikah."
"Tidak, aku lupa tidak membawa baju gantinya," sahut Kayla lalu kembali ke kamar mandi sambil berlari kecil.
Beberapa saat kemudian. "Aku sudah beres mandinya. Aku mau menggunakan make-up boleh?"
"Mau ke mana pakai make-up segala?"
"Ya, aku ingin terlihat cantik."
"Ya sudah, asal jangan terlalu tebal. Nanti terlihat seperti banci yang ada."
Dia hanya mendelikkan matanya. Aku hanya tertawa kecil melihatnya. Aku lanjut menonton. Dia kembali duduk di kasur. Memelukku dari samping sambil menatap ponselku.
"Aku tidak menyangka kita bersama. Maaf, saat itu aku pergi begitu saja tanpa tahu perasaanmu bagaimana," celotehnya tiba-tiba.
Aku mengecup pucuk kepalanya. "Sudahlah, itu sudah berlalu."
Dia mulai bercerita lagi, hanya saja dia sekarang bercerita dengan antusias. Aku hanya menatapnya, seperti anak kecil. Mengemaskan. Lelah bercerita, dia kembali bersandar dan memelukku.
***
Keluarga kak Tyas pamit pulang. Karena tidak mau mengganggu kami. Pengantin baru katanya. Dan itu membuat Kayla salah tingkah. Kami pun berpamitan.
"Oh iya, aku belum memberitahu Vina. Aku telepon dia dulu, ya?"
"Iya," jawabku singkat.
Aku mengikutinya dari belakang. Dia mengambil handphone-nya lalu membuka aplikasi hijau.
"Vin, maaf ya mendadak menelepon. Aku hanya ingin memberitahukan saja. Kita libur dulu kerjanya ya untuk hari ini," kata Kayla begitu Vina mengangkat teleponnya.
"Oh, kalian mau honey moon ya?" kata Vina. Entah kenapa suara teleponnya terdengar padahal aku tidak berniat untuk menguping.
"Ti-tidak. Siapa bilang? A-aku hanya ingin beristirahat saja!" Kayla gugup menjawabnya.
Melihatnya salah tingkah seperti itu membuatku tertarik untuk menggodanya. Aku mendekatkan kupingku ke handphone-nya seolah-olah sedang menguping.
"Ayo sayang kita bikin anak," kataku dengan suara menggoda.
"Apa sih?" suara Kayla meninggi, pipinya yang merah merona membuatku ingin menggigitnya.
Aku hanya mendengar temannya itu tertawa lalu menutup teleponnya. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat-angkat alis kananku untuk menggodanya.
"Ya sudah, ayo!" kata Kayla dengan memalingkan wajahnya.
"Ayo apa? Mau ke mana memang?"
"Ke kamar ayo. Tadi katanya itu," katanya sambil menarik-narik tanganku.
"Ha-ha, apa? Ngomong yang jelas dong," aku terus menggodanya.
"Ah, kamu sangat menyebalkan. Ya sudah ga jadi," katanya sambil memukul pelan dengan memasang wajah cemberut.
Aku terkekeh melihatnya. Aku pun menggendongnya ke kamar.
***
Kayla sedang menyiapkan makan malam. Aku duduk menunggunya di meja makan. Kami pun makan bersama. Aku teringat untuk mengajaknya tinggal di rumahku.
"Oh, iya. Kita tinggal di rumahku saja, ya?"
"Aku tidak mau. Ayahmu tidak menyukaiku, aku tidak nyaman nanti."
"Bukan di rumah ayah, tapi di rumahku."
Kayla menghentikan makannya. "Kamu punya rumah?"
Aku hanya mengangguk sambil mengunyah.
"Lalu kenapa hari itu malah datang ke sini bukan ke rumahmu saja?"
"Tanganku masih cedera saat itu, hanya kamu yang boleh membantuku."
"Astaga. Maksa banget."
Selesai makan dia membereskan bajunya. Karena aku sekarang belum ada penghasilan jadi aku belum bisa membelikan barang-barang yang dia inginkan. Bahkan mas kawin pun hanya lima puluh juta.
"Maaf aku belum bisa membelikanmu barang-barang yang kamu inginkan," kataku sambil memeluknya.
"Tidak apa-apa. Lagi pula aku belum menginginkan sesuatu ko," ucapnya dan tersenyum lalu mengecupku.
Keesokan harinya. Karena Kayla bekerja pada jam delapan pagi, maka kami pergi dari jam lima pagi. Sampai di rumahku. Rumahku agak berdebu karena beberapa hari aku tidak mengunjungi rumahku.
Kayla mengedarkan pandangannya.
"Aku sudah lama tidak kemari. Maaf jadi berdebu," kataku lalu mengambil tas milik Kayla.
Kayla hanya mengikutiku sambil mengedarkan pandangannya.
"Perhatikan jalannya, kamu bisa menikmati rumah ini nanti. Nan ...,"
"Aduh!"
Perkataanku saja belum selesai dan dia sudah jatuh. Aku hanya menggelengkan kepala lalu membantunya berdiri.
"Sakit," Kayla meringis kesakitan.
"Masih bisa berjalan?"
Kayla hanya mengangguk. Aku menuntunnya takut dia terjatuh lagi. Tiba di kamar. Dia duduk di kasur lalu mengangkat celananya dan terlihat memar. Aku menyuruhnya untuk duduk dan menungguku. Aku ke dapur mengambil mengambil es batu dan kain untuk mengompresnya. Setelah itu, aku bergegas kembali ke kamar. Aku membantu mengompres kakinya. Dia meringis kesakitan.
"Ini tidak akan lama kok memarnya," kataku untuk menenangkannya.
"Benarkah?" tanyanya.
Aku menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dia hanya diam memperhatikanku.
"Kamu kerja pulang jam berapa?"
"Jam lima tapi karena kemarin libur dadakan jadi paling nanti pulangnya sekitar jam enam atau paling lama jam tujuh. Karena kasihan juga kalau Vina harus bantu aku sampai malam."
Aku mengangguk paham. "Sudah tidak terlalu sakit 'kan?"
"Iya, agak mendingan sekarang," katanya sambil melihat kakinya yang masih agak memar.
"Ya sudah ayo berangkat, aku akan mengantarmu. Sudah siang, jalanan pasti sudah macet."
Kayla mengangguk lalu mengambil tasnya. Kami pun kembali ke tempat kerja yang tak lain adalah rumah Kayla sendiri.