Berselang lima menit surat sudah selesai diketik dan dicetak. Pak Amir sudah keluar dari ruangan sejak saat aku akan mencetak surat. Pekerjaanku di luar masih banyak, terutama kertas fax belum dirapikan. Kuharap ada seseorang yang membantuku menyusunnya ke meja.
"Silakan, Pak."
Aku menaruh surat itu di hadapannya yang sedang mengetik di laptop, dan meninggalkan ruangan. Langkahku seperti diikat sesuatu tak kasat mata saat satu langkah akan membuka pintu.
"Kenapa kamu tidak balas pesan saya?"
DEG.
'Mampus aku!'
Aku berbalik menghadap dirinya yang masih duduk di sana, dan aku masih berdiri di sini. Perhatiannya tidak berpaling dari laptop berwarna putih. Laptop kesayangan –kata Fany.
"Oh, anu, Pak, habis baterai waktu mau jawab. Terus ketiduran," jawabku kikuk.
Sebisa mungkin aku menetralkan kegugupan yang mungkin terlihat dengan sedikit senyum, supaya jawabanku terlihat natural.
"Sekarang sudah baikan. Saya permisi, Pak."
Meskipun sebetulnya masih terasa nyut-nyut dan pedih gara-gara tapak sepatu pantofelnya melukai kulit kakiku. Jalan pun sebetulnya juga tidak nyaman, tapi apa boleh buat. Aku terperangah ketika keluar dari ruangan melihat kertas-kertas fax sudah rapi di atas meja. Tuhan memang Maha Mengetahui dan mendengar. Harapanku terkabul. Terima kasih siapapun kalian yang melakukannya.
Aku merasa hari ini tidak punya waktu untuk bergosip. Staf personalia tidak ada yang mondar-mandir ke ruangan sejak tadi. Tumben sekali. Oh, mungkin hari ini harinya pihak finance yang ketuk-ketuk pintu ruangan direktur. Dering interkom bernada khusus di mejaku berbunyi. Artinya, panggilan dari pak direktur.
"Iya, Pak?"
[Bawakan rekonsiliasi bank bulan Oktober 2020 sampai Januari 2021. Saya perlu sekarang.]
"Baik, Pak."
'Padahal tinggal jalan lima langkah seperti lagu dangdut, terus buka pintu dan bicara. Lah, ini malah pakai interkom.'
Mataku mengerling sebentar melihat kaca pembatas ruangan direktur dan sekretaris. Tidak terlihat apa pun karena kacanya gelap di satu sisi. Tapi, bisa melihat ke meja sekretaris dari dalam ruangan direktur. Sesuai perintahnya kalau aku yang masuk tidak perlu ketuk pintu, maka aku melakukannya sejak satu bulan belakangan. Kenyataan yang bertolak belakang dengan pernyataan Fany.
"Ini laporan rekonsiliasi yang Bapak minta."
Laporan dari pihak bank selama empat bulan itu kuletakkan di meja sebelah kiri. Meja kerjanya besar, jadi tetap terlihat rapi walau berkas menumpuk di sisi kiri dan kanan.
"Silakan duduk," perintahnya tanpa mengalihkan mata dari laptop.
Aku duduk menunggu perihal yang akan dibahas hingga lima menit berlalu. Nyatanya dia sibuk sendiri dengan jari-jari yang menari di atas papan huruf. Setiap huruf yang ditekan menghasilkan bunyi yang bisa kuketahui dia melakukan kesalahan dalam mengetik. Berulang-ulang menekan 'backspace' dan 'delete' semacam tidak konsentrasi.
"Hari ini kamu bawa bekal?"
'Ha?'
Pertanyaan yang bisa kujawab seharusnya, tetapi aku tidak menjawabnya, karena kebingungan arah pertanyaannya. Hanya sekadar bertanya atau ada udang dibalik bakwan?
"Nanti makan siang dengan saya, karena setelahnya kita harus ke Fachslon untuk rapat. Kita nggak punya banyak waktu."
Keningku langsung berkerut menemukan hal yang janggal dari pertemuan ini. Aku ingat betul pertemuan dengan perusahaan itu dilakukan setelah Ashar, lalu kenapa malah dimajukan tanpa sepengetahuanku? Lagi pula apa urusanku di sana? Cuma kehadirannya yang dibutuhkan di sana, bukan aku.
"Euh, maaf, Pak. Kenapa saya ikut ya, Pak? Kan –"
"Kamu sekretaris, sepatutnya ikut saya yang berkenaan urusan kantor," potongnya cepat.
Tangannya berhenti di atas papan huruf. Dia menatapku tajam. Sorot matanya menyiratkan makna tidak suka. Aku menarik napas. Dan, mataku melihat kopi Latte yang dibawa Memet sudah kosong di cangkir. Satu sisi memang benar bahwa bahwa tugas sekretaris seperti yang dia ucapkan, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
"Siapkan berkas-berkasnya."
Ah, Fany beruntung sekali kamu selama menjadi sekretaris si duren tidak pernah diajak meeting ke luar kantor. Setidaknya masih bisa duduk santai saat pekerjaan tidak banyak atau turun ke bawah jalan-jalan, atau bergosip di pantry, atau main game Mario Bross atau Tetris di desktop, shopping online, atau bahkan bisa tidur sejenak di kursi, selama dia tidak ada di kantor.
Aku merasa mulai terkekang sekarang. Padahal aku sudah berharap bisa bergosip ria dengan staf lain saat jam makan siang di kantin. Tapi, Rais Darmawan merusak rencanaku.
Aku berdiri perlahan-lahan meninggalkan dirinya tanpa menjawab 'baik pak' dan tidak menoleh ke belakang saat pintu kubuka. Entah apa yang terjadi kali ini, tapi memang hatiku enggan untuk ikut dengannya. Sekarang aku tidak bisa berpikir. Perasaanku bercampur aduk dengan kepala yang berkecamuk. Perang antara hati dan logika.
'Di mana disimpan sirupnya?'
Aku mencari sirup merah di pantry tapi tidak menemukannya. Aku butuh pendingin kepala sekarang. Siapa tahu akan sangat membantu otakku yang sedang Hang.
"Met, sirupnya di mana ya, Dek?"
Memet lagi-lagi bisa diandalkan. Dia seperti Superboy yang kutonton di tv milik pemerintah sewaktu aku kecil. Super hero yang selalu datang tepat waktu saat dibutuhkan.
"Oh, di sini, Mbak Ree," jawabnya mengambil botol sirup di lemari bawah tempat cuci piring. Keningku mengerut melihatnya.
"Kenapa naruhnya di situ?"
"Eheheh … kalau taruh di kulkas cepat habis, Mbak. Soalnya, kan nggak bisa claim," jawabnya cengengesan sambil menuang sirup dalam gelas.
"Buat siapa tho, Mbak?" lanjutnya menekan tombol 'cold' di dispenser.
"Kok nggak bisa claim? Kan untuk keperluan kantor?" sengitku semakin bingung.
"Buat siapa, Mbak? Biar saya antar," ulangnya mengambil baki dan menaruh gelas di sana.
"Ough, buat saya sih, Met. Nggak tahu nih, pengennya yang dingin-dingin aja," ucapku langsung menyambar gelas dan meminumnya. Segar.
Aku lanjut meminumnya sampai habis. Memet berdiri terbodoh-bodoh melihatku.
"Met, kamu belum jawab pertanyaan saya. Kenapa nggak bisa diclaim?"
"Eheheh … karena sirupnya punya saya, Mbak"
"Ha?"
Sementara itu, sekelebat bayangan melintas ketika aku menoleh ke pintu di belakang. Postur tubuh dan gerak-geriknya seperti kukenal. Dia menghilang dibalik dinding pantry yang dingin dan bisu.
"Met, ada lihat orang lewat nggak, di sini?"
Aku tidak percaya apa yang kulihat. Memet menggeleng. Tidak mungkin itu makhluk astral walau aku percaya hal-hal seperti itu. Saraf otakku tidak memberi petunjuk sosok misterius tadi.
"Serius, Met? Masa kamu nggak lihat, sih? Kan, kamu berdirinya berhadapan sama pintu."
Aku menyangkal kenyataan demi meyakinkan diri apa yang kulihat tidaklah salah. Tidak mungkin aku berhalusinasi. Ini bukan ilusi. Otakku juga sudah 'waras' sejak terkena air sirup dingin.
"Nggak ada siapa-siapa yang lewat, Mbak," jawabnya bernada antara percaya dan tidak percaya.
Dia berjalan ke pintu memastikan siapa yang ada di sana. kepalanya celingak-celinguk setelah berhenti satu langkah di luar pintu pantry.
"Bener, Mbak. Nggak ada siapa-siapa."