Seseorang pernah berkata, "Jika kau mencintainya, lukai dia dahulu. Karena rasa bersalah adalah cara terbaik untuk pertahankan hubungan." ... Ternyata persiapan sebelum pernikahan sebegini rumitnya. Bukan tentang dekorasi, makanan, atau tempat untuk mengucap janji, ini lebih kepada persiapan hati. Satu minggu sebelum hari pernikahan mendatang, Alif melakukan kesalahan. "Aku tidak sepenuhnya sakit. Aku hanya...merindukanmu." Ia kehilangan kata ketika wanita di depannya mempererat tangan ditengkuknya. ... Tiga hari sebelum hari pernikahan, Givana tergoda membuat kebohongan. "Kau masih punya tiga hari. Artinya, kau masih sendiri sampai detik ini. Ingatlah ini sampai sepuluh tahun kemudian, dulu ada seorang pria mengajakmu berkencan. Hubungan yang penuh rahasia tanpa komitmen selama tiga hari." ... Kemudian mereka bertengkar. "Kenapa berbicara tanpa arah? Siapa wanita itu? Apa aku mengenalnya?" "Mengapa kau menuduhku begitu?!" "Kenapa kau berdusta padaku?!" Hening. "Apa kau membenciku? Aku tanya, apa kau benci padaku?" "Menurutmu?!" "Jadi apa kita harus menikah?" "Jika aku tidak muncul, artinya kita usai!" "Baiklah. Ingat apa yang kau katakan!" Givana bungkam. Sedangkan Alif pergi tanpa memberikan penjelasan.
"Aku lelah sekali," keluh seorang wanita yang kala itu tengah merentangkan tangannya ke atas sebelum menghempaskan dirinya ke sofa. Ia memandang seorang pria yang sedang meletakkan dua koper besar pada sudut ruangan. Mereka baru saja pulang dari perjalanan panjang ke negara tetangga selama tiga hari kemarin.
"Badanku lengket, aku mau mandi dulu," kata si wanita, ia berdiri lagi untuk melangkah, namun, kedua kakinya tertahan saat mendengar seruan dari si pria.
"Tunggu dulu. Aku ada sesuatu untukmu."
Wanita itu mengerutkan kening, "Apa?"
Si pria tidak menjawab, ia mendekat untuk meraih kedua bahu si wanita dari belakang lalu mendorongnya untuk menghadap sofa agar memunggunginya. "Tunggu dan pejamkan matamu!"
Si wanita yang merasa kebingungan mencoba mengelak. "Ada apa?"
"Tunggu saja."
"Hey! Jangan membuatku penasaran."
"Menurut saja. Ayo berbaliklah!"
"Kau mau memberiku hadiah?"
"Iya."
"Benarkah?"
"Iya."
"Apa tidak sebaiknya aku mandi dulu?"
"Nanti saja, sayang. Sekarang berbaliklah!"
"Baiklah."
Setelah perdebatan kecil itu, akhirnya si wanita mengalah. Ia berbalik dengan mengulum senyum. Menunggu dengan sabar apa kiranya yang akan ia terima dari pria-nya.
Si pria bergerak gesit untuk membuka salah satu koper yang tadi ia bawa lalu membongkar pakaiannya.
"Sial. Dimana aku menaruhnya." Ia berdecak kesal saat tak menemukan apa yang dicari sampai tak sadar telah menghamburkan hampir seluruh isi koper.
"Ada masalah?" tanya si wanita yang mendengar gerutuan si pria. Ia mencoba mengintip apa yang dilakukan pria itu dari balik bahu.
Tak menjawab, pria itu masih sibuk mengeluarkan satu persatu pakaiannya. Berdecak lagi, menggerutu kemudian memaki.
"Kau mencari apa sebenarnya?" si wanita berbalik dan terkejut saat melihat pakaian yang berserakan. "Astaga! Apa yang kau lakukan?" Ia mendekat lalu ikut berjongkok di samping si pria. "Apa yang kau cari? Kenapa kau membongkar pakaianmu seperti ini?"
Pria itu menoleh sekilas. "Diam dulu dan pejamkan matamu!"
"Katakan dulu apa yang kau cari?"
"Pejamkan saja matamu!" kata si pria.
Namun, wanita itu tidak mendengarkan. "Kau mencari apa? Jangan membuat ruangan ini berantakan!"
"Kau ini tidak sabaran sekali. Aku sedang mencari cincin yang kubelikan untukmu di Thailand kemarin." Pria itu menjawab dengan masih mengacak-acak pakaiannya.
Si wanita tertegun. Ia memegang lengan si pria. "Kau bilang apa?"
Tersadar dengan ucapannya, pria itu menolehkan kepala pada si wanita dan langsung menggenggam tangan wanita itu.
Sebelum berkata, pria itu menghela napas. "Aku membeli cincin untuk melamarmu."
Wanita itu mengerjap. Menurut saat pria itu membawanya berdiri. "Tapi aku menghilangkan cincinnya."
"Ap-apa katamu?"
"Aku menghilangkan cincin yang kubeli untukmu."
"Bukan yang itu."
Si pria menghela napas lagi. Lalu ia menekuk kaki kanannya dan mendongak, mencium punggung tangan si wanita. "Givana Ayudya Rashael, aku bukanlah lelaki pujaan yang kau impikan. Aku hanya lelaki ceroboh yang selalu membuatmu kesal. Tapi, terlepas dari itu sejauh ini hanya aku yang mampu menjaga dan mencintaimu. Jadi, maukah kau menikah dengan lelaki bodoh ini?"
Givana-nama wanita itu-yang tangannya sedang digenggam oleh si pria-kekasihnya-merasa terharu sekaligus ingin tertawa mendengar perkataannya. Namun jauh didalam lubuk hatinya, ia senang. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu dari dulu. Sejak sebelum hubungannya semakin jauh, ia sudah pernah memimpikan akan indahnya hidup bersama pria dihadapannya ini hingga menua nanti. Untuk itulah, ia menangis. Namun ia malah mengucapkan, "Bagaimana dengan cincinnya?"
Si pria tergagap. "Ak-aku akan mengganti dengan yang lebih bagus lagi. Aku janji."
Givana tertawa di sela-sela isakannya. "Bisakah diganti dengan uang saja?"
"Apa artinya 'iya'?"
Masih sambil menangis, Givana mengangguk dengan semangat.
Pria itu tersenyum senang lalu berdiri dan memeluk Givana erat. "Aku mencintaimu."
"Aku sesak napas," jawab Givana.
Pria itu terkekeh, melepas pelukannya. "Maaf. Aku terlalu senang."
Givana tertawa lagi lalu mencium pipi si pria. "Aku mencintaimu juga Alif."
Alif-nama si pria-tersenyum lebih lebar dan balas menciumnya di bibir. "Setia-lah padaku!"
Namun ... siapa yang bisa menjamin hubungan mereka untuk kedepannya akan tetap terjalin?
***