Gavriel Wijaya, putra pertama kebanggaan keluarga Wijaya pulang setelah sepuluh tahun menyelesaikan pendidikan dan membangun perusahaannya di New York sana. Pulang dengan sifat dan sikap berbeda 180°, Gavriel kembali ingin menggapai cintanya, cinta sahabatnya__Queeneira. Cinta yang belum sempat ia genggam, saat ia harus memikirkan pendidikan dan karirnya. Sedangkan Queeneira, yang terlanjur patah hati ditinggal selama itu sudah tidak ingin untuk berhubungan lagi dengan sahabatnya__Gavriel Wijaya. Lalu, bagaimana cara Gavriel untuk mendapatkan cinta Queeneira kembali, mampukah Gavriel menggengam cintanya, saat Queeneira sendiri sudah tidak ingin dekat dengannya. Ikuti kisah perjalanan dan bagaimana Gavriel mengambil hati sahabatnya kembali.
Di sebuah padang rumput dengan bunga bebybreath terhampar luas. ada sepasang anak adam-hawa yang sama-sama memandang ke arah langit sore. Melihat kecantikan saat matahari terbenam, dengan semburat orange menghiasi wajah masing-masing.
Si laki-laki masih melihat ke arah langit, kemudian tanpa menoleh berbicara kepada seorang wanita yang berdiri di sampingnya.
"Matahari, awan cerah dan mendung, langit malam dan siang, bintang dan bulan yang akan kita lihat nanti masih lah sama, Queeneira. Meskipun kita berjauhan, jika memang semesta menginginkan kita bersama, maka kita akan bersama."
"Gavriel."
"Queeneira, saat ini aku tidak bisa memintamu untuk menjadi siapa-siapa untukku. Tapi, jika memang kamu bisa menungguku, aku janji akan menjadikanmu ratu dengan tahta tinggi dihatiku."
"Aku akan menunggumu."
"Jika kamu sudah memilih, maka kamu harus siap tersakiti saat menungguku. Kamu juga harus siap menungguku dengan batas waktu yang aku sendiri tidak bisa mengira."
"Aku akan tetap menantimu."
"Queeneira, jika suatu saat kamu menemukan seseorang yang membuatmu lebih bahagia. Kamu harus lepaskan rasamu untukku, aku tidak ingin kamu lebih sakit saat menungguku."
"Tidak, tidak akan."
"Kalau begitu tunggu aku, bisa kah?"
"Vergiss heute nicht, Queeneira, (Jangan lupakan hari ini, Queeneira)"
"Wird nicht, (Tidak akan)"
Deg!
Mata dengan netra coklat bening itu terbuka, saat ia terbangun dari mimpinya.
Mampi yang sering menjadi teman tidurnya, saat ia sendiri hampir melupakan kejadian 10 tahun lalu.
Berkedip pelan berharap netranya yang hampir basah kembali biasa, wanita yang tadi bermimpi itu bangun dari tidurnya dan berjalan ke arah jendela kamar untuk melihat keadaan luar sana.
Sreeek!
Membuka tirai dengan sekali hentak, wanita itu melihat halaman rumahnya dengan tatapan sendu.
Ini sudah 10 tahun, namun ia sama sekali tidak tahu kabar dari sahabat yang sangat di tunggu kepulangannya. Meskipun bisa mendengarnya dari adik sahabatnya atau juga sepupu laki-laki yang ia tunggu kepulangan. Tetap saja berbeda, jika tidak ia langsung yang mendapatkan kabar tentangnya.
Ia menatap langit kesukaan sahabatnya dengan senyum sedih.
"Aku merindukanmu," gumamnya, kemudian meninggalkan jendela tempatnya melihat langit pagi, berjalan menuju kamar mandi untuk melakukan ritual mandi dan bersiap ke kantor, usaha yang ia bangun dengan penggabungan butik milik orang tuanya.
Skip
Di sebuah gedung besar, tepatnya di sebuah butik yang masih merangkap dengan gedung studio pemotretan, ada seorang wanita muda duduk dengan peralatan tulis, serta layar laptop menyala.
Jari dengan kuteks bening itu menari lincah di atas keyboard.
Wajah cantik rupawan turunan kedua orang tuanya terlihat serius, saat ia fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan.
Rambut yang dulu selalu ia kuncir kuda kini terurai menjuntai, menutup kening dan sesekali akan ia sampirkan di belakang telinga.
Disaat ia sedang fokus dengan pekerjaannya, ia di kagetkan dengan ketukan dari luar pintu ruangannya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Ceklek!
Seorang pegawai atau asistennya masuk dan membawa tumpukan kertas di pelukanya, membuat wanita muda itu melihatnya dengan helaan napas lelah.
"Astaga! Kapan aku istirahat," batinnya kesal.
"Bu! Ini laporan yang kemarin," lapor asistennya, sambil menyerahkan setumpuk map ke arahnya.
"Letakkan saja," sahutnya sambil merenggangkan otot lehernya yang kaku.
"Baik!"
Sang asisten meletakkan map sesuai perintah, namun menyisakan sebuah buku entah majalah atau apa, untuk dibawa pergi namun ia lebih dulu mencegahnya.
"Tunggu!"
"Ya, Bu?"
"Itu ... Apa yang kamu bawa?" tanyanya dengan penasaran, menatap cover buku itu dengan perasaan aneh dan membuat si asisten menatap majalah yang ia bawa dengan senyum terlampau lebar.
"Oh! Ini majalah dari luar negeri, Bu. Saya jadi langganan," jelas si asisten dengan mata berbinar.
"Dari luar negeri?"
"Iya! Ini loh Bu, majalah dengan cover dan wawancara pengusaha muda sukses dari keluarga konglomerat Wijaya. Gavriel Wijaya akan pulang kembali," papar si asisten semakin antusias, tanpa tahu jika ia yang mendengarnya terdiam, dengan wajah kaget dan jantung berdebar kencang.
"Gavriel Wijaya."
"Iya ... Lihat, Bu. Ya ampun, berasa mimpi kalau bisa ketemu Tuan tampan Wijaya muda."
Ia tidak mendengar sama sekali apa yang dikatakan oleh asistennya, yang saat ini ia pikirkan adalah setelah sekian tahun, kenapa melalui media ia mengetahui kepulangan sosok tersebut.
"Gavriel," batinnya menyebut nama sahabatnya dengan pikiran kosong.
Ya ... ia adalah wanita yang memimpikan seseorang di lapangan dengan bunga bebybreath terhampar luas dan ia adalah ....
"Bu, Bu Queeneira."
Queeneira Wardhana tepatnya, yang kaget saat sang asisten memanggilnya dengan raut wajah khawatir.
"Ada apa Quee?" ulangnya Formal karena kebetulan sang asisten adalah teman sekampusnya.
"Ah! Tidak ada, kamu boleh kembali bekerja," sahut dan perintah Queeneira, setelah sadar dari acara melamunnya.
"Baik, permisi."
Setelah kepergian asistennya, Queeneira kembali melamun dengan hati memanggil satu nama yaitu ...
"Gavriel, kenapa kamu jahat sekali."
Bersambung.