webnovel

Truth or Dare

Adellia dan Melissa berhenti bergerak seketika, mereka mulai membuka kedua mata, lalu memandangku dengan ekspresi menahan tawa. Ternyata mereka juga mendengar ucapan dari Riska.

Untung saja Riska datang, karenanya aku bisa terbebas dari siksaan dua wanita ini. Tetapi di sisi lain aku tak tau harus bagaimana menjelaskan situasi barusan kepada Riska. Karena apapun alasan yang kukatakan tidak akan mengubah kesan ambigu dari mobil yang bergoyang-goyang.

Dari kaca mobil aku bisa melihat sebuah rumah berukuran besar lengkap dengan halamannya yang sangat luas. Halaman rumah itu tampak seperti taman yang dihiasi dengan banyak bunga yang beralaskan rerumputan tertata rapi. Selain itu juga ada beberapa fasilitas seperti ayunan, seluncuran dan permainan lainnya. Bisa dibilang tempat ini sangat cocok sebagai tempat bermain anak kecil.

Villa ini juga sangat terlihat eksklusif sebab berada dilokasi yang strategis, disekitarnya cuma ada hutan dengan pepohonan lebat dan beberapa rumah yang jaraknya bisa dikatakan cukup jauh.

Sambil memandangi lokasi sekitar, aku masih sibuk memutar otakku untuk mencari alibi yang paling masuk akal. Tetapi tak kunjung muncul juga, hingga pada akhirnya aku hanya bisa berpasrah dan keluar dari mobil dengan canggung.

Sedangkan Adellia dan Melissa keluar dengan memasang ekspresi wajah polos layaknya tidak terjadi apa-apa. Aku tak menyangka mereka berdua bisa berakting dengan sangat natural, sungguh menakutkan, pikirku. Untungnya saat itu cuma ada Steven dan Jessica yang bersama Riska. Jika ada Ilham mungkin dia akan memelototiku layaknya ingin menelanku hidup-hidup.

Sedangkan Riska hanya memandangi kami dengan tatapan bingung dan penuh curiga. Aku hanya membalasnya dengan senyuman terpaksa yang tampak sangat palsu. Dalam beberapa saat kami cuma berpandang-pandangan tanpa mengucap sepatah kata apapun. Semakin lama situasinya menjadi makin canggung dan ambigu. Hingga pada akhirnya Steven berhasil mencairkan suasananya dengan mulai membuka pembicaraan.

"Anak-anak yang lain pada kemana kak?" tanya Steven

"Udah pada masuk kedalam villa semua dari tadi. Kalian masuk juga gih." jawab Riska

"Oke kak, omong-omong pembagian kamarnya jadi gimana ya?" tanya Steven lagi.

"Dua kamar diatas buat cewek, dua kamar dibawah buat cowok." jawab Riska

"Yaudah kita masuk dulu ya kak." ucap Steven lalu membawa kopernya masuk.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas membawa tasku dan mengikutinya dari belakang. Begitu juga dengan Adellia dan Melissa yang membawa tasnya masing-masing lalu mengikutiku. Aku hanya membawa pakaian dan peralatan yang seadanya saja, sebab kami hanya berencana liburan tiga hari saja disini.

Setelah menginjakkan kaki didalam villa, aku mulai melihat bentuk desain rumah yang sangat mewah. Di lantai satu tampak ruang tamu yang luas dilengkapi dengan perabotan dengan kesan modern dan rapi. Didekatnya ada ruangan dapur yang tampak minimalis. Selain itu di bagian belakang tampak kolam renang yang cukup besar disertai dengan tempat untuk bersantai disekelilingnya.

Di ruang tamu tampak rombongan Ilham,Ivan dan Thalia yang sedang duduk santai di sofa. Sepertinya mereka sudah sampai cukup lama disini, sebab kelihatannya mereka sudah berganti dengan pakaian yang lebih santai. Aku hanya memperhatikan mereka sekilas lalu bergerak mencari kamar untuk meletakkan tasku. Beberapa saat kemudian, aku melihat ada dua kamar yang bersebelahan. Salah satu kamar itu dalam keadaan pintu terbuka yang didalamnya tampak telah dipenuhi dengan barang-barang orang lain.

Aku langsung membuka pintu kamar disebelahnya dan meletakkan tasku disana. Sebab aku tau kalau kamar disebelah telah ditempati oleh Ilham dan Ivan. Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega, karena untung saja aku tidak harus tidur sekamar dengan Ilham. Membayangkannya saja sudah membuatku tak nyaman. Belum lagi aku susah berkomunikasi dengan orang yang baru kukenal. Ditambah dengan kami berdua yang memiliki kesan buruk akan satu sama lainnya.

Steven juga menyusulku masuk ke dalam kamar setelah ngobrol dan mengantarkan Jessica ke kamar atas. Kami berdua langsung mengganti pakaian kami dengan pakaian rumahan yang lebih santai. Saat itu aku hanya ingin berbaring dan beristirahat senyaman mungkin, sebab aku merasa sangat kelelahan. Disepanjang perjalanan, sekujur tubuhku terasa sangat pegal dan rasanya energiku telah dikuras sampai habis. Itu semua disebabkan oleh tingkah kedua wanita yang membuatku bahkan tak bisa bernafas dengan tenang.

Selagi aku sedang menutup kedua mataku dan berbaring di tempat tidur dengan nyaman, tiba-tiba Steven mulai memanggilku dan membuka percakapan.

"Ram, kayaknya lo bakal dapat jackpot deh tiga hari ini." ucapnya santai

"Emang lo kira lotre pake acara jackpot segala." balasku

"Hahaha, Itu Adellia sama Melissa udah nempel kayak perangko. Sampe gak mau lepas dari lo." ucapnya sambil tertawa

"Nempel sih nempel, tapi kepala gw yang pusing kalo mereka lagi pada ribut." ucapku kesal

"Pelet lo emang juara dah, lo nyari suhu dimana sih?" ejeknya

"Gw diajarin pelet sama Indira ven. Tapi sebagai imbalannya, dia minta gw bantuin biar bisa deket lagi sama lo hahaha." balasku sambil tertawa lepas

"Tega amat dah lo ngejual gw ke dia. Tapi jangan bahas-bahas tentang dia lagi dong Ram. Cuma denger namanya doang dah merinding nih gw." ucap Steven sambil menunjukkan bulu kuduknya yang merinding.

"Hahaha, ntar kalo lo didatengin sama dia lewat mimpi, kayaknya sih bakal seru Ven." tambahku lagi.

"Seru mata lo, yang ada gw diperkosa sama dia." balasnya

"Tapi bukannya lo malah seneng kalo diperkosa sama cewek? hahaha." tanyaku

"Hmmmm, iya juga sih. Tapi yang paling penting sih ceweknya harus cantik." jawabnya dengan senyum sumringah

"Emang dasarnya otak lo aja yang mesum. Moga aja yang perkosa lo itu cowok." ucapku sambil tertawa terbahak-bahak.

"B*ngs*t lo Ram, doanya jelek banget dah. Mending gw ngobrol sama Jessica aja deh." ucapnya lalu pergi keluar dari kamar.

Aku hanya menertawainya lalu melanjutkan istirahatku di kamar dengan santai. Rencananya malam ini kami akan mengadakan acara barbeque di halaman villa. Jadi sore ini kami bisa beristirahat dan bersantai dengan tenang terlebih dahulu. Suasana yang sepi dan udara yang sejuk berhasil membuatku perlahan-lahan tertidur dengan pulas.

Hingga kemudian aku merasakan ada seseorang yang sedang menepuk-nepuk pelan pipiku. Perlahan-lahan aku mulai membuka kedua mataku. Refleks aku langsung mengedip-ngedipkan mataku untuk menjernihkan pandanganku yang masih tampak kabur. Saat pandangan mataku sudah tampak jelas, aku menyadari bahwa Adellia sedang menatapku dengan senyuman manisnya yang khas. Secara spontan bibirku juga mulai tersenyum merespon senyumannya.

"Kamu mandi dulu gih Ram, sekarang udah jam tujuh malam soalnya." ucap Adel perlahan

"Hmmm, iya Del. Yang lain udah pada siap semua emangnya?" tanyaku pelan sambil menguap kecil.

"Anak-anak yang lain masih pada siap-siap kok, santai aja Ram, gausah buru-buru." jawab Adel

"Oke deh Del, aku lanjut tidur bentar kalo gitu." ucapku lalu kembali mengambil posisi terlentang di kasur.

"Ih, aku bilang santai bukan berarti kamu bisa lanjut ngebo lagi. Mandi gihhh!!!" balas Adel sambil mencubit lenganku.

"Arrghhh, iyaa...iyaaa Del." jeritku kesakitan, aku langsung mengambil pakaianku dan bergegas pergi menuju kamar mandi.

Tak terasa aku telah tidur dalam waktu beberapa jam, padahal tubuhku masih terasa pegal dan lelah. Walau sebenarnya aku masih ingin melanjutkan istirahatku, tapi dengan terpaksa aku harus pergi mandi dan bersiap-siap untuk mengikuti acara barbeque malam ini. Beberapa saat kemudian, setelah selesai mandi dan mempersiapkan diriku. Adellia langsung mengajakku pergi menuju ruang tamu, disana semua orang tampaknya sudah berkumpul terkecuali Thalia. Sepertinya dia masih sibuk mempersiapkan dirinya di lantai atas.

"Lama banget nih kelarnya Ram." ucap Steven dengan ekspresi mesumnya.

"Jangan mancing-mancing deh lo, ntar gw panggilin Indira." balasku

"Siapa tuh Indira?" tanya Jessica dengan nada curiga.

"Gatau beb, Rama kayaknya lagi ngigau tuh." jawab Steven dengan senyuman palsunya.

Jessica hanya diam dan membalas ucapan Steven dengan tatapan sinis karena tak percaya. Beberapa saat kemudian, saat semuanya sedang asik berbincang-bincang. Akhirnya Thalia muncul dan langsung berjalan mendekati Ivan lalu merangkulnya. Sejauh ini aku melihat hubungan mereka berdua tampak sangat mesra. Seperti pasangan yang baru saja pacaran, mereka berdua seringkali tampak saling bermanja-manjaan.

Karena semua orang sudah berkumpul, Riska langsung mengajak kami semua untuk pergi ke halaman villa. Disana tampak supir dan karyawan penjaga villa ini sedang mempersiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan. Setelah semuanya telah selesai dipersiapkan, supir dan penjaga villa pamit pergi meninggalkan kami.

Tak menunggu lama, kami langsung memasukkan bahan-bahan seperti daging,sosis,jagung dan macam-macam lainnya ke panggangan. Selagi menunggu dan mempersiapkannya, kami mulai berbincang-bincang satu sama lainnya. Walaupun cuaca disana terasa sangat dingin, suara canda dan tawa kami berhasil menghangatkan suasana pada malam itu. Perlahan-lahan kami mulai terasa makin akrab satu sama lainnya, terkecuali Ilham. Entah kenapa kami berdua masih canggung dan enggan berbicara satu sama lainnya.

Sementara itu disisi lain, Adellia dan Melissa rasanya menjadi akur dan tidak berebut untuk berdekatan denganku. Aku akhirnya bisa merasa lebih lega dan berekspektasi untuk menikmati liburan ini dengan tenang. Sedangkan kedua pasangan lainnya tampak sedang menikmati momen ini dengan bermesraan satu sama lainnya.

Untuk lebih meramaikan suasana, Riska berinisiatif untuk mengajak kami semua bermain game. Riska mulai mengeluarkan beberapa kotak kecil yang berisikan kartu uno. Sebelum memulai permainan, kami bersepakat untuk menghukum orang yang kalah dengan mencoret wajahnya menggunakan spidol hitam. Disepanjang permainan, yang paling sering kalah adalah Steven dan Thalia. Sedangkan yang tak pernah kalah sama sekali cuma Adellia dan Riska saja.

Setelah berjam-jam kami meluangkan waktu untuk bermain kartu uno yang diselingi dengan canda dan tawa. Riska mulai mengajukan untuk bermain truth or dare sebagai permainan penutup malam ini. Steven tampak mulai bersemangat dan heboh sebab permainan seperti ini adalah hal favoritnya sejak dulu. Karena semuanya setuju, kami mendekat membentuk lingkaran, sedangkan Riska bergerak mengambil sebuah botol minuman dan meletakkannya ditengah-tengah meja.

"Oke, sekarang kita mulai yaa." ucap Riska lalu memutar botol itu dengan tangannya.

Sejujurnya aku agak gugup sebab bila botol itu mengarah padaku, aku yakin mereka akan menanyakan atau menyuruhku melakukan hal-hal yang aneh dan memalukan. Hingga perlahan-lahan botol itu pun mulai berhenti. Pada akhirnya ujung botol itu ternyata mengarah kepada Melissa. Dikarenakan Riska yang memutar botolnya, maka dia yang akan memberikan pertanyaan terlebih dahulu.

"Truth or Dare?" tanya Riska

"Truth aja deh." jawab Melissa

"Oke, ini pertanyaannya. Apa lo bener-bener suka sama Rama? kalo iya apa alasannya?" ucap Riska sambil tersenyum melirikku.

Ternyata apa yang terjadi sesuai dengan dugaanku. Karena pertanyaan itu, semua pandangan menjadi berfokus pada diriku dan Melissa.

"Iya bener, gw suka sama Rama." ucap Melissa tanpa basa-basi.

Sebelum Melissa mengutarakan alasannya, Steven dan Ivan terlebih dahulu memotongnya dengan sorakan dan tawa.

"Uhuyyy... uhuyyyy... makin seru aja nih." ucap Steven sambil menyenggolku

"Diem dulu beb, Melissa belum selesai ngomong nih." timpal Jessica kepada Steven

"Iya sorry beb, lanjutin gih Mel." ucap Steven dengan cengiran di wajahnya.

"Kalo alasannya sih, karena cinta pada pandangan pertama kali ya? haha." jawabnya sambil tersenyum memandangku.

"Cieee..cieeee.. hahaha." sorak Steven dan Ivan, ditambah dengan suara tawa Jessica dan Thalia.

Aku hanya bisa diam dan berusaha memasang ekspresi sedatar mungkin agar ejekan mereka tidak semakin menjadi-jadi.

"Oke next, lo yang muter botolnya Mel." ucap Riska

Melissa mengangguk dan tanpa banyak omong langsung memutar botolnya. Botol yang berputar itu perlahan-lahan mulai berhenti, hingga pada akhirnya ujung botol itu mengarah kepada Ilham.

"Truth or Dare?" tanya Melissa

"Truth." jawab Ilham dengan singkat.

Tampak bibir Melissa yang mulai tersenyum seraya memandang ke arah Ilham. Dari ekspresi yang ditunjukkannya, memunculkan perasaan yang tidak enak dibatinku. Sepertinya dia memiliki niat terselubung, ucapku dalam hati. Ternyata benar sesuai dugaanku, perlahan Melissa melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat suasana menjadi hening seketika.

"Apa lo suka sama Adellia?"

Bersambung....

Next chapter