webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

Penulis: Sigit_Irawan
Sejarah
Sedang berlangsung · 190.8K Dilihat
  • 240 Bab
    Konten
  • 4.9
    22 peringkat
  • NO.200+
    DUKUNG
Ringkasan

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

tagar
6 tagar
Chapter 11. Asri

"Allahu akbar... Allahu akbar..."

Kalimat pertama Adzan subuh berkumandang, membangunkan sebagian warga di desa yang berada di kaki perbukitan itu. Ayam mulai berkokok menjelang terbitnya sang fajar yang mengintip dari balik Gunung Slamet. Langit timur yang mulai menjingga menandakan awal dari aktifitas umat manusia di hari baru.

Desa Kali Gintung adalah desa yang bersuhu sejuk, pemukiman penduduk sebagian besarnya hanya rumah-rumah sederhana yang dikelilingi oleh persawahan dan perkebunan semakin menambah keasrian desa tersebut. Di sebelah timur desa terdapat hamparan bukit kecil, penduduk sekitar menamainya Bukit Geralang, sedangkan di bagian selatan dan barat terdapat perkebunan tebu milik pemerintah desa, di sebelah barat laut dan utara terdapat perkebunan jagung beserta separuhnya adalah ladang dan sawah yang dimiliki oleh beberapa penduduk.

Sebagian besar penduduk desa Kali Gintung bekerja sebagai petani, beberapa lainnya pedagang kecil yang biasa berjualan di pasar. Hanya ada satu pasar terdekat yang letaknya di desa Kubang Sari, desa yang posisinya sebelah barat dari Kali Gintung, untuk sampai ke desa itu harus berjalan sejauh 800 Meter melalui perkebunan tebu dengan kondisi jalan yang belum dilapisi aspal, hanya bongkahan batu yang dibuat pipih untuk menutupi kondisi jalan yang berlumpur saat musim penghujan, perbaikan jalan itu dilakukan swadaya oleh masyarakat.

Sekolah terdekat pun hanya terdapat di desa Kubang Sari, beberapa pelajar dari Kali Gintung lebih memilih sekolah di desa tetangga tersebut, sebagian warga yang perekonomian nya lebih baik memilih menyekolahkan anak-anaknya ke kota kecil terdekat yang jaraknya sekitar 10 Kilometer dari desa, tentunya dengan kendaraan pribadi. Sebab, angkutan umum menuju kota tersebut cukup mahal, apalagi jika digunakan setiap hari untuk bolak-balik ke sekolah.

Sebagian besar pemuda yang lulus sekolah memilih merantau ke kota besar seperti Semarang, Bandung, atau Jakarta. Sedangkan sebagian kecilnya memilih bekerja menjadi petani atau sekedar membantu pekerjaan orang tuanya. Salah satunya adalah seorang pemuda yang bernama Abdul, dia memilih membantu orang tuanya untuk berternak bebek, setiap pagi dia selalu menggiring bebek-bebek itu ke sawah untuk mencari pakan liar.

Di sela-sela waktu menunggu bebek-bebeknya terpuaskan, Abdul lebih suka beristirahat sejenak di sebuah gubuk kecil di tengah sawah, dengan beralaskan tikar yang tersedia di gubuk yang hanya dibangun dari 4 tiang bambu tanpa dinding serta beratapkan jerami ini adalah tempat ternyaman untuk tidur siang. Tentu saja dia tidak khawatir dengan peliharaannya karena bebeknya adalah hewan yang sangat teratur dan penurut, sehingga tidak akan pergi kemanapun.

***

Anda Mungkin Juga Menyukai

PRAHARA DI KAHURIPAN

Pada saat Prabu Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dari Kerajaan Medang Kemulan merayakan pesta pernikahan kedua puterinya yaitu Dewi Sri Anantawikrama dan Dewi Laksmi dengan Pangeran Airlangga dari kerajaan Bedahulu di Bali, tiba-tiba menyerbu prajurit raja Wura-wari dari kerajaan Lwaram Dalam penyerbuan itu Prabhu Dharmawangsa Teguh dan permaisuri serta seluruh menteri dan bangsawan kerajaan tewas. Istana Watu Galuh dihancurkan. Airlangga dan kedua isterinya didampingi pelayan setianya, Mpu Narottama dan beberapa pengawal berhasil meloloskan diri dan berlindung di Gunung Prawito. Tiga tahun hidup di hutan Prawito sebagai pertapa, tahun 931 Saka Airlangga kedatangan serombongan orang dipimpin oleh beberapa pendeta untuk menyampaikan keinginan rahayat Medang agar Airlangga kembali membangun kerajaan baru meneruskan dinasti Ishyana. Dengan bantuan para pendeta, reshi dan brahmana, Airlangga menyusun kekuatan membangun kerajaan Medang. Diantara para reshi terdapat Mpu Bharada penasehat spiritual mendiang prabu Dharmawangsa Teguh, dibantu oleh Ki Ageng Loh Gawe, pertapa di Gunung Anjasmara Pada tahun 931 Saka istana Wotan Mas selesai dibangun dan Airlangga diangkat sebagai raja dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Kerajaan yang baru bernama Kahuripan. Atas jasanya membantu pembangunan kerajaan Kahuripan, Prabu Airlangga menghadiahkan tanah perdikan di desa Giri Lawangan kepada Ki Ageng Loh Gawe. Dalam kunjungannya ke Wotan Mas, Ki Ageng Loh Gawe mengajak muridnya bernama Ki Puger berusia 20 tahun. Mengetahui Ki Puger murid Ki Ageng Loh Gawe yang ikut membantu membangun Wotan Mas, Prabhu Airlangga meminta agar Ki Puger bersedia dinikahkan dengan sepupu raja yang bernama Dewi Centini Luh Satiwardhani atau Ni Luh Sati. Setahun setelah perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Aryosetho Jayawardhana. Tahun 954 Saka atau 1032 M Giri Lawangan diserbu gerombolan pimpinan Gagak Lodra. Sehari sebelum itu Ki Puger dan keluarganya pergi meninggalkan Giri Lawangan menuju ke pertapaan Kaliwedhi untuk menghindarkan Aryosetho Jayawardhana dari penyerbuan Gagak Lodra karena ia dipilih oleh para dewa sebagai cikal bakal yang kelak akan menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Di Kaliwedhi Aryosetho digembleng dengan keras oleh Reshi Sethowangi. Berkat ketekunannya ia memperoleh ilmu mahadahsyat ciptaan Sang Hyang Wishnu yang bernama Bhayu Selaksha dan menerima pedang sakti Sosronenggolo Setahun kemudian Aryosetho bersama Ki Puger turun gunung membantu Prabu Airlangga merebut kembali tahta kerajaannya yang direbut oleh Ratu Arang Ghupito. Berkat perjuangannya Aryosetho berhasil membantu Prabu Airlangga merebut kembali tahta kerajaannya. Dalam perjalanan dari kraton Dhaha kembali ke Kahuripan, ia dan prajuritnya berhasil menumpas gerombolan Gagak Lodra. Selesai menjalankan tugasnya Aryosetho mengajak sahabat masa kecilnya ke Kaliwedhi menjemput calon istrinya yang bernama Dyah Ayu Rogopadmi Aninditho Prameshwari alias Dewi Condrowulan. Beberapa waktu lamanya di Kaliwedhi, Aryosetho kembali ke Giri Lawangan memboyong Dewi Condrowulan yang telah menjadi istrinya dan hidup sebagai pertapa. Setelah 93 tahun pernikahannya Dewi Condrowulan di karuniai seorang putri. Namun kebahagiaan bersama sang putri yang dinantikan selama puluhan tahun hanya berlangsung selama 40 hari, setelah hari itu Dewi Condrowulan harus menyerahkan putrinya untuk diasuh oleh orang lain seperti dirinya dulu ditemukan Reshi Sethowangi di tengah hutan. Bayi tanpa nama itu diserahkan kepada Mpu Purwo, seorang pertapa sakti yang kemudian memberinya nama Ken Dedes. Ken Dedes kelak akan melahirkan keturunannya menjadi raja besar di kerajaan Singhasari dan Majapahit. Aryosetho dan Dewi Condrowulan telah berhasil menjalankan tugas yang diberikan oleh Dewata Agung sebagai pepunden cikal bakal raja-raja besar di tanah Jawa.

Uud_Bharata · Sejarah
5.0
3 Chs
Indeks
Jilid 1 :Galuh Raya
Jilid 2 :Warisan
Jilid 3 :Pertaruhan