webnovel

Setelah Kamu Merengek

"Masih belum mau cerita?" Sadam menghela napas, tidak lagi tau harus melakukan apa untuk membuat putrinya itu membuka mulut. Di sofa dekat ranjang, Adri sudah sibuk mengusap wajah dengan frustasi.

"Dya, laki-laki brengsek itu harus di beri pelajaran, jadi kasih tau gue siapa dia?" Dya masih bungkam.

"Dya, kalau lo sampai hamil-"

"Cukup!" ucapan Adri terputus karena Dya tiba-tiba saja membentaknya, mata perempuan itu menatap nyalang kepadanya.

"Keluar." ucap Dya dengan dingin.

"Sayang.." Sadam menyadari ada yang salah.

"Keluar! aku bilang keluar kalian!"

"Dya!" Sadam langsung memegangi putrinya sedangkan Adri sibuk menekan tombol darurat untuk memanggil perawat, adiknya itu tiba-tiba saja histeris.

Dokter datang dan langsung menyuntikan obat agar Dya kembali tertidur, Melihat wajah pucat saudaranya Adri tidak bisa menahan diri dari rasa bersalah. Dya terlihat sangat ketakutan ketika Adri menyebut soal pernikahan.

"Apa yang terjadi?" tanya Sadam kepada dokter yang baru selesai memeriksa Dya.

"Kenapa Dya tiba-tiba histeris?"

Dokter yang memeriksa Dya menghela napas sejenak, laki-laki tua itu tau kalau pasti akan sulit bagi keluarga pasien di hadapannya ini menerima penjelasannya.

"Dok?"

"Begini pak Sadam, putri ada sepertinya mengalamai depresi."

"Apa.." laki-laki tua itu menganggukan kepala.

"Untuk tau seberapa jauh depresi yang di derita Dya, kita butuh pemeriksaaan lanjutan. Tapi yang pasti, kejadian buruk yang menimpa putri bapak sangat berpengaruh pada psikisnya saat ini." laki-laki itu menghela napas sekali lagi.

"Saya sarankan jangan dulu membahas masalah ini di hadapan Dya, biarkan dia berdamai dengan hatinya lebih dulu." wajah dua laki-laki beda gerasi di hadapannya pucat pasi.

"Kalau begitu saya permisi."

***

Yudistira spontan langsung bersembunyi begitu melihat Sadam melintas, laki-laki itu melirik ruangan Dya sekali lagi dan melihat Adri keluar sembari sibuk dengan telefon. Merasa keadaan cukup aman, laki-laki itu membenahi penampilannya dan mencoba tidak gugup saat berjalan mendekati ruang perawatan Dya.

"Maaf, tapi saat ini nona Dya sedang tidak bisa di jenguk." Yudistira sudah menduga hal tersebut, penjaga yang berdiri di depan pintu pasti akan menahannya.

"Kamu enggak tau siapa saya?" Penjaga itu diam, laki-laki kaku itu tidak mungkin tidak mengenali salah satu anggota keluarga Wardana yang berdiri dengan angkuh di hadapannya.

"Minggir."

"Nona Dya sedang tidak bisa di kunjungi."

"Saya cuma mau mengantarkan karangan bunga, keluarga Wardana dan Aksara kan cukup dekat."

"Biar saya yang meletakan bunganya di dalam." Penjaga itu keras kepala, tapi Yudistira jauh lebih punya banyak akal.

"Oke, kalau gitu bawa bunganya." Laki-laki berkepala plontos itu jelas ragu, tapi demi pekerjaannya ia terima buket bunga dari Yudistira dan membuka pintu kamar perawatan Dya. Hal itu di manfaatkan Yudistira untuk menyelinap.

"Tuan!"

"Sttt, jangan berisik." Si penjaga mencoba menyeret tubuh Yudistira keluar, tapi sayangnya tenaganya tidak sebanding dengan anak tiri Wardana tersebut.

Keributan itu menarik perhatian Dya yang sedang termenung menatap jauh ke luar jendela, penjaga yang di tugaskan oleh Sadam untuk menjaga Dya langsung melepaskan Yudistira begitu melihat putri dari majikannya tidak histeris melihat laki-laki asing di kamarnya.

"Pergi, saya harus bicara empat mata sama Dya."

Awalnya si penjaga ragu, tapi karena nona mudanya juga tidak mengatakan apapun penjaga itu akhirnya menurut. Yudistira mengibaskan pakaiannya sebelum berjalan mendekati Dya yang sejak tadi terus memandanginya dengan tajam.

"Apa kabar Dya?" Yudistira memandangi pergelangan tangan Dya yang di perban, bibirnya tiba-tiba saja menipis tidak suka. Dya adalah tiket emasnya untuk mendapatkan kekuasaan Wardana, perempuan itu tidak boleh terluka.

"Kamu seharusnya enggak perlu melakukan ini." ucap Yudistira sembari berjalan mendekat, dengan tanpa rasa bersalah laki-laki itu merapikan karangan bunga di samping ranjang perawatan Dya.

"Karena aku berniat mempertanggung jawabkan semuanya." Yudistira tersenyum sinis.

"Tentu aja setelah kamu merengek." Laki-laki itu sekarang mendudukan diri di samping ranjang Dya, di genggamnya tangan perempuan itu dengan hati-hati."

"Kalau kamu hamil nanti, jangan ragu untuk datang Dya, karena aku enggak akan menolak kamu dan anak kita."

"Jangan mimpi." Desis Dya sengan dingin, sedangkan Yudistira tidak lagi bisa menahan tawa. Perempuan di hadapannya ini benar-benar memiliki harga diri yang tinggi.

"Hati-hati Dya, sekarang di mata orang-orang kamu udah cacat." Yudistira menahan ketika perempuan itu berusaha menarik tangannya dari genggaman. Di tepuknya punggung tangan Dya sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kalau buka aku, siapa lagi yang bisa nerima kamu?"

Yudistira tersenyum, laki-laki itu mengabaikan tubuh Dya yang bergetar marah dan tetap melanjutkan langkah untuk meninggalkan ruang perawatan Dya. Laki-laki itu berhenti tepat ketika tangannya akan menyentuh gagang pintu.

"Ah, aku tau kamu enggak begitu nyaman dengan panggilan 'aku-kamu', tapi di biasain ya. enggak mungkin kan kita tetep pake bahasa anak muda setelah menikah nanti?"

'Prang'

Yudistira berhasil menutup pintu kamar perawatan Dya tepat waktu, jika telat sedikit saja mungkin laki-laki itu akan membutuhkan perawatan sekarang. suara ribu-ribut di kamar Dya menarik perhatian perawat yang kebetulan lewat dan juga laki-laki plontos yang tadi menahan langkahnya.

"Panggil dokter, nona muda yang kamu jaga perlu perawatan segera." Penjaga itu jelas kebingungan, seharusnya ia menahan Yudistira dan mengintrogasinya tapi suara jeritan nonanya membuat penjaga itu tidak memiliki pilihan lain selain berlari dan memanggil dokter.

Satu bulan setelahnya

Dya berdiri di depan cermin, matanya terpejam sedangkan bibir pucatnya berkali-kali melafalkan doa. Jarinya mengetuk-ngetuk meja westafel resah, begitu alarm di ponselnya berdering perempuan itu langsung membuka mata.

"Hah." Dengus perempuan itu dengan mata berkaca-kaca, tangannya bahkan gemetar begitu mengangkat alat tes kehamilan yang di belinya kemarin sore.

"Sialan!" makinya sembari membuang alat tersebut ke tempat sampah, di sana ada sepuluh alat tes kehamilan lain dari berbagai merek.

"Kalau kamu hamil nanti, jangan ragu untuk datang Dya, karena aku enggak akan menolak kamu dan anak kita." Dya menutup telinganya kencang, ia benci begitu suara Yudistira menggema di dalam kepalanya.

"Hati-hati Dya, sekarang di mata orang-orang kamu udah cacat." Napas Dya mulai sesak, perempuan itu bahkan berkali-kali tersedak air matanya sendiri.

"Enggak." desisnya dengan mata terpejam, ke dua tangannya masih menempel di telinga.

"Aku enggak akan pernah ngebiarin laki-laki itu mendapatkan apa yang di mau." Dya berusaha mengontrol diri.

"Yudistira enggak akan mendapatkan apapun yang dia mau." Dya menatap bayangannya di cermin, penampilannya berantakan.

"Bukan aku yang akan merengek Yudis, tapi kamu. Laki-laki itu akan merengek karena gagal mendapatkan kekuasaan Wardna, liat aja. Aku akan membuat kamu menyesal karena sudah melibatkan aku sejauh ini demi mendapatkan tahta Wardana."