Gemuruh bola yang terpantul memenuhi ruang olahraga indoor. Materi pembelajaran kali ini adalah basket yang tentu saja lebih banyak apresiasi dari para siswa sedangkan yang siswi hanya bersorak menyemangati. terkecuali gadis berambut sebahu yang kini nampak mengikat tinggi rambutnya. Kakinya yang jenjang membawanya melewati para pemuda disekitarnya dengan lincah.
"EUGEEENE EUGEEENNE !!!" Beberapa siswi balik mendukung gadis itu ketimbang para siswa lainnya. Bak kembali menjadi pujaan di sekolahnya, Eugene tambah semangat mendribel bola menuju ring lawan.
"YEAAAAYYY !!!" Sontak semuanya bersorak gembira saat bola orange itu masuk dengan sangat mulus melewati ring yang cukup tinggi.
Teman satu tim Eugene membopong dirinya dan menggiringnya memutari lapangan. sebuah selebrasi yang cukup umum di lakukan setelah meraih kemenangan. walau sebenarnya hanya Eugene sendiri siswi yang ikut bermain. semuanya adalah para lelaki, namun itu tak membuatnya kalah. tentu saja jiwanya masih seorang lelaki tangguh.
Eugene mendeplak kepala pemuda yang menggendongnya, Timmy namanya. pemuda berambut pirang itu tampak mengeluh namun memaklumi aksi Eugene.
"Jangan ambil kesempatan"
"ya Bu..."
Eugene terkikik geli saat melihat semburat merah di pipi Timmy. rasanya mengasikan saat menjahili temannya itu.
Di akhir selebrasi, Eugene berjalan ke ujung lapangan dimana semua temannya berkumpul. Ia langsung mendudukan dirinya dan bersandar pada dinding di sampingnya. Entah kenapa badannya terasa lebih berat di banding saat ia masih berwujud laki-laki. Seperti ada beban yang tak nampak. Keringat juga membasahi hampir seluruh tubuhnya, wajahnya memerah seperti kepiting rebus dan naas sekali pendingin ruangan tak mempan untuk mendinginkan tubuhnya.
'seeet—'
"aaah!! astaga~" Eugene terkesiap karena sebuah botol air mineral yang dingin menerpa kulit kepalanya. Mengarahkan pandangannya keatas dan menemukan sosok gadis berambut panjang tengah menatap balik kearahnya.
"ambillah" Michelle kembali menyodorkan air mineral itu agar Eugene menerimanya.
"terimakasih"
Dan tentu saja langsung gadis itu tenggak dengan rakus. Tak peduli dengan mitos air dingin berdampak buruk bagi tubuh seseorang yang baru saja berolahraga. Tenggorokannya lebih membutuhkan air itu.
"mau kemana ?" Eugene bangun dan mengekor di belakang Michelle.
"Kenapa ikut ? bukan kah kau masih ada kelas ?" Michelle berjalan acuh tanpa menoleh ataupun memelankan laju jalannya.
"Sebentar lagi juga istirahat, aku ingin pergi lebih cepat saja. Jadi, kau mau kemana ?" Eugene sukses berjalan di samping Michelle. Dari posisi ini ia dapat melihat tubuh Michelle yang lebih pendek darinya.
"aku harus mencari sesuatu di perpustakaan.. dan sebaiknya kau ganti baju saja sana" Tangannya terulur dengan gestur mengusir. Namun bukan Eugene namanya jika tak keras kepala. Gadis itu bahkan berjalan lebih cepat dari Michelle.
"Tak ada yang bisa memerintahku, apalagi gadis mungil seperti mu" Eugene menoleh dan memasang wajah meledek. membuat gadis di belakang nya terpancing.
"Apa yang kau bilang hah ?!!" Michelle langsung mengejar Eugene didepannya. Tentu saja hal itu sia-sia karena Eugene sudah terlampau jauh di depannya.
Rasanya menyenangkan menggoda Michelle. Beberapa orang pasti menganggap gadis itu menyeramkan, atau mungkin aneh. Bahkan Eugene awalnya berpikir seperti itu. Kau tak akan bisa menilai seseorang jika kau bahkan belum mengenalnya kan. Ini perasaan yang bahkan tak pernah Eugene rasakan.
"Sudah ketemu ?"
"belum.."
Michelle membuka beberapa judul buku dari rak jurnalistik dan sastra, dengan Eugene yang masih setia mengekor. Aksi kejar-kejaran mereka tepat berhenti ketika memasuki ruang perpustakaan. Mereka tak cukup bodoh untuk bertengkar di dalam perpustakaan tentunya.
"kita bisa terlambat makan siang hanya untuk ini.." Eugene mengeluh terhadap apa yang dilakukan Michelle.
"kalau begitu pergilah..."
'skakmate'
kata-kata yang terlontar dari Michelle tepat sasaran. untuk apa Eugene menunggu, ia bahkan tak diminta untuk membantu.
"aku ingin membantu mu, sebagai imbalan minuman tadi" Selalu saja ada alasan yang keluar dari mulut Eugene. Gadis berambut sebahu itu menyingsing lengannya hingga bahu bersiap menerima perintah dari yang mulia Michelle.
Michelle memutar matanya jengah, ia kembali mencari di setiap celah rak dengan eugene masih setia mengekor seperti anjing.
Tak lama akhirnya gadis itu menemukan sebuah buku dengan sampul kecoklatan. Hanya saja letaknya yang tak memungkinkan ia untuk menggapainya. Sedikit kesusahan walau sudah berjinjit, Michelle berusaha sekuat tenaga menjulurkan tangannya menyentuh permukaan sampul itu.
Sayangnya buku itu tak bergerak se inci pun. Michelle mendengus kesal, Eugene terkekeh samar melihat raut sebal di wajah Michelle. Tangannya meraih buka yang diinginkan Michelle. Cukup mudah tanpa bantuan kakinya yang berjinjit.
"nih.. kalau butuh bantuan kenapa tak langsung bilang" Alis Eugene naik turun menggoda.
"Ya ya ya terimakasih" Michelle langsung merebut buku yang masih di pegang Eugene seraya pergi meninggalkannya. Eugene tak habis pikir bagaimana seorang gadis bisa selucu ini saat kesal.
"hey, Michelle tunggu..."
"kau punya kaki kan.." Michelle tak mempedulikan Eugene, ia langsung menulis data diri sebagai persyaratan meminjam buku itu.
'seet`
"Aku akan membawa yang ini..." Dengan cengiran bodohnya, Eugene langsung mengambil beberapa buku yang tadi dipinjam Michelle tanpa seizin gadis itu, Dan berjalan lebih dulu.
Michelle menatap punggung gadis itu yang berlalu didepannya. Sebuah decakan keluar dari bibir ranumnya, bukan sebuah kekesalan, lebih tepatnya ia heran dengan apa yang di lakukan Eugene. Gadis itu berbeda, entah kenapa ada dorongan untuk mempercayai gadis jangkung itu lebih dari siapapun.
"Hey, kau mau ku tinggalkan disini ?" Eugene berhenti melangkah dan menoleh pada Michelle yang masih berdiri termangu.
"Iya sebentar Gantar.."
"kau bilang apa ?"
"tidak, tidak, kau salah dengar" Michelle mencoba menyembunyikan tawanya yang hampir terlepas. Ternyata begini yah rasanya punya teman ? hal yang bahkan tak pernah Michelle impikan.
"ehem.. tunggu"
Sebuah suara menghentikan langkah kedua gadis itu. Seorang pemuda yang bisa di pastikan adalah kakak kelas mereka berdiri didepan keduanya. Berdiri dengan gestur Canggung di tambah rona merah di kedua pipinya.
"i—ini dariku.. aku akan menunggu mu" setelah menyerahkan surat berwarna biru muda, pemuda itu berlari sekencangnya dari hadapan mereka. Kedua gadis itu hanya berpandangan dengan tatapan penuh tanya.
Langit terlihat cerah dengan beberapa burung hinggap di dahan pohon dimana mereka bernaung. Eugene membuka beberapa buku yang ia bawa bersama Michelle. Mereka memilih tempat ini yang mana adalah tempat pertama kali mereka mengobrol.
"tak kau buka ?" Michelle yang pertama kali membuka suara, ada rasa penasaran menyelimuti hatinya terhadap surat yang di peruntukan untuk Eugene. Benda itu diletakan begitu saja di atas meja keramik bundar didepan mereka. Eugene menggeleng tak punya minat sama sekali untuk membuka isi surat. Paling-paling isinya sama saja dengan surat cinta murahan. Ia tak tahu bahkan setelah menjadi wanita ada saja orang yang tertarik padanya.
"kalau begitu kenapa kau menerima surat itu ?"
Eugene menutup buka yang ia baca, menatap Michelle yang sedang menulis kata-kata penting dalam buku note nya.
"Aku menerima surat ini untuk menghargai dirinya, "
"Bukankah kau sama saja mempermainkan nya ?"
'jleeb'
Eugene dibuat tak berkutik karena ucapan Michelle tepat menusuknya. Dirinya masih suka mempermainkan orang walau kini ia dalam wujud perempuan.
"Mungkin kau akan jadi orang paling brengsek jika kau mengabaikannya dan menganggap remeh perasaan orang" Michelle menatap lurus pada kedua hazel Eugene. Gadis berambut sebahu itu di buat salah tingkah dan mengalihkan pandangannya kearah lain.
"lalu aku harus bagaimana ? menerimanya ?" Tanya Eugene tanpa menatap Michelle. Ia tak ingin terlihat gugup saat bertemu pandang dengan gadis itu.
'duuk'
Michelle memukul pelan kepala Eugene dengan sebuah buku tipis di tangannya.
"Setidaknya kau berikan jawaban dari isi hatimu, bukan hanya untuk menyenangkan orang itu atau dirimu. Sesimpel itu kau bisa jujur akan perasaanmu"
"kau sangat bijak sekali, untuk ukuran orang yang tak pernah berkencan" Eugene tetaplah Eugene, ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda Michelle. Dan nampaknya itu berhasil, Gadis itu terlihat memerah menahan malu.
"sa-saranku ini berharga.. kau harus membayarnya.." Dengan wajah yang kembali datar Michelle melanjutkan membaca dan menyalin pada buku catatannya.
'seet—'
Eugene menutup buku catatan itu membuat Michelle menatapnya dengan wajah jengah.
"Baiklah baiklah, Besok aku akan menunggumu di halte.." Kata Eugene seraya mengantongi buku catatan milik Michelle yang tentu saja mendapat protes dari sang pemilik.
"eits.. akan ku kembalikan besok okey, jangan lupa jam 8 !" sosok Eugene melambaikan buku catatan milik Michelle tepat setelah bel panjang tanda pelajaran di mulai kembali. Sosok jangkung itu nampak berlari kecil memasuki gedung sekolah.
Michelle masih duduk dan menatap punggung itu yang makin menjauh. Ada perasaan nyaman yang mendorongnya untuk sekali lagi percaya dengan seseorang. Ia tak ingin hanya melihat punggung seseorang tanpa upaya untuk menyusulnya.
to be continued
.
.
aku tak tahu apa mungkin kau sudah tahu ada rasa yang terlampau tapi hanya dapat ku pantau inginkan menjadi nyata, nyatanya aku tak bisa dan mungkin hanya menjadi sebuah kisah rahasia