webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Urban
Not enough ratings
125 Chs

Mereka kepo

"Eh, Ree, loe napa sih?"

"Nggak, nggak apa-apa, Sari."

"Jadi, omong-omong, bokap Tia kan menang tu –"

"Kalian nggak punya topik lain buat dibahas? Bosen dech gue," keluhku melihat belanjaan Sari di kursi.

Aku tidak punya pilihan selain menyela ucapan Sari yang benar-benar tidak lagi menarik perhatianku. Semangatku merosot tajam gara-gara bunyi pesan chat si duren. Sementara mereka bercakap-cakap, telingaku menyimak sepintas lalu, kepalaku berpikir tindakan apa yang sebaiknya kulakukan.

Beranjak dari kursi menuju ke sana hanya untuk mengenalkan diri, apakah itu tata kesopanan yang tidak berlebihan? Bagiku itu tidak baik karena berkesan seperti penjilat. Biasanya aku akan mampir untuk menyapa ketika pulang, kecuali sudah mengenal dan punya hubungan baik.

[Kamu sekretaris saya. Cepat atau lambat mereka juga akan tahu siapa yang bernama Laduree.]

Aku tidak menyangka balasannya akan sememaksa ini, setelah kujawab 'lain kali' karena momen yang kurasa juga kurang tepat. Tidak seharusnya seperti ini dia menjawab pesan aplikasiku. Bunyinya seperti orang pacaran backstreet yang menolak dikenalkan pada calon mertua.

Tunggu. Calon mertua? Kenapa terlintas sebutan itu di benakku? Astaga.

"Reeeee… loe napa, sih? Nggak asik banget, dech. Kek panas terik langsung diguyur hujan. Tadi happy sekarang bermuram durja," goda Sari mencubit lengan kiriku.

"Cowok tuh dari tadi mandang ke sini terus, dech. Lihat siapa sih dia? Kek ada yang dia kenal di antara kita," ujar Noni heran.

Aku yakin yang dimaksud Noni adalah si duren. Melihat Noni melihat ke arah lelaki itu, Sari juga melempar tatapan ke sana. Kepalaku juga tidak bisa diajak kompromi, ikut-ikutan menoleh ke arah pandang mereka. Oh, my God.

Sudahlah, cukup. Dia mengerling ketika kepalaku menoleh. Jus jeruknya masih setengah gelas kulihat dan makanan yang sebagian piringnya sudah kosong. Restoran ini sebenarnya sepi, kenapa dia harus duduk di sebelah sana, bukan di sebelah yang lain? Entah apa yang bisa kusimpulkan untuk hariku ini. Rasanya dua hari ini bukan hari keberuntungan. Rais Darmawan mengacaukan hariku.

"Cakep sih, sayang, kita udah punya suami," kekeh Noni disambut riuh tawa Sari mengiyakan.

"Cuma loe doank yang belum, Ree. Kalau gue kenal ama tuh cowok, plus masih lajang, gue kenalin dech ke loe."

Kalau urusan jodoh-menjodohkan memang Sari jagonya. Dia memang pantas menyandang gelar mak comblang, sebab Rahmi dan Noni menikah karena dicomblangkan Sari yang bermulut 'luwes'. Kenalannya banyak anak-anak pejabat karena orang tuanya juga bukan orang sembarangan. Pelayan datang membawa pesanan Sari. 

"Udah dech. Loe jangan ikut-ikutan jadi orang toxic. Gue tahu maksud loe baik, but please let me find him myself."

Sari membuat emosiku semakin tidak karuan, panas seperti akan diceramahi orang-orang toxic di sekitarku. Aku bersyukur belum menceritan soal perjodohanku yang dilakukan oleh iparku baru-baru ini. Kalau tidak, ungkapan Sari tadi bisa memperpanjang daftar ceramah soal pernikahan yang harus kudengar.

"Sorry, Sar. Gue nggak maksud menyinggung perasaan loe, tapi please ya, gue mohon banget."

Kali ini aku harus lebih tegas mengungkapkan perasaanku soal jodoh, walaupun pada sahabatku sendiri. Seorang sahabat seharusnya menjadi orang yang paling mendukung apa pun keputusan terbaik yang diambil sahabatnya. That's what friends are for.

"Gue harap loe ngerti, Sar."

"Iya, gue sih yang terbaik buat loe aja. Gue juga cuma kidding doank tadi, nggak serius. Ngerti gue perasaan loe," akunya yang terdengar menyesal.

Noni melihatku dan Sari bergantian seperti bingung untuk mengungkap kata-kata yang ingin disampaikan. Sari belum menyentuh makanannya sejak tadi. Lemon tea juga masih menunggu untuk diseruput. Aku bahkan lupa dengan Tiramisu milikku yang sudah lumayan mencair.

Aku menoleh ke seberang sekadar ingin tahu apakah dia masih ada atau sudah pulang mungkin? Hatiku bernapas lega. Rasa sesak yang menghimpit dada menghilang tiba-tiba seperti habis minum obat asma, padahal aku bukan penderita asma.

"Kalau nggak ada yang kenal cowok yang tadi, kenapa dia terus-terusan lihat ke sini ya?"

Noni masih penasaran pada si duren. Lebih baik tutup mulut pura-pura tidak kenal, daripada celotehan Noni yang panjangnya seperti pidato tahunan presiden terdengar di telingaku. Sari sudah selesai dengan makanannya. Dan, Noni tidak memesan ronde ke dua? Aku tidak mau kalah taruhan.

"Tahu, dech," jawab Sari cuek. Aku hanya mengerdik bahu.

"Loe nggak nambah, Non?"

Dia menggeleng pelan sembari mengetik di ponsel, sementara Sari menyeruput teh lemonnya. Suasana restoran mulai ramai menjelang matahari hampir menghilang. Mulai dari anak muda, remaja, keluarga, walaupun di gedung ini disediakan mushalla.

"Soalnya ntar malam keluar lagi bawa anak-anak. Gue kan tong sampah. Kalau kepenuhan kasihan makanan mereka yang nggak abis," akunya yang aku setujui.

"Bukannya tadi loe pergi sama keluarga, Sar?"

"Hu um, karena udah selesai aku minta ke mari aja. Biar suami yang bawa anak-anak ke rumah neneknya. Ntar lagi juga dijemput," sahutnya menghabiskan teh.

Beruntung mereka mendapat laki-laki yang mengerti kebutuhan istri, yang butuh 'bersenang-senang' walau sebentar tanpa direpotkan dengan urusan anak dan lainnya. Supaya istri tidak stres, tidak melampiaskan kekesalan dan kemarahan pada anak. Aku miris melihat seorang ibu memarahi anak atau cucunya dengan kata-kata kasar dan kotor. Mereka menjadi kambing hitam untuk sesuatu yang tidak diperbuat. Seperti aku yang mengalaminya karena ibuku.

"Chatting ama siapa loe, Non? Kayaknya sibuk banget dari tadi," tanya Sari membuka tas.   

"Rahmi bilang besok dia nggak bisa kumpul bareng kita lagi. Mertuanya besok tiba di sini. Kunjungannya dipercepat dari rencana awal," sahutnya tanpa mengalihkan mata dari ponsel.

"Laki gue lagi jalan nih, kasir yuk. Biar nggak Maghrib di jalan," ajak Sari membuka dompet.

"Loe dijemput laki loe, Non?" tanyaku. 

"Nggak, gue bawa mobil. Ini sekalian mau jemput dia di kafenya si Riko. Anak-anak lagi dibawa sama oom-nya," ucap Noni memasukkan buku dan pena.

Aku hanya menjawab 'o' sambil manggut-manggut. Melihat mereka bertiga hidup bahagia dengan suami yang pengertian, aku sangat senang. Sebab, aku juga menginginkan suami yang bisa berbagi tugas dan membebaskanku dari urusan rumah tangga sehari dalam dalam dua pekan.

Kami beranjak keluar setelah membayar tagihan, bersiap berpisah di pintu keluar gedung supermarket. Jantungku mendadak berdegup kencang saat masuk ke area parkir, berpapasan dengan si duren yang ternyata masih berkeliaran di gedung ini.

"Pak," tegurku kikuk nyaris tanpa suara.

Aku tidak melihat anggota keluarganya yang lain. Lidahku kelu lantas menyingkir dari hadapannya setelah mohon pamit. Tidak peduli dengan air mukanya yang masam atau apa pun itu. Sekarang aku harus pulang. Semoga insiden ini tidak diperpanjang seperti STNK sampai ke hari kerja.