webnovel

AKHIR

Pada akhirnya, mungkin memang seharusnya kesalahan-kesalahan seseorang tidak perlu terus-terusan untuk diperbincangkan. Ada kalanya, mereka harus menutupi kesalahan itu untuk terhindar dari rasa kecewa yang tak menentu.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, 'pernikahan bukanlah suatu ajang untuk memperlihatkan kepada semua orang seberuntung apa kita dalam mendapatkan pendamping. Menikah adalah salah satu tujuan hidup, memiliki keturunan dan menjadi teman seumur hidup bagi pasanganmu. Maka, ego, logika, hati, semuanya harus bekerja sama.'

Seperti Alif yang tetap diam belum mau mengatakan yang sebenarnya, begitu pun Givana yang menutupi kesalahan juga.

Hari ini mereka resmi menikah. Tanpa halangan dan sesuai angan-angan. Alif dan Givana menjadi raja dan ratu dalam sehari semalam. Menjadi sorotan bagi mata semua orang yang menilai keduanya dengan penuh kebahagiaan.

Rania, Mona, Elis dan Nadin menjadi bridesmaidnya. Tak lupa mereka juga membawa pasangan turut serta. Memimpikan masing-masing dari mereka akan menyusul nantinya.

Nuri dan suaminya, serta Ozan juga datang. Memberi tepuk tangan paling meriah saat Alif dan Givana selesai mengucap janji dengan lancar.

Aliya dan suaminya, juga Andi duduk di paling depan dengan kedua orang tua mereka.

Semuanya sempurna. Tanpa tahu apa yang disembunyikan di balik perannya.

***

"Kau lelah?"

"Sangat."

"Mau ku gendong?"

"Memangnya kau tidak lelah?"

"Aku masih cukup bugar untuk menghabiskan malam dengan istriku."

Givana melotot, mencubit lengan Alif. Ia melempar senyum tak enak pada tiga orang dewasa yang sedang menunggu lift naik seperti mereka.

Pada lantai selanjutnya, ketiga orang itu keluar. Menyisakan Alif dan Givana di dalam lift.

"Jadi, mau ku gendong?"

Sebelum Givana menjawab, Alif sudah terlebih dahulu membungkuk, menyelipkan telapak tangan pada kedua lutut dan mengangkatnya.

Givana tertawa, mengalungkan lengan pada leher lelaki itu agar tidak jatuh.

Sampai di lantai yang mereka tuju, Givana diturunkan di depan kamar hotel yang mereka sewa. Alif mengeluarkan kartu akses untuk membuka pintu sebelum keduanya masuk dengan berangkulan.

Mereka memasuki kamar pengantin. Masih saling menempel, Alif membungkuk untuk menyatukan kening dengan Givana.

"Be mine?" Alif berbisik ketika tangannya turun membelai lengan Givana.

Mata Givana terpejam. Ia mengecup rahang Alif sebelum menjawab. "Yes."

Sekali lagi. Semuanya sempurna. Tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

***

Tengah malam, Alif dibangunkan dengan suara dering ponsel di atas nakas. Ia meraih benda pipih itu sebelum membaca pesan masuk.

Rasa kantuknya menguap seketika. Ia menoleh pada Givana yang masih terlelap sebelum pelan-pelan turun dari ranjang.

Setelah membasuh wajah dan berganti pakaian, Alif keluar dari kamar. Berjalan perlahan menuju kamar lain yang terletak tak jauh dari kamarnya sendiri.

Ia mengetik sesuatu pada ponsel, membuat pintu di depannya terbuka. Tersenyum kecil, Alif membalas sebuah pelukan yang menyambutnya dengan hangat.

"Selamat atas pernikahanmu."

Alif tersenyum. "Thanks, Anna."

Kemudian Alif dipersilahkan masuk.

***

Pagi hari, Givana terbangun dengan senyuman cerah ketika melihat Alif di sampingnya yang tengah menatapnya sambil menopangkan telapak tangan di sisi wajah. Lelaki itu tersenyum dan mengecup bibirnya sekilas.

"Good morning, wifey."

Givana membalas kecupannya di rahang. "Morning."

Alif menariknya untuk bangun, menyuruhnya untuk mandi sebelum sarapan.

Givana menurut saat melihat Alif yang memang sudah rapi dan wangi. Ia memasuki kamar mandi dengan perasaan bahagia yang membuncah.

Selesai mandi, ia segera memakai baju karena tak mau membuat Alif menunggu lama di luar.

Namun saat langkahnya sudah terayun menuju pintu, ponselnya berdering menandakan panggilan masuk. Nomor tidak di kenal. Ia meraih benda pipih itu sebelum menggeser tombol hijau.

"Halo? Siapa ini?"

"Halo."

Givana mengernyit. "Siapa?"

"Bukankah sudah ku bilang aku akan menghubungimu untuk membuatmu berubah pikiran?"

Terdiam, Givana tertawa kecil. "Aku sudah menikah kemarin. Tidak ada kesempatan."

"Oh ya? Selamat atas pernikahanmu."

"Terimakasih."

"Ini nomor gelapku. Aku menyimpannya khusus untukmu. Berjaga-jaga kalau kau butuh aku."

Givana hanya tertawa kecil.

"Baiklah aku tutup dulu. Sekali lagi selamat atas pernikahanmu."

"Thanks, Erfan."

*

Sekali lagi, semua kebohongan tidak perlu harus selalu diungkap. Biarkan saja pelakunya masing-masing terperangkap. Asalkan, rasa kecewa tidak terucap.

***