Mereka dikenal dengan panggilan hantu, setan, jin, roh dan masih banyak sebutan lainnya. Sejak dulu telah banyak orang yang mengetahui dan memercayai akan adanya keberadaan mereka. Baik itu dari cerita yang dikisahkan orang lain ataupun pengalaman pribadi saat berinteraksi dengan dunia mereka. Rama, seorang mahasiswa baru yang selama ini hidup tanpa memiliki impian secara tiba-tiba mulai bisa melihat dan merasakan keberadaan mereka. Semua itu berawal dari sebuah pertemuan dan mimpi yang tak pernah diduganya. Kehidupannya yang terasa membosankan dan tak berwarna pun perlahan mulai berubah sejak bersinggungan dengan dunia mereka. Seiring berjalannya waktu, dia akhirnya bisa mengalami dan memahami apa arti dari ketulusan dan penyesalan. Hingga tanpa disadarinya kekosongan yang selama ini dirasakannya secara perlahan-lahan mulai sirna. Dan pada akhirnya akankah dia berhasil membangkitkan sesuatu yang selama ini masih tertidur didalam dirinya? This is Awakening…
Malam perlahan menghilang, digantikan oleh cahaya fajar yang kian menerang. Merah dan jingga pun mulai menghiasi langit, layaknya sedang mengusir kegelapan untuk menyambut sang pagi.
Kuhirup aroma pagi itu, jiwa dan pikiranku pun terasa segar. Aku duduk disofa kost-anku, beristirahat sejenak seraya bersiap untuk memulai perjalanan baru di lingkungan yang baru juga. Kutatap layar TV hitam yang berisikan pantulan figurku. Hingga perlahan, rasa nyaman mulai memenuhi sekujur tubuhku. Aku tak kuasa mulai jatuh ke dalam lamunan tak berujung yang berisikan memori masa laluku.
**
Perkenalkan nama lengkapku adalah Rama Wijaya, aku sering dipanggil Rama. Ayahku memberikan nama itu karena sebuah alasan yang klasik. Alasannya sama seperti orangtua lain pada umumnya, yang menggunakan nama idolanya kepada anaknya. Yang kutahu, dulunya ayahku sangat menyukai cerita legenda wayang yang sampai kini masih juga dikisahkan. Kisah legenda populer yang sangat sering diadaptasi yaitu legenda Rama dan Shinta.
Ayahku berasal dari desa yang masih sangat kental dengan adat istiadat Jawa. Itu sebabnya Ayahku memiliki sifat yang konservatif, efek dari lingkungan asal muasalnya. Sedangkan di sisi lain, Ibuku sudah menetap di Jakarta sejak lahir. Jika dipikir-pikir, latar belakang mereka bisa dibilang sangat berbeda dan bertolak belakang. Begitu juga dengan sifat mereka. Tapi anehnya mereka bisa menikah dan berakhir hidup bersama, aneh bukan?.
Mereka berdua bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta yang berbeda. Secara finansial bisa dikatakan keluarga kami berkecukupan. Sejak kecil aku juga dididik untuk hidup dengan sederhana oleh orangtuaku. Mereka tak berharap aku menjadi orang yang hebat ataupun sukses, yang terpenting adalah aku dapat menjadi orang yang hidup dengan mengedepankan moral dan prinsip.
Aku adalah anak semata wayang alias anak satu-satunya di keluargaku. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku pasti sangat disayang dan dimanja kedua orangtuaku. Mungkin apa yang mereka pikir benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku memang merasakan kasih sayang dari mereka dari tindakan, tetapi tidak dari ucapan.
Sebab kedua orang tuaku memiliki ego yang sangat tinggi. Selain itu, kedua orangtuaku sangat sering berselisih pendapat dan bertengkar. Itulah sebabnya aku menjadi orang yang kurang percaya diri dan pendiam. Hingga perlahan tanpa kusadari aku yang saat kecil suka banyak omong, mulai sering memendam pikiran dan perasaanku sendiri saat beranjak dewasa.
Kehidupanku sejak kecil sampai aku menginjak bangku SMA bisa dikatakan biasa saja. Tiada kejadian unik ataupun menarik yang bisa kubanggakan. Aku hanya menjalani kehidupan yang membosankan. Aku hanya mengikuti arus dan melakukan aktivitas seperti orang lainnya tanpa mengetahui apa sebenarnya impianku itu sendiri. Jika ditanya mengapa aku tak mengetahui apa impianku sendiri? Alasannya adalah karena aku tak melihat bakat atau talenta yang menonjol dari diriku.
Sebenarnya aku sudah mencoba banyak hal, Olahraga? Saat bermain sepakbola, aku hanya menjadi pemain figuran yang bahkan hampir tak pernah menyentuh dan dioper bola oleh rekan timku. Musik? Saat menyentuh gitar, otak dan jari-jemariku tak bisa memahami dan sejalan saat mempelajarinya. Begitu juga saat bernyanyi, suaraku terdengar seperti orang yang sedang tercekik. Hingga pada akhirnya aku menyerah untuk serius mempelajarinya.
Aku masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apakah aku tidak memiliki bakat sama sekali? Jika terus begini, apakah aku dapat menikmati hidup kedepannya?. Aku ingin menjalani hidup sesuai dengan passion dan hal-hal yang kucintai, agar aku bisa menikmati hidup dan tak menyesal dikemudian hari.
Hingga didalam perenunganku, aku menyadari disekitarku ternyata banyak orang yang bernasib sama seperti diriku dan masih bisa hidup dengan baik-baik saja kok. Oleh sebab itu aku berusaha untuk menerima keadaanku, walau sejujurnya aku merasa minder dan iri saat melihat orang lain yang bisa memamerkan bakatnya.
Saat sedang asik melamun, tiba-tiba seseorang mengejutkanku dengan teriakannya dari arah belakang.
"Woi, pagi-pagi dah ngayal aja lo hahaha." ucap seorang pria
"Bangke." ucapku sambil terpenranjat dari sofa yang kududuki.
"Ngayal apaan coba lo? Ngayal cewek yang lagi bugil ya? Hahaha" ejeknya
"Lo kira gw mesum kayak otak lo. Gw sampe ngayal gini gara-gara nungguin lo yang dandannya lama banget." balasku dengan kesal
"Yaudah, berangkat yok." ucapnya sambil merangkul bahuku.
Kami berdua pun melangkah menuju pintu keluar kost-an. Sebenarnya pagi ini kami berdua pertama kalinya akan berangkat menuju kampus sebagai mahasiswa yang melaksanakan ospek. Sebelumnya, pria yang berbicara dan merangkul bahuku adalah Steven.
Dia adalah satu-satunya sahabat yang kupunya sepanjang hidupku saat itu. Bisa dibilang dia termasuk salah satu siswa terpopuler di sekolahku. Alasannya adalah karena dia memiliki wajah yang tampan kebule-bulean dan postur tubuhnya yang tinggi seperti model. Ditambah lagi dengan sifatnya yang ramah dan humoris, membuat dia selalu menjadi pusat perhatian bagi kaum hawa.
Berbanding terbalik denganku yang memiliki wajah dan postur tubuh yang biasa-biasa saja. Begitu juga sifatku yang pendiam dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Mungkin jika ada yang unik dari diriku yang sering kudengar dari orang lain dan Steven adalah tatapan mataku. Akibatnya seringkali orang yang baru mengenalku selalu bertanya apakah aku sedang marah saat berbicara dengannya. Itu sebabnya aku mencoba untuk tidak menatap orang lain disekitarku, agar mereka tak berprasangka buruk nantinya.
Sebenarnya Steven seringkali mengoceh kalau aku sebenarnya memiliki wajah yang tampan. Tapi aku tidak percaya dan tak menggubris omongan darinya. Karena aku menganggap dia hanya berusaha membantuku untuk menaikkan kepercayaan diri. Jadi aku mengiyakan apa saja ocehannya agar tidak berkepanjangan.
Jika diumpamakan, Steven adalah cahaya yang terang benderang sedangkan aku adalah bayangan yang bersemayam didalamnya. Tapi kedua hal itu tidak dapat terpisah, mungkin itu sebabnya kami dapat menjadi sahabat walau memiliki image yang sangat kontras.
Kami berdua kenal pertama kali pada saat kelas 1 SMP, kebetulan waktu itu kami berada dikelas yang sama. Saat ini kami baru saja lulus dari jenjang pendidikan SMA. Dulunya, beberapa hari setelah lulus ujian nasional, kami berdua memutuskan akan melanjutkan pendidikan ke universitas dan jurusan yang sama di Jakarta. Setelah menjalani semua proses registrasi dan test, untungnya kami berdua diterima di universitas itu.
Berhubung jarak antara rumah dan kampus kami yang tergolong sangat jauh. Aku dan Steven berinisiatif untuk hidup ngekost di dekat daerah kampus. Untungnya kedua orangtua kami setuju dan memperbolehkannya. Hitung-hitung menambah pengalaman agar kami bisa hidup lebih mandiri kedepannya.
**
Karena sedang asik mengobrol, tak terasa ternyata posisi kami sudah berada tak jauh dari gerbang masuk kampus. Disana terlihat banyak mahasiswa baru yang sedang berbondong-bondong dan bergegas memasuki gerbang.
"Ram, ternyata sesuai ekspektasi gw. Disini emang banyak banget cewek cantiknya ya. Ga nyesel dah gw masuk kampus ini." celetuk Steven sembari celingak-celinguk memandangi para kaum hawa yang berada disana.
"Masih sempet-sempetnya aja lo liatin cewek. Perhatiin panitia ospeknya tuh, matanya udah sampe mau keluar buat melototin kita." sindirku pada Steven sambil bergegas melangkah menuju lapangan.
Setelah sampai di lapangan, semua mahasiswa baru langsung disuruh berbaris dengan mengikuti instruksi dari panitia. Lalu kegiatan dilanjutkan dengan kata sambutan dari Rektor dan para pejabat kampus. Pidatonya terasa sangat formal dan membosankan. Aku tak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan, sebab aku memilih untuk menikmati lamunanku. Hanya sesekali aku menoleh dan memperhatikan mahasiswa yang ada disekitarku, untuk memastikan keadaan.
Akhirnya setelah upacara penyambutan yang membosankan itu selesai. Kami diarahkan untuk kembali ke fakultas kami masing-masing. Disana kami disuruh untuk berbaris lagi, walau dalam suasana yang berbeda. Suasana tegang dimana banyak mata sinis memandangi kami dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Dan tibalah saatnya panitia ospek melaksanakan tugas dan pertunjukan dramanya. Seperti berteriak sekeras mungkin sambil mencari kesalahan para peserta ospek. Selain itu mereka juga memberi tugas-tugas aneh yang sebenarnya aku tak mengerti apa tujuan dan manfaatnya.
Setelah selesai mengecek pakaian, perlengkapan dan melabrak para mahasiswa baru, kegiatan selanjutnya pun dimulai.
"Waktunya pembagian kelompok." teriak salah satu panitia ospek di podium.
Pada saat pembagian kelompok, panitia ospek sengaja memisahkan peserta yang dulunya berada di sekolah yang sama. Otomatis aku harus berada di kelompok yang berbeda dengan Steven. Aku terpaksa harus bersosialisasi dan bergaul dengan orang-orang baru.
Panitia ospekpun memanggil nomor dan membacakan nama-nama yang berada dikelompok itu satu persatu. Hingga akhirnya aku mendengar namaku terpanggil di kelompok tiga belas, yaitu kelompok yang berisikan empat orang anggota. Setelah panitia selesai memanggil semuanya, aku dan mahasiswa lainnya langsung bergegas pergi mencari anggota kelompok kami masing-masing.
Setelah mencari dengan susah payah, akhirnya aku menemukan mereka yang sedang berteriak "kelompok tiga belas" sambil melambai-lambaikan tangannya. Tak memakan waktu yang lama, semua anggota kelompok kami akhirnya berkumpul. Kami langsung bersepakat untuk memperkenalkan diri masing-masing secara bergiliran.
Aku sengaja menunggu mereka memperkenalkan diri terlebih dahulu. Karena aku akan merasa canggung jika menjadi orang yang pertama kali memperkenalkan diri.
"Halo semuanya, nama gw Raka. Mohon kerjasamanya." ucap seorang laki-laki berkacamata lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Kuperhatikan tampak ukuran tubuhnya yang sedang, ekspresi wajahnya terlihat cukup berkharisma. Bagiku, penampilan dan gerak geriknya terkesan seperti seorang ketua OSIS semasa aku SMA dulu. Aura yang terpancar darinya adalah aura dari para siswa-siswa teladan.
Lalu dilanjutkan oleh seorang wanita dengan tubuh mungil dan berkulit sawo matang. Panjang rambutnya sekitar sebahu dan ekspresi wajahnya yang selalu tersenyum membuat figurnya terkesan imut dan polos.
"Hai, namaku Gayatri, biasanya dipanggil Tri. Salam kenal ya semuanya." ucapnya dengan suara yang manis.
Sesudah Gayatri, tanpa basa-basi wanita disebelahnya langsung memperkenalkan dirinya.
"Salam kenal, namaku Adellia biasa dipanggil Adel." ucap wanita itu dengan nada yang tenang.
Tubuhnya terlihat cukup tinggi dan proporsional bagaikan seorang model. Wajahnya oriental dan kulitnya berwarna putih cerah. Tapi bagiku, yang paling menarik dari Adellia adalah ekspresi wajahnya saat tersenyum. Senyumannya terlihat sangat manis, sebab saat tersenyum matanya tampak berbentuk bulan sabit. Ditambah lagi dengan kombinasi rambut hitamnya yang panjang terurai. Sehingga dimataku, penampilannya tampak sangat elegan dan mempesona.
Walau memakai pakaian yang sama dengan mahasiswi yang lain, dia tampak berbeda dan unik. Gayanya terlihat sangat modis dan rapi. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang unik dan menarik sejak pertama kali aku melihat dirinya. Apa mungkin karena dia terlalu cantik? Tapi sepertinya itu bukan alasan utamanya.
Hingga pada akhirnya, sudah waktunya giliranku untuk memperkenalkan diri.
"Halo, nama gw Rama" ucapku dengan singkat dan garing.
Aku merasa canggung, karena dari dulu aku tidak pandai bersosialisasi dengan orang yang baru kutemui. Biasanya aku hanya bisa berkata secara singkat, jelas dan padat. Hingga suasana berubah menjadi canggung seketika. Mungkin alur dari pembicaraan langsung terpotong karena nada ucapanku yang sangat datar dan tanpa ekspresi.
"Hmmm, omong-omong kalian asalnya dari kota mana aja nih?" tanya Gayatri yang berhasil mencairkan suasana
"Gw dari Jakarta Tri." jawab Raka
"Surabaya." ujar Adellia
"Jakarta." ucapku
Setelah dilanjutkan dengan bincang-bincang singkat dan perkenalan diri, kami langsung bergegas menemui kakak tingkat yang bertugas mengawasi dan memberikan tugas ke kelompok kami.
Kating yang mengawasi kelompok kami adalah seorang pria yang bernama Ansel. Kesan pertamaku saat melihatnya adalah bahwa dia orang yang ramah dan santai. Sebab aku memperhatikan dia selalu memasang ekspresi wajah yang ceria, berbeda dengan kating yang lain.
Sambil memegang selembar kertas ditangannya, dia mulai berbicara.
"Untuk Kelompok tigabelas, ini daftar peralatan dan tugas yang harus kalian kumpulkan untuk ospek besok. Jadi, jangan sampai ada yang telat dan gak lengkap, OK?" ujar Ansel sambil menyerahkan kertas itu kepada Raka
Setelah menjelaskan semua yang penting, Ansel langsung pamit dan pergi meninggalkan kami. Dikarenakan waktu sudah menunjukkan pada pukul lima yang artinya sudah waktunya kegiatan ospek hari ini berakhir. Sementara itu, kelompok kami harus berdiskusi dan membagi tugas terlebih dahulu sebelum pergi pulang. Kami berinisiatif untuk membuat groupchat untuk mempermudah komunikasi.
Kebetulan saat itu diskusi kelompokku selesai lebih cepat daripada kelompok Steven. Jadi, aku masih harus menunggu didepan pintu gerbang kampus. Sambil menunggu Steven menyelesaikan diskusi dengan kelompoknya, aku hanya memperhatikan mahasiswa lainnya yang melangkah berkeliaran keluar dari kampus.
Tak lama kemudian, setelah menunggu sekitar sepuluh menit akhirnya aku bertemu dengan Steven. Tanpa berpikir panjang, kami langsung memutuskan untuk pergi pulang. Kami hanya mengobrol dan bercanda santai disepanjang perjalanan pulang.
"Ram, gimana tadi kelompok lo? Ada yang cantik gak disana?" tanya Steven sambil cengar-cengir.
"Hadeh, kalo ada yang cantik juga gak akan gw kasih tau ke lo. Kasian tuh cewek, kalo bakal jadi korban lo selanjutnya." ucapku
"Yah gak asik lo ahh, coba kenalin ke gw dong. Soalnya dikelompok gw rata-rata cowok smua coy." keluh Steven
"Hahaha rasain, makan dah tuh batang." Ejekku
"Emang kampret dah lo." Balasnya sambil memukul pelan perutku
"Omong-omong, kating lo cewek apa cowok Ram?" tanya Steven
"Cowok, kalo lo?" tanyaku balik
"Cewok Ram." jawabnya sambil terkekeh
"Ha? Maksudnya?" ucapku dengan bingung
"Setengah cewek, setengah cowok." balasnya sambil menahan tawa
Mendengar ucapannya hanya bisa membuatku menggeleng-gelengkan kepala.
Sembari diperjalanan pulang, tak sengaja aku melihat Adellia yang sedang berjalan sendiri tidak jauh dari posisiku. Tapi anehnya aku melihat dia seperti sedang berbicara sendiri sambil sesekali menoleh ke arah kirinya yang kosong. Hingga tak lama kemudian, saat aku sedang asik memandang figurnya.
Tiba-tiba Adellia menoleh kebelakang dan membalas pandanganku.
Bersambung...