webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
125 Chs

Diminta ketemu ortu

Motor merah kuparkir di pelataran parkir supermarket setelah mengambil sejumlah uang di ATM, di seberang supermarket terbesar di kotaku. Walaupun tidak jauh dari rumah, tapi aku jarang berada di sini. Aku lebih suka menghabiskan waktu di toko buku –lebih menarik daripada berputar-putar tidak jelas di mall atau supermarket. Kecuali memang untuk berbelanja, atau khusus makan di mall.

Aku mempercepat langkah memasuki gedung untuk bertemu Noni. Dia sudah menunggu di salah satu restoran di gedung supermarket ini. Di eskalator hanya ada aku dan dua orang lainnya di depan. Ketika mataku mengedar, aku menemukan pemandangan yang tidak lazim. Di sekitarku ternyata cukup sepi mengingat hari ini adalah akhir pekan.

"Udah lama, Non?"

"Lumayan," jawabnya enteng.

Satu gelas minuman cokelat sudah tersisa separuh. Aku menarik kursi dan membuka buku menu sebelum pelayan restoran datang. Ragam menu yang tertera di buku, tetapi sama saja dengan tempat lain pada dasarnya. Tidak ada makanan istimewa yang menjadi ciri khas sebuah restoran. Noni asyik dengan ponsel sambil menyeruput es cokelatnya.

"Gimana kerjaan loe?"

"Alhamdulillah, lancar. Nggak ada masalah. By the way any busway, cuma kita aja nih berdua?"

Noni mengangguk. Dia menjelaskan alasan dua personil lainnya tidak bisa ikut nimbrung kali ini. Aku menyimak kemudian mengangkat pandangan setelah menutup buku menu.

"Trus, apaan lagi sih masalah si Tia?"

"Yang kayak gue bilang tempo hari, mantan lakinya kan naik banding. Jadi –"

Aku mengangguk mantap satu kali. Dia menjeda sebentar menyeruput cokelat di gelasnya hingga tandas, menyisakan bunyi tidak nyaman didengar telinga. Aku masih memperhatikannya.

"Dia kalah di pengadilan," sahutnya santai.

"Whattttt?????"

Noni tidak seperti biasanya yang berapi-api kalau berceloteh soal perselingkuhan, perpelakoran, dan semacamnya, apalagi kasus Tia. Dia pasti selalu di depan. Membela harkat dan martabat perempuan yang tersakiti. Sering aku berpikir seandainya dia adalah seorang lawyer, sepertinya semua klien perempuannya akan dibebaskan dari tagihan jasa pengacara.

"Serius loe?"

"Aduh, Reeeeee … Kapan sih gue pernah main-main urusan beginian?" balasnya sewot.

Iya, itu benar. Sohibku yang satu ini memang tidak pernah main-main urusan membela hak perempuan. Kami sefrekuensi, hanya saja perbedaan antara aku dan Noni adalah aku sosok idealis. Kalau salah ya salah, perempuan itu tidak akan kubela. Kalau dia benar ya benar.

"Permisi, Kak."

Pelayan datang membawa pesanan Noni berupa sepiring nasi goreng beef steak dengan kerupuk emping dan sepotong tomat di atasnya. Aku yakin dia akan memesan ronde ke dua, melihat porsinya yang tidak banyak. Aku mengatakan pesananku padanya sebelum akhirnya dia undur diri. Untuk Noni, aku berani taruhan.

"Terus … terus …."

"Semua fasilitas yang dia terima harus dikembalikan dalam kurun waktu dua puluh hari, sejak hakim pengadilan ketuk palu. Termasuk modal usaha yang dulu pernah dikasih bokapnya Tia –"

Dia lagi-lagi berhenti sejenak mengambil napas supaya bisa bercerita dengan meluap-luap.

"Loe tahu nggak, berapa duit tuh modalnya?"

Aku menggeleng.

"Delapan ratus juta!"

"Haaaaa?????"

Aku terkesima sampai mulut menganga mendengar penuturan sohibku itu. Luar biasa memang informasi yang dimilikinya, Noni memang cocok jadi informan atau detektif sewaan.

"Miskin dah tuh orang!"

Noni mengangguk setuju ucapanku, bahkan dia sudah kembali pada dirinya, yang sekarang mulai mengeluarkan kalimat-kalimat sakti miliknya, berupa sumpah serapah yang dirangkai indah dalam nyanyian-nyanyian yang aku tidak mengerti tangga nada lagunya. Pelayan datang membawa pesananku tidak lama berselang. Noni kembali sibuk mengetik di ponsel.

"Eh, Sari mau ke mari katanya."

"Loh, bukannya dia weekend sama mini family-nya?"

"I don't know," jawabnya tetap mengetik.

Aku mengurai nasi goreng sea food yang porsinya tidak lebih banyak dari pesanan Noni tadi. Aku meringis melihatnya. Sungguh miris untuk kondisi kesehatan dompet di akhir bulan.

"Sepuluh menit lagi dia nyampe," ucapnya menunjukkan pesan chat dengan Sari.

Aku menggangguk karena tengah mengunyah nasi yang terdapat potongan cumi dan daun seledri di dalamnya. Bawang gorengnya juga terasa di mulutku. Empingnya kusingkirkan untuk dicemil sembari bergosip. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi kuurungkan karena ajaran agamaku tidak boleh berbicara selagi makan atau minum, kecuali urgent. Begitu adabnya.

Aku melirik Noni mengeluarkan buku kecil dan balpoin dari tas hitam kulitnya. Dia sibuk mencatat sampai aku harus mencokehnya untuk melanjutkan topik panas sore ini. Dia menggerakkan tangan kirinya 'sebentar' sebagai jawaban.

Posisi kami di lantai tiga menyuguhkan pemandangan kota yang tidak buruk, ditambah posisi kami tidak jauh dari jendela besar yang semakin membuat mata puas untuk memandang keluar. Serpihan sinar matahari semakin memperindah suasana sore. Mataku mengedar liar sembari mengunyah sampai aku terbelalak melihat sosok yang menatapku di seberang sana.

Aku mengangguk disertai senyum kikuk sebagai tegur sapa. Dia pun sama. Di sebelahnya seorang lelaki paruh baya yang dilihat sekilas, dia mewarisi wajah lelaki itu. Di depannya duduk dua orang wanita, mungkin ibu dan neneknya. Aku hanya melihat sekilas dari penampilan, dan cara mereka berpakaian kelihatan sekali mereka orang berada.

"Siapa, Ree?"

"Euh, Nggak. Bukan siapa-siapa," jawabku memalingkan muka dan meneruskan santapku.

"Sorry, guys, gue nggak telat-telat banget, kan?"

Sari datang menaruh tas di meja dan kantong belanjaan di kursi. Duduk memanggil pelayan memesan makanan. Aku menggeser piring menjauh dari hadapanku, lantas meneguk air mineral sebelum menikmati Tiramisu crunch di gelas panjang.

"Udah mau pulang," jawabku ketus mengelap mulut.

"Ihhh… gitu amat sih. Belum juga dua puluh menit."

Kami berbincang layaknya gadis-gadis metropolitan yang sedang hang out on the weekend. Tertawa bahagia melepas beban, tertawa ceria tanpa beban seperti anak kecil, sesekali berfoto, dan sesekali berwajah serius. Suara-suara bising kendaraan, klakson, musik di toko ponsel, orang-orang berlalu lalang, meramaikan sore yang semakin condong ke barat.

Aku tidak lagi menggubris sosok di seberang yang sedang family time. Benar-benar tidak ingat, hingga ponsel di dalam tasku berbunyi. Keningku mengerut membaca nama yang tertera di layar. Aku tidak mau menoleh kepadanya untuk menghindari pertanyaan dari dua orang di dekatku ini.

"Halo –"

Tut... tut… tut…

Dia mematikan panggilan teleponnya, ada apa? Mataku terkunci saat akan menaruh ponsel, pesan darinya masuk.

[Kamu nggak mau kenalan dengan orang tua saya?]

'Ha? Apa-apaan ini?'

Aku memejam mata sembari menarik napas dalam-dalam. Apa maksudnya dia bertanya seperti itu? Aku tahu sepantasnya karyawan berkenalan dengan orang tua atasan, tapi kalau bunyi kalimatnya seperti itu? Aku melihat pesan yang dia kirim sebelumnya.

[Kamu dengan siapa?]

[kaki kamu beneran udah sembuh?]

[Ping]

[Ping]

[Ping]

[Ping]