Ini adalah hari 240 papaku tidak peka. Bagaimana bisa dia sama sekali tak mengerti apapun keinginanku. Aku ingin memakan daging ayam, dia memberiku bubur yang menjijikkan. Aku ingin minum anggur, tapi malah diberi susu. Sampai kapan aku harus memakan dan meminum semua itu? Aku merindukan kehidupanku dahulu saat menjadi pangeran di Istana Tranmoz.
Baiklah, aku akan manunggu dan terus menghitung hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun sampai aku cukup dewasa nanti. Yang anehnya lagi, kekuatanku tidak ada yang tersisa sedikit pun di tubuh bayi ini. Ini masih mengandung banyak misteri. Apa sebenarnya rahasia dari pusaran angin itu? Apa semua yang melewatinya akan berubah wujud menjadi bayi sepertiku dan terjebak di dunia manusia?
Mungkinkah Panglima Verrold juga akan menjadi bayi juga karena melewati pusaran angin misterius itu. Hahaha, kenapa membayangkannya saja sudah membuatku geli. Bagaimana jika Panglima Verrold yang biasanya membawa pedang hitam itu tiba-tiba harus memegang dot? Itu menggelikan, bukan?
"Kei-chan~! Putra papa yang begitu menggemaskan ini ternyata sudah bangun. Ini susu untukmu, Baby," ucap pemuda itu sambil menyodorkan dot ke mulut mungilku.
Sialan! Baru saja aku membayangkan Panglima Verrold yang akan memegang dot, tapi saat ini aku juga harus meminum susu dengan dot. Aku berharap semua rakyat di bawah kekuasaan Tranmoz tidak akan ada yang tahu pangeran mereka melakukan hal gila ini.
Aku dengan sengaja menjatuhkan dot dari mulutku saat papa tidak mau memegangkan botol susu itu. Enak saja dia! Aku tidak sudi ya memegang botol susu ini. Memang dia kira aku siapa? Aku ini adalah Pangeran Althair, keturunan asli Valfredo, ras Kitsune paling terpandang di alam kami. Aku selalu dilayani sejak dulu.
"Kei-chan, pegang botolmu sendiri, Baby! Papa harus bersiap-siap berangkat sekolah dulu." Pemuda itu berucap sambil memaksaku memegang botol susu ini. Sialan memang dia! Dikarenakan susu ini terasa lumayan enak, aku terpaksa memegangnya juga pada akhirnya. Tidak apa-apa. Aku akan coba bersabar untuk sementara waktu hingga aku besar nanti.
Ah, iya. Aku tidak tahu ke mana pemuda itu perginya setiap hari, dari pagi hingga sore. Aku selalu dititipkan di rumah tetangga yang kebetulan tidak memiliki anak. Jika tak salah dengar, pemuda yang mengaku papaku itu bilang kalau ingin pergi bersekolah.
Aku tidak terlalu tahu kehidupan di dunia manusia. Mungkinkah sekolahan di sini sama seperti sekolah kerajaan di negeriku dulu. Semua siswa mempelajari sastra dan belajar memperkuat dirinya. Setiap tahunnya akan ada 'Ujian Kerajaan' yang mendapat peringkat tinggi akan mendapat posisi penting di Kerajaan Tranmoz. Mungkinkah seperti itu juga sekolahan di sini?
***
"Wah~ Keisuke-kun sudah tampan sekarang. Kita ke rumah Minama Ba-san dulu ya, Baby!" Pemuda itu berucap sambil menggendongku di lengannya.
Beberapa menit lalu, dia telah memandikanku. Itu benar-benar adegan yang menjijikkan. Tak jarang juga pemuda yang mengaku papaku itu, mengajakku mandi bersama. Dia meletakkanku di bak, sedang dia mandi juga di sebelahku. Tenang saja! Mataku masih suci. Selama ini aku selalu memejam mata, kalau tidak ya berbalik melihat ke dinding, jika papa mengajakku mandi bersama.
Awalnya aku akan menangis kencang. Tapi, setelah 8 bulan ini aku jadi terbiasa melakukan hal itu. Lagipula, papa juga sama sekali tak mengerti ucapanku, bukan?
Kabar baiknya, aku sudah bisa mengucapkan kata 'papa' dengan jelas saat ini. Sayangnya, belum bisa mengumpat dengan benar. Padahal, aku ingin sekali mengucapkan, 'Papa mesum! Papa sialan!'.
Kami sudah berada di depan rumah Bibi Minama saat ini. Papa mengetuk pintu kayu berwarna cokelat tua itu.
Setelah beberapa detik, pintu terbuka. Bibi Minama langsung menyambut kami dan meraihku dari gendongan papa.
"Titip Keisuke lagi ya, Ba-san!" pinta papa pada wanita paruh baya ini.
Bibi Minama terlihat menepuk kepala papa.
"Tenang saja, Takumi-kun! Aku akan menjaga adikmu."
Setelah mendengar ucapan itu, papa mendekatkan wajahnya dan mencium pipiku. Sumpah, ini menjengkelkan! Tapi, aku tidak dapat berbuat apa pun saat ini, selain menangis sebagai bentuk penolakan.
Bibi Minama mengayunkan tubuhku pelan untuk menenangkanku. Aku dapat melihat ekspresi papa, yang sepertinya tidak tega meninggalkanku yang menangis ini. Salah sendiri tadi mencium pipiku! Jadi, aku menangis karena kesal.
Tapi, kasian juga melihat wajah papa seperti itu. Aku berhenti menangis saat ini dan aku melihat papa tersenyum. Setelah itu ia melambaikan tangan dan berpamitan pada kami, bahwa dia akan bersekolah dengan benar.
Hmm, aku tidak tahu isi otak papa itu apa sebenarnya. Dia menggembor-gemborkan dirinya adalah papaku. Tapi, saat bersama orang lain, dia menyebutku sebagai adiknya. Entah apa yang ia sembunyikan sehingga mengatakan itu.
Aku bahkan bingung, sebenarnya aku ini anak atau adik dari pemuda ceroboh itu, ya?
To be continued ....